
Ruang Gerak Terbatas, Hutama Karya Tak Bisa Berhutang Lagi, Andalkan PMN

Direktur Utama Hutama Karya, Budi Harto
PT Hutama Karya (Persero) tidak bisa mencetak hutang baru lagi untuk menyelesaikan penugasan pemerintah untuk membangun tol Trans Sumatera. Karena itu, Penyerataan Modal Negara (PMN) menjadi satu-satunya sumber pendanaan untuk menuntaskan proyek sepanjang 1.064 kilometer tersebut.
Direktur Utama Hutama Karya, Budi Harto mengatakan dari total kebutuhan dana sebesar Rp152 triliun untuk menyelesaikan tol Trans Sumatera, Hutama Karya meminjam ke sejumlah kreditur sebesar Rp42,3 triliun. Selain itu, Hutama Karya juga memiliki hutang kepada vendor dan subkontraktor yang belum dibayar sekitar Rp25 triliun.
Hutang kepada vendor dan subkontraktor ini, tambahnya, akan dibayar dari PMN yang akan diterima Hutama Karya pada tahun 2021 dan tahun 2022. Untuk tahun 2021, pemerintah sudah mencairkan PMN sebesar Rp6,2 triliun pada Senin awal pekan ini. Sementara, tambahan PMN tahun 2021 sebesar Rp9 triliun belum dicairkan tetapi sudah disetujui. Sementara tahun 2022, Hutama Karya mengajukan usulan PMN sebesar Rp31,24 triliun dan tahun 2023 sebesar Rp10 triliun.
Sebelumnya, Hutama Karya mendapatkan PMN pada tahun 2015 sebesar Rp3,6 triliun. Kemudian tahun 2016 sebesar Rp2 triliun, tahun 2019 sebesar Rp10,5 triliun, dan tahun 2020 sebesar Rp11 triliun. Sehingga total PMN sampai tahun 2020 sebesar Rp27,1 triliun. Ini tidak termasuk Rp6,2 triliun PMN tahap pertama tahun 2021 yang sudah dicairkan pada Senin pekan ini.
Budi mengatakan tahun 2017 dan 2018 tidak ada PMN karena pendanaan proyek berasal dari hutang senilai Rp42,3 triliun.”Sekarang setelah kami evaluasi kembali, pinjaman itu enggak bisa bertambah,” ujarnya menjawab pertanyaan anggota Komisi VI DPR RI dalam rapat kerja yang digelar Rabu (1/9).
Alasannya, jelas Budi, karena ada perubahan yang cukup mendasar di dalam kajian bisnis. Ini terjadi karena di dalam Undang-Undang, kenaikan tarif jalan tol itu dilakukan setiap dua tahun sekali yang besarnya adalah sebesar inflasi. “Pada waktu FS [feasibility study] kami susun dulu, inflasi itu sekitar 6% sehingga kami menggunakan angka bahwa pertumbuhan tarif per 2 tahun adalah 12%. Yang terjadi sekarang, hanya separuhnya. Dengan turunnya inflasi ini, maka kenaikan tarif per 2 tahun hanya 6%,”jelasnya.
Dus, penurunan proyeksi inflasi ini akan berpengaruh terhadap kelayakan jalan tol di Sumatera. “Sehingga pinjaman tidak bisa kami tambah lagi, karena dampaknya akan sangat berat. Kalau dengan pinjaman yang sekarang ini saja, kalau tidak ada penurunan pinjaman, itu sampai tahun 2035 akan terjadi minus, akan terjadi kerugian,” ujarnya.
Karena itulah, Hutama Karya, jelas Budi sedang berusaha menurunkan pinjaman sebesar Rp42,3 triliun yang sudah menjadi beban perushaan. Untuk menurunkan jumlah hutang itu, salah satu yang dilakukan adalah dengan mendivestasika ruas-ruas tol yang sudah dibangun.
Disebutkan bahwa salah satu investor yang tertarik adalah Indonesia Investment Authority (INA). “Kami saat ini sudah mulai intensif berbicara dengan INA untuk 5 ruas jalan tol yang sudah beroperasi sepanjang 500 km dan saat ini dari INA sudah melakukan survei lalu lintas di lapangan. Mudah-mudahan bisa segera deal pada tahun ini, sehingga kami bisa menyelesaikan hutang dan ada untuk membangun sisanya,” ujar Budi.
Selain divestasi, Hutama Karya juga mengajukan ke Kementerian PUPR untuk perpanjangan masa konsesi. “Karena di Sumatera ini traffic-nya sangat kecil, maka kami ajukan konsesi lebih dari 40 tahun,” ujarnya.
Permohonan perpanjangan konsesi itu, tambahnya sudah direspons oleh Kementerian PUPR. “Mudah-mudahan berhasil sehingga akan memperbaiki kelayakan di Sumatera ini,” ujarnya.
Budi mengatakan tambahan PMN sebesar Rp10 triliun pada tahun 2023 tidak dilakukan apabila lima ruas tol yang sudah beroperasi saat ini berhasil didivestasikan. Kelima tol tersebut nilai investasinya sebesar Rp55 triliun.
Leave a reply
