
Resmi Melantai di BEI, Bagaimana Prospek Bisnis Xolare RCR Energy Tbk (SOLA)?

Mochamad Bhadaiwi, Direktur Utama PT Xolare RCR Energy Tbk
Iconomics - PT Xolare RCR Energy Tbk (SOLA) resmi melantai di Bursa Efek Indonesia (BEI), Rabu (8/5). Menjadi emiten ke-24 yang go public melalui BEI pada tahun ini, saham SOLA dibuka pada harga Rp148 per lembar pada debut perdananya, naik 34,54% dari harga perdana Rp110 per saham.
Mochamad Bhadaiwi, Direktur Utama PT Xolare RCR Energy Tbk mengatakan, Perseroan yang berdiri tahun 2014, adalah perusahaan yang bergerak di bidang perdagangan aspal dan jasa konstruksi yang dilakukan melalui enitas anak.
Ia mengatakan, Xolare berusaha menjadi perusahaan yang unggul di dalam bisnis aspal dan jasa konstruksi, serta melakukan kegiatan usaha yang ramah lingkungan untuk mencapai masa depan yang lebih baik.
Bisnis Xolare RCR Energy Tbk, tambahnya, sangat bersinggungan dengan pembangunan infrastruktur, terutama infrastruktur jalan dan energi.
“Pembangunan infrastruktur tentu akan selalu dibutuhkan di Indonesia karena dapat menciptakan multiplier effect, mendorong pertumbuhan dan menjadi salah satu agenda pemerintah saat ini,” ujarnya di Main Hall BEI, Selasa.
Pembangunan infrastruktur seperti jalan, energi, telekomunikasi, bandara, dan pelabuhan, jelasnya, tentu akan membutuhkan aspal sebagai material konstruksi.
Selain itu, pembangunan yang menekankan aspek lingkungan mendorong Perseroan untuk ikut serta dalam pembangunan infrastruktur energi khususnya untuk pembangunan pembangkit listrik tenaga surya.
“Hal inilah yang akan meningkatkan keyakinan SOLA terhadap peluang produk-produk aspal baik untuk pembangunan jalan maupun konstruksi bangunan serta kebutuhan listrik dari energi terbarukan yang akan cukup besar ke depannya,” ujarnya.
Dalam dokumen prospektus, SOLA menyampikan, kebutuhan aspal penetrasi di Indonesia per tahun sekitar 1,2 juta ton, dimana lebih dari 60% aspal diimpor.
Indonesia merupakan importir aspal terbesar ke-8 di dunia. Impor tersebut mayoritas berasal dari Singapore, Malaysia, China, Korea, Thailand dan dari Timur Tengah.
Ditengah ketertinggalan sarana infrastruktur jalan dan jembatan, Indonesia harus mengimpor aspal karena ketidakcukupan produksi aspal di Indonesia yang hanya bisa mencukupi sekitar 30-40% dari total kebutuhan per tahun.