Wakil Ketua Komisi IV: Swasembada Gula Tak Sekadar Produksi, Juga Terkait Nasionalisme

0
398
Reporter: Kristian Ginting

Berbicara swasembada gula, maka tidak bisa dilepaskan dari aspek nasionalisme. Karena itu, swasembada gula tidak sekadar ketersediaan atau tidak tersedianya komoditas tersebut untuk dikonsumsi masyarakat tapi juga persoalan mental orang Indonesia.

Menurut Wakil Ketua Komisi IV Dedi Mulyadi, ketersediaan lahan memang menjadi salah satu kendala dalam rangka mewujudkan swasembada gula. Di Jawa saja, misalnya, diperkirakan ada sekitar 150 ribu hektare lahan kosong yang dikelola PT Perhutani yang tidak dimanfaatkan.

“Nah, lahan ini sebenarnya bisa dimanfaatkan. Harusnya semua kementerian/lembaga bisa saling bersinergi untuk menyiapkan lahan ini guna menunjang program swasembada gula. Mulai dari Kementerian PUPR, badan riset hingga Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan,” kata Dedy dalam sebuah seminar hybrid, Jumat (8/4).

Di samping itu, kata Dedi, persoalan pabrik milik negara juga perlu direvitalisasi untuk meningkatkan produksi gula dalam negeri. Di Jawa Barat, misalnya, pabrik milik perusahaan negara hanya tinggal 1 dan berada di Majalengka. Karena itu, perlu diambil keputusan secara cepat untuk merevitalisasi pabrik gula itu dan sangat terkait dengan nasionalisme pemerintah.

Baca Juga :   Rapat Komisi III dengan Mahfud soal Transaksi Mencurigakan Rp 300 T Batal Dilaksanakan

Itu sebabnya, kata Dedi, seperti yang sudah disebutkan bahwa swasembada juga tak bisa dilepaskan dari mentalitas orang Indonesia itu. Terkait dengan mentalitas orang Indonesia itu setidaknya bisa digolongkan dengan 3 kategori.

“Pertama, orang yang bermental pengusaha. Mental demikian, orientasi pikirannya menggunakan semua sumber dayanya mulai dari dana hingga energinya dikorbankan untuk menciptakan sebuah produk. Kelahiran sebuah produk merupakan kebahagiaan seorang pengusaha,” ujar Dedi.

Sementara yang kedua, kata Dedi, orang yang bermental pedagang. Orang demikian orientasinya menjual produk sehingga tidak peduli apakah itu hasil produksi dalam negeri atau impor. Yang terpenting bagi seorang pedagang ada margin  keuntungan ketika menjual sebuah produk.

Sedangkan yang terakhir, kata Dedi, orang yang bermental calo. Orang begini sama sekali tidak memiliki modal baik dari sisi sumber daya maupun pendanaan. Seorang calo hanya menawarkan kemudahan terutama dalam hal impor untuk mendapatkan komisi.

“Nah ini kan ini harus dibenahi dalam pikiran kita. Kalau ini tidak dibenahi, maka cita-cita swasembada gula hanya cerita dalam sebuah seminar. Gula tidak lagi manis, tapi pahit bagi para pembeli (masyarakat),” ujar Dedi.

Baca Juga :   Tugu Insurance Sabet Penghargaan Berkat Kinerja yang Positif

Untuk diketahui, Komisi IV DPR periode 2014-2019 pernah membentuk Panja Gula Berbasis Tebu. Panja bahkan merekomendasikan beberapa hal untuk mendukung industri gula nasional meliputi revitalisasi pada industri gula (off farm & on farm); jaminan kepastian hukum terhadap lahan HGU; Pengembangan penelitian dan pengembangan riset; mendorong penciptaan varietas baru untuk lahan kering; revitasilasi jaringan irigasi; pemberian insentif (pupuk, alsintan); evaluasi pemberian izin bagi pabrik gula rafinasi; penguatan regulasi dan kebijakan lintas sektor; dan merekomendasikan “Sertifikasi Rendemen” untuk produksi gula dalam dalam negeri.

Dapatkan berita dan analisis seputar ekonomi, bisnis dan lainnya hanya di theiconomics.com.

Pastikan untuk mengikuti perkembangan terbaru, berita, dan event The Iconomics di akun sosial media kami:
Instagram: the.iconomics
TikTok: @theiconomics
YouTube: @theiconomics
X: theiconomic
LinkedIn: The Iconomics

Leave a reply

Iconomics