Manulife Aset Manajemen Indonesia Beberkan Prospek Pasar Saham di Tengah Pemangkasan Suku Bunga Acuan

0
36

Era pemangkasan suku bunga yang dimulai September lalu diperkirakan berdampak pada pasar modal. Suku bunga yang rendah diantaranya mendorong kinerja sektor perbankan pada tahun depan.

Samuel Kesuma, CFA selaku Chief Investment Officer, Equity, PT Manulife Aset Manajemen Indonesia (MAMI) memperkirakan bank sentral Amerika Serikat, Federal Reserven [Fed] akan kembali memangkas Fed Fund Rate [FRR] sebesar 200 basis poin sampai akhir tahun 2025. 

Pada kuartal keempat ini, Bank Indonesia juga diperkirakan masih akan kembali menurunkan suku bunga, sebagai antisipasi menopang pertumbuhan di tengah risiko perlambatan ekonomi global dan domestik seperti yang terlihat dari kecenderungan deflasi akhir-akhir ini. 

Proyeksi MAMI, sampai akhir 2024 ini BI Rate akan berada di kisaran 5,5% – 5,75%.

Menurutnya, awal siklus pemangkasan suku bunga ini dapat menjadi peluang bagi investor jangka panjang untuk berinvestasi di saham.  

Ia mengatakan, secara historis pasar saham Indonesia konsisten mencatat kinerja positif dalam periode pemangkasan suku bunga. Dari sisi valuasi pun, per akhir September ini pasar saham Indonesia terlihat atraktif (PE IHSG 13,7 kali dibandingkan rata-rata 15 kali). Kondisi ini merupakan titik masuk menarik bagi investor.

Baca Juga :   Nilai Saham Twitter Naik 5% karena Didongkrak Pertumbuhan Pendapatan dari Iklan

“Walaupun di akhir bulan kemarin pasar saham domestik didera arus keluar investor asing, sebenarnya di 2023 dan tahun berjalan 2024 minat investor asing terhadap pasar Indonesia menunjukkan perbaikan signifikan. Memang tidak dapat diabaikan, secara jangka pendek arus dana asing dapat bergerak fluktuatif dipengaruhi oleh faktor yang tentunya harus kita cermati, seperti pemilu Amerika Serikat, tensi geopolitik, risiko moderasi ekonomi domestik, serta fokus kebijakan pemerintah baru,” ujarnya dikutip dari keteragan tertulis, Selasa (8/10). 

Beberapa sektor yang menjadi pilihan MAMI, uangkap Samuel, adalah sektor keuangan, komunikasi dan barang kebutuhan pokok (consumer staples).

Ia menjelaskan, emiten perbankan diperkirakan akan membukukan kinerja pertumbuhan laba yang lebih baik tahun depan seiring dengan tren suku bunga yang lebih rendah dan kondisi likuiditas yang lebih baik. Tekanan jual jangka pendek dari investor asing memberi peluang akumulasi untuk investor jangka panjang.

Kemudian untuk sektor komunikasi, ia mengatakan, keputusan beberapa operator untuk menaikkan harga paket data mengurangi kekhawatiran akan eskalasi kompetisi di industri telekomunikasi. Pemulihan bertahap di daya beli masyarakat juga akan mendukung kinerja laba emiten tahun depan.

Baca Juga :   Manulife Aset Manajemen Indonesia Beberkan Prospek Pasar Modal Pasca Pemilu

Sementara, valuasi emiten konsumer secara umum berada di level yang menarik, jika dibandingkan dengan kinerja finansial emiten yang cukup baik tahun ini. Daya beli konsumen diperkirakan akan terus berangsur membaik tahun depan.

Dampak Stimulus Ekonomi di China

Selain pemangaskan suku bunga acuan, isu China juga perlu dicermati. Pada minggu terakhir September, pasar saham negeri tirai bambu itu melejit tinggi setelah pemerintah dan bank sentralnya secara simultan mengeluarkan berbagai kebijakan dan komitmen kebijakan.

Samuel mengatakan, serangkaian pelonggaran moneter dan komitmen terhadap stimulus fiskal di China itu mengindikasikan perubahan fokus kebijakan dari pro-stability menjadi pro-growth.

Perubahan ini disambut positif, mendorong masuk arus dana asing secara masif ke pasar saham. Menurutnya, dalam jangka pendek, euforia ini memang membuat investor asing berupaya mengambil peluang atas kondisi ini. Penyesuaian portofolio ke pasar saham China oleh investor asing tentunya berpotensi memicu aksi ambil untung dari pasar saham negara berkembang lainnya, terutama yang telah membukukan kinerja cukup baik tahun ini.  

Baca Juga :   Harga Saham Anjlok, Eastspring Investments: Jangka Panjang Ekonomi Indonesia Masih Baik

Namun, Samuel mengatakan, secara fundamental, tentunya butuh waktu bagi berbagai kebijakan tersebut – apalagi yang masih berbentuk komitmen – untuk dimplementasikan dan menciptakan dampak riil pada ekonomi.

Secara jangka menengah panjang, tambahnya, sebenarnya negara-negara eksportir ke China, termasuk Indonesia, akan menerima keuntungan atas membaiknya perekonomian China.

“Sentimen investor yang lebih positif akan tren pertumbuhan ekonomi China ke depan telah memicu penguatan di harga saham komoditas metal dan energi, yang secara umum akan berdampak positif pada pertumbuhan ekspor Indonesia dan kinerja laba emiten di sektor komoditas. Apa yang terjadi di China dua pekan kemarin juga mengafirmasi betapa pentingnya investor melakukan diversifikasi ke pasar saham berbagai kawasan, baik Asia maupun global.

Leave a reply

Iconomics