Pemerintah Disarankan Bentuk Tim Selesaikan Gejolak Kenaikan Harga Pangan dan Energi

0
509

Pemerintah diminta menyelesaikan persoalan gejolak harga pangan dan energi yang menjadi kebutuhan masyarakat saat ini. Apalagi harga pangan dan energi tersebut terus meningkat dari waktu ke waktu meski Kementerian Perdagangan menjanjikan bahwa stok aman terutama menjelang bulan Ramadhan dan Lebaran tahun ini.

Anggota Komisi VI DPR Nevi Zuairina mengatakan, antara janji pemerintah dan kenyataan itu rupanya berbanding terbalik. Padahal, kenaikan harga dan kelangkaan minyak goreng dan kedelai belum selesai, kini harga daging pun ikut melonjak.

“Belum lagi gas elpiji non-subsidi yang juga naik. Saya menyarankan kepada pemerintah agar membentuk tim khusus yang dapat menangani persoalan pangan dan energi ini sehingga pengendalian harga jelang puasa dan lebaran dapat dilakukan. Tim terdiri berbagai lembaga institusi kementerian di bawah Kemenko Perekonomian,” kata Nevi seperti dikutip situs resmi DPR beberapa waktu lalu.

Menurut Nevi, selain dampak pandemi yang terus berlangsung, pecahnya perang Rusia-Ukraina telah membuat inflasi Indonesia melambung. Hal itu, terutama dipicu kenaikan harga komoditas energi dan sumber daya mineral di pasar global. Bahkan negara-negara di dunia yang sebelumnya inflasi pangan hanya 1%, kini ada yang mencapai 7% akibat kenaikan harga pangan.

Baca Juga :   Mengapa Perlu Antisipasi Beban Subsidi BBM Membengkak di APBN? Ini Alasannya

Harga komoditas energi dan sumber daya mineral saat ini, kata Nevi, seperti minyak mentah, crude palm oil (CPO) dan komoditas mineral seperti nikel dan batu bara sudah melonjak. Harganya diperkirakan akan semakin melambung seiring perang Rusia-Ukraina yang terus berlangsung. Permintaa dunia akan tinggi, pasokan kurang sehingga inflasi akan meningkat, termasuk di Indonesia.

“Pemerintah harus memastikan stok kebutuhan pangan tercukupi untuk 6 bulan ke depan. Negara mesti dapat memanfaatkan penggunaan sumberdaya dalam negeri untuk memenuhi kebutuhan pangan dan  bahan baku yang terkait dengan energi (seperti batu bara untuk listrik), sebagai upaya mengurangi ketergantungan terhadap impor,” kata Nevi.

Karena itu, Nevi mengingatkan bahwa nilai impor minyak goreng negara sangat tinggi, padahal  Indonesia termasuk produsen minyak goreng terbesar di dunia. Semisal, importasi minyak goreng tahun lalu mencapai US$ 93,3 juta atau sekitar Rp 1,34 triliun. Angka ini naik 38,34% dibanding tahun sebelumnya.

Impor minyak goreng itu, kata Nevi, berasal dari 5 negara utama. Terbesar dari negara tetangga Malaysia sebanyak 19,26 juta kilogram dan kemudian disusul dari negara Thailand sebanyak 16,5 juta kilogram. Selanjutnya dari Australia dengan volume sebanyak 6 juta kilogram, serta dari Spanyol sebanyak 1,3 juta kilogram dan dari Italia sebanyak 1,29 juta kilogram.

Baca Juga :   PR Perlu Kelola Isu Manajemen Risiko dan Bedakan Media Massa dengan Media Sosial

Sedangkan impor minyak goreng nabati pada Januari 2022, kata Nevi, tercatat sebanyak 4,42 juta kilogram. Jumlah ini naik 4,37% dibandingkan Januari 2021 sebanyak 4,23 juta kilogram. Jumlah ini setara dengan US$ 8,2 juta atau naik 42,29% dibandingkan periode yang sama tahun lalu.

“Pemerintah harus mengawasi distribusi kebutuhan bahan pokok seperti minyak goreng, sehingga tidak terjadi penimbunan yang bisa mengakibatkan lonjakan harga. Pada jangka panjang, Alternatif sumber pangan lokal harus mulai dibangun dengan mengupayakan substitusi. Sebab, Indonesia memiliki keanekaragaman komoditas pangan yang sejatinya bisa dimanfaatkan,” katanya.

 

Dapatkan berita dan analisis seputar ekonomi, bisnis dan lainnya hanya di theiconomics.com.

Pastikan untuk mengikuti perkembangan terbaru, berita, dan event The Iconomics di akun sosial media kami:
Instagram: the.iconomics
TikTok: @theiconomics
YouTube: @theiconomics
X: theiconomic
LinkedIn: The Iconomics

Leave a reply

Iconomics