Meski Menurun Drastis, Pemerintah Klaim Penerimaan Pajak Masih Normal Hingga Februari

0
50

Meski secara statistik penerimaan pajak pada periode Januari-Februari 2025 mengalami penurunan yang tajam, tetapi pemerintah mengklaim penerimaan pajak pada periode tersebut masih normal.

“Penerimaan pajak memiliki tren bulanan yang spesifik. Dalam 4 tahun terakhir mulai dari 2022, 2023, 2024, polanya sama. Desember itu naik cukup tinggi karena ada efek Nataru dan akhir tahun, kemudian menurun di bulan Januari dan Februari. Itu sama setiap tahun. Jadi, tidak ada hal yang anomali. Sifatnya normal saja,” ujar Wakil Menteri Keuangan, Anggito Abimanyu dalam konferensi pers, Kamis (13/3).

Pada Januari hingga Februari 2025, penerimaan pajak mencapai Rp187,8 triliun atau baru mencapai 8,6% dari target dalam APBN 2025 yaitu sebesar Rp2.189,3 triliun.

Padahal pada periodde yang sama tahun 2024, realisasi penerimaan pajak sebesar Rp269,02 triliun atau mencapai 17,24% dari target dalam APBN 2024.

Jadi, penerimaan pajak pada periode Januari-Februari 2025 menurun sebesar 30,19% dibandingkan Januari-Februari 2024.

“Mengapa Januari-Februari 2025 lebih rendah? Ini karena dua faktor. Pertama, penurunan dari harga komoditas utama antara lain batu bara (-11,8%), minyak brent (-5,2%) dan nikel (-5,9%),” ujar Anggito.

Selain karena penurunan harga komoditas, Anggito mengatakan penurunan penerimaan pajak pada periode Januari-Februari 2025 juga terjadi karena “ada faktor administrasi.”

Faktor administrasi yang dimaksudkan Anggito, diantaranya terkait dengan efek kebijakan tarif efek rata-rata (TER) atas PPh 21 yaitu pajak atas gaji/upah, honor karyawan/pegawai. 

Ia mengatakan penerapan TER PPh 21  sejak Januari 2024 mengakibatkan lebih bayar sebesar Rp16,5 triliun pada 2024. Lebih bayar tersebut kemudian diklaim kembali pada Januari dan Februari 2025. 

Baca Juga :   Prabowo Dorong Efisiensi Belanja 2025, Tetapi Tidak untuk Bansos

Menurutnya, apabila dampak klaim lebih bayar diperhitungkan (dinormalisasi), rata-rata PPh Pasal 21 Desember 2024 sampai dengan Februari 2025 masih lebih tinggi dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya. 

“Jadi jelas ya, ada kebijakan yang baru pertama kali dilaksanakan tahun 2024 yang namanya TER untuk PPh 21. Kalau Anda menghitung cash memang menurun, tetapi kalau ini adalah efek dari kebijakan TER yang dilaksankan tahun 2024,” ujarnya.

Demikian juga untuk penerimaan PPN dalam negeri, menurut Anggito, tetap mengikuti pola musiman yang kurang lebih sama setiap tahun, dimana pada Januari menurun dibandingkan dengan Desember tahun sebelumnya. 

“Untuk tahun 2025 ini ada kebijakan baru yaitu relaksasi pembayaran PPN dalam negeri selama 10 hari. Jadi, ada kewajiban pembayaran yang sampai dengan Februari itu direlaksasikan, dapat dibayarkan hingga 10 Maret 2025. Sekali lagi, apabila dinormalisasikan, maka rata-rata PPN dalam negeri periode Desember 2024 sampai Februari 2025 yaitu Rp69,5 triliun, dibandingkan periode yang sama Rp64,2 triliun. Jadi, masih tumbuh 8,3%. Jadi ini adalah dampak relaksasi yang harusnya menjadi bagian dari perhitungan Februari,” ujarnya.

Penerimaan PPh pasal 25 untuk badan, kata Anggito, juga kondisinya cukup normal. 

“Tidak ada anomali sama sekali. Setoran PPh 25 masih mengikuti pola yang normal. Meskipun sedikit ada perlambatan karena faktor eksternal yaitu penurunan harga komodistas yang berpengaruh pada PPh badan,” ujarnya.

Baca Juga :   Dirjen Pajak Optimistis, Penerimaan Pajak Semester II 2022 Tetap dalam Tren Positif

Defisit Anggaran

Pada kesempatan yang sama, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati memaparkan sesuai Undang-Undang Nomor 62 tahun 2024 tentang APBN 2025, pendapatan negara ditargetkan Rp3.005 triliun, yang terdiri atas penerimaan pajak Rp2.189,3 triliun, bea dan cukai Rp301,6 triliun dan PNBP Rp513,6 triliun.

Hingga akhir Februari, papar Sri Mulyani, realisasi pendapatan negara mencapai Rp316,9 triliun, yang terdiri atas penerimaan perpajakan Rp240,4 triliun atau 9,7% dari target dalam APBN.

Penerimaan perpajakan ini terdiri atas  penerimaan pajak sebesar  Rp187,8 triliun atau 8,6% dari target dan realisasi penerimaan kepabeanan dan cukai  sebesar Rp52,6 triliun atau 17,5% dari target Rp301,6 triliun.

Kemudian, penerimaan dari Pendapatan Negara Bukan Pajak (PNBP), hingga akhir Februari sebesar Rp76,4 triliun atau 14,9% dari target sebesar Rp513,6 triliun.

Dari sisi belanja, Sri Mulyani memaparkan, sesuai target APBN 2025 sebesar Rp3.621,3 triliun, terdiri atas belanja pemerintah pusat sebesar Rp2.701,4 triliun, dimana belanja K/L sebesar Rp1.160 triliun dan belanja non K/L sebesar Rp1.541,4 triliun. Kemudian transfer ke daerah sebesar Rp919,9 triliun. 

Realisasi belanja negara hingga akhir Februari 2024 mencapai Rp348,1 triliun, atau 9,6% dari total yang dianggarkan dalam APBN.

Realisasi belanja pemerintah pusat mencapai Rp211,5 triliun atau 7,8% dari target, yang terdiri atas  realisasi belanja K/L sebesar Rp83,6 triliun atau sekitar 7,2% dari target dan realisasi belanja Non K/L sebesar Rp127,9 triliun atau 8,3% dari target.

Baca Juga :   Kontraksi Penerimaan Pajak Berkurang, Sri Mulyani : ‘Ekonomi Mulai  Balik Arah’

“Untuk transfer [ke daerah] terlihat lebih maju, yaitu kita telah mentransfer ke daerah sampai akhir Februari mencapai Rp136,6 triliun. Dari segi persentase lebih tinggi dari kecepatan belanja pemerintah pusat yaitu 14,9% dari total transfer tahun ini yaitu sebesar Rp919,9 triliun,” ujar Sri Mulyani.

Berdasarkan realisasi penerimaan dan belanja tersebut, hingga Februari, kata Sri Mulyani, keseimbangan primer dalam posisi surplus Rp48,1 triliun. 

Keseimbangan primer adalah selisih antara penerimaan negara dengan belanja negara, tanpa termasuk pembayaran bunga utang. 

Sementara secara keseluruhan, hingga Februari APBN 2025 terjadi defisit sebesar Rp31,2 triliun atau 0,13% dari PDB. 

“Defisit 0,13% tentu masih di dalam target desain APBN sebesar 2,53% dari PDB yaitu Rp616,2 triliun,” ujar Sri Mulyani.

Sampai dengan akhir Februari, pembiayaan anggaran telah mencapai  Rp220,1 triliun atau terealisasi sebesar 35,7% dari target pembiayaan tahun ini yang ditetapkan sebesar Rp616,2 triliun.

Realisasi pembiayaan yang besar ini, kata Sri Mulyani, terjadi karena pemerintah lebih banyak menerbitkan surat utang di awal tahun.

Dapatkan berita dan analisis seputar ekonomi, bisnis dan lainnya hanya di theiconomics.com.

Pastikan untuk mengikuti perkembangan terbaru, berita, dan event The Iconomics di akun sosial media kami:
Instagram: the.iconomics
TikTok: @theiconomics
YouTube: @theiconomics
X: theiconomic
LinkedIn: The Iconomics

Leave a reply

Iconomics