Di Balik IPO Aramco dan Terbesar Dalam Sejarah
Penawaran saham perdana (IPO) Aramco dalam waktu dekat menjadi perhatian dunia. Pasalnya, IPO Aramco – walau hanya menjual 1,5% saham – disebut terbesar dalam sejarah dunia: mencapai US$ 25,6 miliar.
Berdasarkan laporan Arabnews pada 5 Desember lalu, valuasi Aramco disebut mencapai US$ 1,7 triliun. Nilai ekonomi Aramco ini sama dengan nilai pasar saham gabungan Google dan Amazon.
Nilai penawaran saham Aramco pada akhir tahun ini juga memecahkan rekor IPO e-commerce Alibaba pada 2014. IPO ini bahkan kemungkinan bisa meningkat menyesuaikan permintaan investor. Karena itu, Aramco membuka opsi menjual lebih dari 450 juta saham sehingga nilai akhirnya bisa mencapai US$ 29,4 miliar.
Sebelum memastikan IPO ini, pemerintahan Arab Saudi sempat melakukan perjalanan ke berbagai belahan negara termasuk Indonesia. Di samping ingin berinvestasi, tur Raja Arab Saudi Salman bin Abdul Aziz ke Asia terutama ke Tiongkok, Jepang, Malaysia dan Indonesia dalam rangka IPO itu. Namun, setelah berbagai tur itu, IPO Aramco hanya ditujukan di kawasan Semenanjung Arab tidak untuk investor asing atau di bursa asing.
Lalu, apa sesungguhnya di balik IPO Aramco itu? Aramco merupakan perusahaan minyak milik Saudi dan sekutunya. Sebelum tahun ini, Saudi berharap bisa melepas saham Aramco 5% pada 2018. Ini disebut sebagai pelepasan saham terbesar di dunia mengingat kapitalisasinya diperkirakan mencapai sekitar US$ 2 triliun.
Saudi disebut membutuhkan pendanaan untuk proyek-proyek pembangunan di dalam negerinya. Negeri itu sedang mengalami krisis keuangan sejak 2015. Dana Moneter Internasional (IMF) pada tahun itu bahkan memprediksi Saudi akan mengalami kebangkrutan dalam 5 tahun ke depan. Apalagi Saudi mengalami defisit anggaran sejak 2015. Pada 2015, misalnya, defisit anggaran Saudi mencapai 21,6% dan tahun berikutnya mencapai 19,4%.
Di balik IPO
Menurut IMF, prospek ekonomi kawasan Timur Tengah dipengaruhi beberapa faktor utama antara lain konflik regional yang berkepanjangan serta harga minyak dunia yang merosot tajam. Konflik berkepanjangan justru menciptakan masalah besar seperti meningkatnya jumlah pengungsi yang belum pernah terjadi sejak awal 1990-an. Sulit mencapai kesinambungan fiskal di kawasan tersebut dalam jangka menengah, apalagi akan ada lebih dari 10 juta orang yang mencari pekerjaan pada 2020.
Harga minyak diperkirakan tidak akan banyak berubah dalam waktu dekat ini. Itu menyebabkan menurunnya penerimaan negara yang cukup besar termasuk bagi Arab Saudi. Pada 2015 saja, misalnya, penurunan pendapatan negara-negara di kawasan tersebut mencapai US$ 360 miliar per tahun. Ini merupakan kali pertama Saudi mengalami defisit anggaran sejak 2009. Penurunan harga minyak sangat berdampak pada perekonomian Saudi, terlebih 80% penerimaan negara berasal dari penjualan minyak.
Aset bersih Saudi pada Januari hingga Agustus 2015 turun sekitar US$ 82 miliar. Pemerintah menjual surat utang negara senilai US$ 15 miliar. Akibat defisit anggaran itu menyebabkan pengangguran dan penundaan proyek-proyek infrastruktur. Berkaitan dengan IPO Aramco, Moelis & Co ditunjuk sebagai penasihat investasi. Perusahaan ini didirikan konglomerat Yahudi bernama D. Moelis pada 2007 yang kini bermarkas di Beijing.
Aramco merupakan perusahaan minyak yang awalnya bernama Standard Oil Company of California (SOCAL) yang mendapat konsesi minyak di Timur Tengah pada 1930. Awal beroperasi, Perang Dunia II pecah. Presiden Roosevelt berusaha untuk menasionalisasi SOCAL, namun berhasil digagalkan Kongres berkat lobi Yahudi. SOCAL kemudian melibatkan Texaco yang berubah menjadi Caltex.
Untuk memperluas operasi bisnis minyak tersebut, bergabung lagi Standard Oil of New Jersey (Exxon) dan Standard Oil of New York (Mobil). Aliansi ini kemudian menjadi Arab America Corporation (Aramco), perusahaan minyak terbesar di dunia.
Pendiri perusahaan minyak itu rata-rata Yahudi yang bermitra dengan badan usaha milik negara Arab Saudi. Selama beroperasi, Aramco merupakan perusahaan tertutup dan kini akan dilepas ke publik. Mengapa? Pasalnya, minyak tidak lagi menjadi produk strategis sejak ditemukannya energi alternatif. Karena itu, perusahaan perlu merestrukturisasi bisnisnya jika tidak ingin bangkrut. Dengan demikian, kelak tidak lagi bergantung pada minyak.
Perubahan geopolitik terutama kekalahan mereka di Timur Tengah, memaksa Saudi untuk mencari jalan keluar untuk mencari pijakan baru. Selain untuk mengatasi defisit anggaran itu, Saudi ingin menciptakan wilayah baru untuk bersaing dengan Rusia dan Iran. Tentu saja langkah Saudi itu tidak akan mudah mengingat Rusia dan Iran telah melangkah lebih dulu ke Asia.