Apa Kabar RPP Asuransi Wajib?

Ilustrasi mobil di jalan tol/Dok. Lifepal
Pelaku industri asuransi kini masih menunggu Peraturan Pemerintah [PP] tentang Program Asuransi Wajib, yang diharapkan akan menjadi sumber pertumbuhan baru bagi sektor asuransi di Indonesia.
Di sisi lain, agar tak ada polemik, sosialisasi mesti gencar dilakukan agar masyarakat paham. Penolakan bisa mengganjal program ini, sekalipun tujuannya untuk melindungi masyarakat.
Program Asuransi Wajib merupakan amanat Undang-Undang Penguatan dan Pengembangan Sektor Keuangan (UU P2SK) yang disahkan pada Desember 2022.
Mengacu pada penjelasan UU P2SK, program Asuransi Wajib diantaranya mencakup asuransi tanggung jawab hukum pihak ketiga (third party liability) terkait kecelakaan lalu lintas, asuransi kebakaran, dan asuransi rumah tinggal terhadap risiko bencana.
“Pemerintah melalui Kementerian Keuangan saat ini sedang menyusun RPP [Rancangan Peraturan Pemerintah] yang akan menjadi payung hukum bagi pelaksanaan program asuransi wajib tersebut. Setelah PP diterbitkan, OJK akan menyusun peraturan implementasi (RPOJK) untuk program asuransi wajib tersebut,” kata Ogi Prastomiyono, Kepala Eksekutif Pengawas Perasuransian, Penjaminan dan Dana Pensiun, OJK, dalam jawaban tertulis konferensi pers bulanan OJK Januari 2025, yang dikutip Theiconomics.com, Kamis (23/10.
Sesuai UU P2SK, pemerintah dapat membentuk Program Asuransi Wajib sesuai dengan kebutuhan. Pemerintah dapat mewajibkan kepada kelompok tertentu dalam masyarakat untuk ikut serta dalam Program Asuransi Wajib tersebut. Pemerintah juga dapat mewajibkan kepada kelompok tertentu dalam masyarakat untuk membayar Premi atau Kontribusi keikutsertaan sebagai salah satu sumber pendanaan Program Asuransi Wajib tersebut.
Ketua Umum Asosiasi Asuransi Umum Indonesia (AAUI), Budi Herawan, kepada Theiconomics.com, beberapa waktu lalu mengatakan, sulit untuk mengharapkan lompatan yang signifikan pada pertumbuhan premi asuransi umum pada tahun 2025 ini, mengingat saat ini belum ada sumber-sumber pertumbuhan baru.
“Harapannya tahun 2025 itu asuransi-asuransi wajib seperti yang diamanatkan dalam Undang-Undang P2SK itu bisa direalisasi. Karena [saat ini] belum ada kue baru,” ujarnya.
Selain asuransi Third Party Liability, Budi juga mendorong adanya asuransi parametrik yang berbasis katastropik, mengingat Indonesia adalah negara rawan bencana. Usulan ini sejalan dengan penjelasan UU P2SK mengenai Program Asuransi Wajib. Selain Third Party Liability, Program Asuransi Wajib juga mencakup rumah tinggal untuk mendapat perlindungan dari risiko bencana.
Perlu Sosialisasi Masif
Bila Program Asuransi Wajib ini diterapkan, sosialisasi harus dilakukan secara masif agar ada pemahaman yang baik dalam masyarakat. Meski memiliki tujuan yang baik, program ini bisa terganjal penolakan masyarakat, apalagi di tengah isu daya beli yang melemah.
Riset Populix, mengungkapkan sebagian besar masyarakat Indonesia belum memiliki pemahaman atas program asuransi Third Party Liability atau asuransi tanggung jawab pihak ketiga.
Hal itu terungkap dalam laporan Populix berjudul “Sentimen Masyarakat terhadap Program Wajib Asuransi Kendaraan”, berdasarkan survei kepada lebih dari 1.000 responden.
“Sayangnya, dari seluruh responden yang 95%-nya memiliki kendaraan bermotor, hanya dua dari lima yang memahami program ini secara menyeluruh. Padahal, apabila mengacu pada peraturan perundang-undangan, program ini diharapkan mulai berlaku dua tahun setelah UU PPSK diterbitkan, yaitu pada Januari 2025 ini,” kata Indah Tanip, VP of Research Populix dalam keterangan pers, Kamis (9/1).
Untuk pertanggungan rumah tinggal dari risiko bencana, agar tak terlalu membebani masyarakat, Budi mengusulkan pembayaran premi dengan cara integrasi dengan pembayaran Pajak Bumi dan Bangunan.
“Misalnya dia bayar Rp100.000, sebanyak Rp10.000 untuk pembelian asuransi,” kata Budi.