Rupiah Masih Terus Melemah, DPR; Jangan Sampai BI Salah Diagnosa!

Gubernur Bank Indonesia, Perry Warjiyo pada Rapat Kerja dengan Komisi XI DPR RI, Senin, 24 Juni 2024.
Nilai tukar Rupiah terhadap Dolar Amerika Serikat [AS] masih terus melemah. Padahal, Bank Indonesia sudah menggunakan semua instrumen yang dimilikinya untuk menjaga nilai tukar Rupiah, mulai dari intervensi di pasar menggunakan cadangan devisa, hingga menaikkan BI Rate dan suku bunga Sekuritas Rupiah Bank Indonesia (SRBI).
Pelemahan nilai tukar Rupiah akhir-akhir ini yang semakin mengarah ke 17.000, menurut Ahmad Najib Qodratullah, anggota Komisi XI DPR RI telah meresahkan masyarakat. Apalagi bila penjelasan yang disampaikan BI sulit dipahami oleh masyarakat biasa.
“Lebih jauh, saya sangat khawatir, dengan kondisi kurs Rupiah ini, kalau kemudian ini diwariskan kepada pemerintah yang akan datang. Saya ingin memastikan di akhir masa periode ini [pemerintahan Joko Widodo] bahwa seluruh kebijakan Bank Indonesia ini efektif dalam rangka menyelesaikan permasalahan kurs Rupiah,” ujar anggota Fraksi Partai Amant Nasional [PAN] tersebut dalam rapat kerja dengan Bank Indonesia, Senin (24/6).
PAN merupakan salah partai yang mengusung pasangan Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming Raka pada pemilu Februari lalu.
Lebih jauh, Najib khawatir, tak efektifnya kebijakan BI dalam menjaga nilai tukar Rupiah terjadi karena kesalahan dalam mendiagnosa masalah.
“Dengan salah diagnosa tentu akan melahirkan obat yang salah. Intervensi pasar itu selalu sifatnya sesaat dan kita paham betul bahwa kita memiliki cadangan devisa yang sangat terbatas,” ujarnya.
“Oleh karena itu, saya mendorong kepada Bank Indonesia harus memiliki formulasi yang lebih baik [untuk] jangka panjang dan daya tahan yang cakupanya lebih luas, seperti imunisasi. Jadi dalam setahun, dua tahun, tiga tahun yang akan datang, imunisasi ini akan menjadi kebal terhadap rong-rongan dari luar maupun dari masalah-masalah internal,” ujarnya.
Vera Febyanthy dari Fraksi Partai Demokrat juga mengkritisi langkah Bank Indonesia menaikkan BI Rate sebesar 25 basis poin pada Rapat Dewan Gubernur April lalu.
Kebijakan tersebut, menurut Vera, tak ampuh menjaga stabilitas nilai tukar Rupiah.
“Negara lain tidak melakukan kenaikan suku bunga. Ini kenapa Bank Indonesia menaikkan suku bunga, tetapi tidak berdampak secara signifikan?” ujar Vera.
Primus Yustisio dari Fraksi PAN mengingtkan Bank Indonesia, nilai tukar Rupiah saat ini sudah semakin jauh dari target dalam APBN 2024 yang mematok nilai tukar di level Rp15.000.
Bank Indoneisa, kata Primus, juga tidak bisa bersembunyi di balik data bahwa depresiasi Rupiah lebih rendah dibandingkan beberapa negara lain.
“Kalau mengacu kepada RPABN 2024 yang sudah menjadi APBN, disepakati nilainya 15.000. Artinya, sudah hampir 10% Rupiah kita ini terdepresasi dari target APBN kita, tepatnya 9,33%,” ujarnya.
Mengapa Rupiah melemah?
Dalam paparannya, Gubernur Bank Indonesia, Perry Warjiyo menyampaikan pelemahan nilai tukar Rupiah tak terlepas dari ketidakpastian yang masih terjadi pada perekonomian global.
Perry mengatakan penurunan inflasi global berjalan sangat lambat, karena harga komoditas yang masih tetap tinggi, baik karena faktor geopolitik yang mengganggu pasokan, maupun karena faktor cuaca.
Dus, inflasi di negara maju, terutama Amerika Serikat pun masih tinggi, di atas sasaran yang ditetapkan bank sentral.
Masih tingginya tingkat inflasi di AS menyebabkan bank sentral negara itu, tak menurunkan Fed Fund Rate (FRR). Tahun ini, FRR pun diperkirakan hanya dipangkas sebanyak satu kali sebesar 25 basis poin menjadi 5,25%. Padahal, pelaku pasar pada awal tahun sempat percaya diri FRR turun dua hingga tiga kali pada tahun ini.
Imbal hasil Surat Utang Pemerintah Amerika Serikat atau US Treasury juga masih tetap tinggi dan diperkirakan tetap tinggi karena tingginya kebutuhuan utang pemerintah negara itu.
Selama tahun 2024 ini, ungkap Perry, rata-rata imbal hasil US Treasury tenor 10 tahun sebesar 4,45%. Ke depan, kata Perry, BI memperkirakan imbal hasil US Treasry 10 tahun ini masih tinggi yaitu 4,5%.
Imbal hasil US Treasury jangka pendek (2 tahun) juga diperkirakan lebih tinggi dari tenor 10 tahun karena inflasi yang masih tinggi dan kebutuhan utang yang juga tinggi di AS.
Di sisi lain The European Central Bank (ECB) sudah menurunkan suku bunga acuannya, sehingga nilai tukar EUR melemah dan semakin memperkuat Dolar AS.
“Tingginya suku bunga Amerika Serikat ini, menyebabkan pelarian modal dari berbagai negara, temasuk emerging market ke Amerika. Bagaimana pun Dolar AS masih menjadi safe haven. Apalagi obligasi pemerintah AS dengan suku bunga yang tinggi, tentu saja itu menjadi pilihan yang lebih baik dibandingkan negara lain,” ujar Perry.
“Sehingga indeks dolar AS makin menguat secara luas terhadap berbagai mata uang dunia. Apalagi ECB sudah menurunkan suku bunga, sehingga semakin memperkuat Dolar AS,” tambah Perry.
Bank Indonesia memperkirakan indeks dolar AS mencapai 105 pada tahun ini, menguat dari 103,6 pada 2023.
“Bahkan pada hari ini [indeks dolar AS] pun mendekati 106. Jadi, mata uang Dolar itu menguat terhadap berbagai mata uang dunia,” ujar Perry.
Di sisi lain, tambah Perry, risiko geopolitk juga tetap tinggi, baik perang Rusia-Ukraina, perang di Timur Tengah maupun terbaru ketegangan pemerintah AS dan Tiongkok.
Benarkan kebijakan BI tak efektif?
Perry mengatakan pada Januari 2024, modal asing masih mengalir ke Indonesia (capital inflow). Di SBN misalnya terjadi inflow sebesar Rp6,42 triliun, di saham sebesar Rp7,35 triliun dan di SRBI sebesar Rp18,83 triliun.
Kemudian pada Februari, pemodal asing mulai hengkang dari Indonesia, terutama di SBN dimana terjadi outflow sebesar Rp9,59 triliun.
Sementara, di pasar saham dan SRBI masih terjadi inflow pada Februari 2024, masing-masing sebesar Rp10,11 triliun dan SRBI Rp3,46 triliun.

Nilai tukar Rupiah terhadap Dolar AS selama Juni/Sumber: BI
Pada Maret dan April 2024, kondisi global mulai berubah. Saat masyarakat Indonesia menjalani libur Idul Fitri, terjadi beberapa perubahan pada perekonomian global.
Rilis inflasi AS yang jauh dari ekspektasi pasar, membuat perkiraan penurunan FRR berubah dari sebanyak dua hingga tiga kali pada tahun ini, menjadi hanya satu kali yaitu pada Desember.
Pada saat yang sama ketegangan di Timur Tengah meningkat yang mencapai puncaknya ketika Israel dan Iran saling menyerang.
Karena itu, sejak Maret 2024, jelas Perry, asing makin banyak yang keluar dari SBN yaitu sebesar Rp15,6 triliun dan SRBI sebesar Rp3,56 triliun. Sementara di pasar saham, investor asing tetap masuk yang terlihat dari capital inflow sebesar Rp7,84 triliun.
Perubahan pada kondisi global baik ekonomi maupun geopolitik, kata Perry, menyebabkan Bank Indonesia harus memperkuat kebijakan moneter untuk menstabilkan nilai tukar Rupiah.
Karena itu, kata Perry, selama Maret dan April, Bank Indonesia menggunakan secara bersamaan tiga instrumen moneternya mulai dari intervensi pasar melalui penggunaan cadagan devisa, menaikkan suku bunga SRBI dan juga menaikkan BI Rate sebesar 25 basis poin menjadi 6,25%.
Cadangan devisa pun tergerus dari sebelumnya US$144 miliar pada akhir Februari 2024 menjadi US$136,2 miliar pada akhir April 2024.
“Kami mengumpulkan cadangan devisa pada saat terjadi inflow. Sehingga cadangan devisa naik. Pada saat outflow, kami gunakan untuk intevensi…Sampai sekarang pun terus melakukan intervensi untuk menstabilkan nila tukar Rupiah,” ujar Perry.
Bank Indonesia juga menjual lebih banyak SRBI pada Maret dan April 2024 serta menaikkan suku bunganya.
“Kalau nanti kondisinya sudah membaik kami turunkan lagi [suku bunganya]. Itu kami lakukan pada Maret dan April sehingga kami kemudian meningkatkan suku bunga dan lelang SRBI agar mencegh outflow,” ujar Perry.
Penggunaan tiga instrumen ini, jelas Perry, saat itu ampuh menarik dana asing ke Indonesia.
Pada April, SRBI memang masih terjadi outflow sebesar Rp3,65 triliun, tetapi pada Mei 2024 di SRBI terjadi inflow sebesar Rp80,29 triliun. Derasnya modal masuk di SRBI ini, kata Perry, mendukung stabilitas nilai tukar Rupiah pada Mei 2024.
Saat itu, tambahnya, Rupiah yang sempat melemah ke level di atas 16.000, kembali menguat hingga Rp15.900 dan stabil.
Lantas kenapa Juni ini Rupiah kembali terpuruk?
Perry mengatakan, selain karena faktor-faktor global seperti ketidapastian penurunan FRR, ECB yang menurunkan suku bunganya, imbal hasil US Treasury yang tinggi dan masalah geopolitik, faktor domestik turut menyebabkan Rupiah melemah pada Juni ini.
Faktor domesitk pertama karena tingginya permintaan Dolar AS dari korporasi domestik untuk membayar repatriasi dividen, serta untuk pembayaran utang luar negeri.
“Selain itu, [faktor kedua] muncul persepsi di pasar, masalah kesinambungan fiskal ke depan. Itulah kenapa SBN yang pada Mei sudah masuk Rp16,21 triliun, tetapi pada Juni kembali outflow Rp3,4 triliun,” ujarnya.
Outflow juga terjadi pasar saham, sebesar Rp1,98 triliun pada Juni ini dan Rp14,2 triliun pada Mei.
“Tetapi SRBI pada Mei terjadi inflow Rp80,29 trilun, dan Juni masih inflow Rp28,05 triliun,” ujar Perry.
Melihat kondisi terkini, pada RDG Juni ini, Bank Indonesia memutuskan tak menaikkan BI Rate, tetapi suku bunga untuk SRBI akan tetap dinaikkan dan intervensi di pasar juga tetap dilakukan.
“Sambil menunggu bagaimana faktor global, faktor domestik, berkembang ke depan. Kami pada saat ini belum perlu menaikkan BI Rate, cukup degan intervensi sama SRBI karena inflasinya rendah hanya 2,8% dan akhir tahun ini juga tetap rendah,” ujar Perry.
Leave a reply
