Indonesia Rawan Bencana, AAUI Usulkan Asuransi Parametrik Berbasis Katastropik

0
42

Asosiasi Asuransi Umum Indonesia (AAUI) mendorong agar Indonesia memiliki asuransi parametrik berbasis bencana atau katastropik untuk mengurangi beban anggaran negara dalam rekonstruksi pasca bencana.

“Kita sudah menyampaikan melalui Kadin agar disampaikan ke pemerintah asuransi parametrik yang berbasis katastropik,” kata Budi Herawan, Ketua Umum AAUI kepada Theiconomics.com belum lama ini.

Djonieri, Kepala Departemen Pengaturan dan Pengembangan Perasuransian, Penjaminan dan Dana Pensiun OJK dan Muhamad Anugrah, Deputi Direktur Direktorat Pengembangan Perasuransian, Penjaminan dan Dana Pensiun OJK, dalam opini “Peluang Asuransi Parametrik” di Bisnis.com menjelaskan, asu­­­­ransi parametrik adalah produk asuransi di mana pembayaran klaim ti­­­­dak bergantung pada penilaian terhadap timbulnya kerugian dari risiko yang terjadi. Misalnya, perusahaan asuransi akan membayar klaim pada pihak yang mengalami kerugian akibat gempa di suatu daerah, bila magnitudo gempa telah mencapai 8,0 skala richter. Contoh lainnya, perusahaan asuransi yang mempunyai nasabah petani akan membayarkan klaim bila nasabah terkena dampak kerugian bencana banjir akibat curah hujan mencapai 400 milimeter. 

Baca Juga :   OJK Beberkan Kondisi Stabilitas Sistem Keuangan dan Tantangan Perekonomian Global

Budi mengatakan, untuk memudahkan masyarakat dalam membayar premi asuransi parametrik berbasis bencana ini, bisa digabungkan dengan pembayaran Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) yang dibayarkan setiap tahun.

“Misalnya dia bayar Rp100.000, sebanyak Rp10.000 untuk pembelian asuransi,” kata Budi.

Dengan adanya asuransi  parametrik berbasis bencana, menurut Budi, dapat mengurangi beban pemerintah dalam menangani korban bencana, terutama pasca bencana seperti dalam hal rekonstruksi rumah yang rusak.

“Dari pada tunggu kejadian BNPB [baru] masuk menyalurkan bantuan. Karena hal yang diperlukan adalah recover pasca kejadian. Bahwa Indonesia negara katastropik harus diakui,” ujarnya.

Budi mengakui implementasi program ini harus dilakukan oleh pemerintah, bukan Otoritas Jasa Keuangan (OJK).

“Cuma siapa yang mau di depan? Kementerian Keuangan? Atau Kementerian Perumahan? Atau siapa? OJK hanya regulator di sini. Dia harus dijembatani,” ujarnya. 

Agar masyarakat pembayar pajak tidak menganggap ini sebagai beban, Budi mengatakan, diperlukan sosialisasi agar bisa dipahami maksud dan tujuannya, bahwa program tersebut untuk kepentingan masyarakat sendiri.

Mengutip data BNPB, sepanjang tahun ini hingga 21 November, jumlah kejadian bencana di Indonesia sebanyak 1.804 kejadian, yang didominasi bencana hidrometeorologi sebanyak 98,78%. Sisanya, 1,22% bencana geologi.

Baca Juga :   Semester I-2021 Laba Tugu Insurance Naik Signifikan, Semester II Tetap Optimistis

Selain menimbulkan korban jiwa, bencana-bencana ini menyebakan kerusakan rumah. BNPB melaporkan, jumlah rumah yang rusak berat sebanyak 8.457 unit, rusak sedang 10.808 unit, dan rusak ringan 34.099 unit. Kerusakan juga terjadi pada fasilitas umum seperti sekolah, rumah ibadat, fasilitas kesehatan, perkantoran dan jembatan.

Dapatkan berita dan analisis seputar ekonomi, bisnis dan lainnya hanya di theiconomics.com.

Pastikan untuk mengikuti perkembangan terbaru, berita, dan event The Iconomics di akun sosial media kami:
Instagram: the.iconomics
TikTok: @theiconomics
YouTube: @theiconomics
X: theiconomic
LinkedIn: The Iconomics

Leave a reply

Iconomics