KSSK Komitmen Jaga Stabilitas Keuangan di Triwulan III/2022
Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK) menilai stabilitas keuangan pada Triwulan III/2022 tetap dalam kondisi mampu pulih dalam ketidakpastian global saat ini. Kemudian, KSSK berkomitmen menjaga stabilitas sistem keuangan dengan memperkuat koordinasi.
“Dan, terus mewaspadai perkembangan dari risiko global termasuk di dalam menyiapkan respons kebijakan,” kata Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati dalam keterangan resminya, Kamis (3/11).
Sri Mulyani menuturkan, perbaikan ekonomi domestik masih tetap berlanjut yang ditopang agregat demand dari konsumsi swasta. Dan, itu dinilai masih kuat di tengah kenaikan inflasi, investasi non-bangunan yang meningkat, dan kinerja ekspor yang terjaga.
Pada Oktober 2022, kata Sri Mulyani, Purchasing Manager Index (PMI) manufaktur Indonesia masih berada di zona ekspansi atau pada level 51,8. Kendati demikian, pencapaian tersebut mengalami penurunan dari posisi September 2022 yang berada pada level 53,7.
Sedangkan pada September 2022, lanjut Sri Mulyani, Indeks Penjualan Riil (IPR) mengalami pertumbuhan 5,5% secara tahunan (yoy). Kemudian, Indeks Keyakinan Konsumen (IKK) juga menunjukkan persepsi konsumen yang ekspansif yaitu berada pada level 117,2.
“Posisi ini memang lebih turun dari posisi Juni 2022 yang berada pada level 128,2. Ini merupakan dampak dari penyesuaian harga bahan bakar minyak (BBM) yang menimbulkan tingkat kenaikan harga. Perbaikan ekonomi nasional juga terlihat pada kinerja lapangan usaha utama yaitu sektor perdagangan, pertambangan, serta pertanian juga menunjukkan kinerja yang membaik atau masih baik,” ujar Sri Mulyani.
Dari sisi kinerja perekonomian global, kata Sri Mulyani, terlihat melambat dengan risiko ketidakpastian yang semakin tinggi. Perlambatan pertumbuhan ekonomi terjadi di sejumlah negara maju seperti Amerika Serikat (AS), Eropa, dan Tiongkok.
“Ini tercermin pada PMI manufaktur global bulan September 2022 yang masuk ke zona kontraksi pada level 49,8,” ujar Sri Mulyani.
Menurut Sri Mulyani, perlambatan tersebut dipengaruhi adanya keberlanjutan ketegangan geopolitik dan perang di kawasan Ukraina-Rusia. Dengan demikian, memicu tekanan inflasi tinggi, fragmentasi ekonomi global, perdagangan dan investasi, serta berdampak pada pengetatan kebijakan moneter yang lebih agresif dari otoritas moneter di negara-negara maju.
“Kenaikan Fed funds rate yang lebih tinggi dengan siklus yang lebih panjang mendorong semakin kuatnya mata uang dolar AS. Jadi, menyebabkan depresiasi terhadap nilai tukar di berbagai negara, termasuk Indonesia,” ujar Sri Mulyani.