Menakar Pentingnya Utusan Golongan Dalam Konstitusi Kita
Yayasan Membangun Nusantara Kita (YMNK) bersama Dewan Perwakilan Daerah (DPD) akan menggelar focus group discussion bertemakan “Urgensi Utusan Golongan di MPR RI” di Balai Kirti, Istana Bogor, Jawa Barat, pada 15 Januari nanti. Diskusi tersebut akan membahas secara akademik dan akan disampaikan ke publik tentang pentingnya utusan golongan.
Direktur Eksekutif Nusantara Center Yudhie Haryono mengatakan, pihaknya bersama 10 cendekiawan, 9 budayawan dan 6 tokoh adat menilai tema tersebut sangat penting dalam konteks politik Pancasila. Pasalnya, kewajiban dan hak individu (liberal) harus diselaraskan dengan kewajiban dan hak komunal (utusan golongan).
“Plus kewajiban dan hak teritorial (utusan daerah),” kata Yudhi dalam keterangan tertulis, Kamis (12/1).
Menurut Yudhie, jika saat ini hanya terdapat 2 golongan yakni liberal dan komunal rasa liberal‒DPR dan DPD, maka itu dinilai sebagai bentuk yang tidak sesuai dengan konstitusi dan mengkhianati cita-cita yang terkandung di dalam proklamasi. “Betapa tidak senangnya para pendiri Republik ini di alam sana melihat warisan pemikirannya yang jenius diwafatkan tanpa pikiran panjang,” ujar Yudhie.
Seluruh masalah yang terjadi, kata Yudhie, karena invasi konstitusi, bukan hanya intervensi dari pihak luar. Karena invasi tersebut, maka desain negara mengalami perubahan secara signifikan menjadi negara kepartaian.
Hal tersebut, kata Yudhie, juga dinilai dapat menjadikan Indonesia sebagai negara swasta yang tidak bertanggung jawab terhadap masyarakat. Padahal UUD 2002, menjadi bukti dan artefak invasi yang dapat memastikan kekalahan Indonesia sebagai negara Pancasila.
“Dengan UUD 2002 itu hilanglah negara Pancasila, demokrasi Pancasila dan ekonomi-politik Pancasila, dan hilirnya akan lahir UU yang membela kepentingan swasta dan mempredatori publik,” ujar Yudhie.
Menurut Yudhie, saat ini produk UU yang dihasilkan cenderung memihak terhadap kepentingan swasta. Dalam negara swasta, badan publik bernama pasar lebih kuat daripada civil society. Kondisi tersebut dinilai lebih sadis dari negara republik dan lebih kejam dari agama.
“Inilah neolib. Kredonya: pasar adalah segalanya. Akan tetapi, pilihan menjadi negara neolib tidak menjadi masalah, jika kemiskinan hilang dan kepentingan oligarki serta ketimpangan wafat. Sebab jika itu terjadi, tidak akan ada ketidakpuasan dan kritik pada konstitusi,” ujar Yudhie.
Sebagai negara yang dinilai neolib, kata Yudhie, pemerintah saat ini sedang melakukan kriminalisasi, memenjarakan, dan membunuh rakyatnya sendiri. Kasus Kanjuruhan menjadi contoh tumpulnya penegakan hukum yang terjadi.
“Karena negara neolib tidak perform, maka refleksinya adalah kembali ke UUD 1945, baik via dekrit presiden yang terkoordinasi maupun lewat sidang istimewa MPR RI,” kata Yudhie.
Karena itu, kata Yudhie, menghadirkan trikameralisme atau utusan golongan dan utusan daerah dapat merefleksikan dan menjadikan bangsa Indonesia yang baru. Apabila “pasar” yang didominasi partai politik menjadi sangat dominan, maka hal tersebut dapat dihadang utusan golongan dan daerah.
Sementara dahulu, kata Yudhie, ide utusan daerah datang dari mereka yang memiliki wilayah teritorial seperti raja, dan kepala suku, yang dirumuskan Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) dan Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI). Sedangkan utusan golongan terdiri atas golongan ras/agama, ilmuwan, militer, dan fungsional.
Utusan daerah dan utusan golongan, kata Yudhie, dalam menjalankan politik menggunakan politik kenegaraan. Kedua utusan tersebut juga berperan sebagai perpanjangan tangan masyarakat untuk menghentikan kuasa presiden yang mendukung suatu golongan tertentu dan didikte pasar sebagaimana yang terjadi dalam negara neoliberal.
“Kini pasca-amandemen, memang MPR bukan lagi lembaga tertinggi negara. Tetapi, masih banyak yang tidak tahu, jika imaji rakyat tersebut masih menempatkannya sebagai lembaga tertinggi maka dapat diwujudkan lewat sidang istimewa MPR yang solid, cermat dan jenius dan demi Indonesia Raya,” katanya.