Penambang Nikel Pertanyakan Rencana DPR Revisi UU Minerba untuk Kepentingan Ormas dan Perguruan Tinggi

0
32

Pemerintah dan DPR akan mengukuhkan bagi-bagi Izin Usaha Pertambangan [IUP] kepada organisasi kemasyarakatan [Ormas] keagamaan dalam Undang-Undang. 

Pemberian IUP untuk ormas keagamaan saat ini diatur dalam Peraturan Pemerintah [PP] Nomor 25 tahun 2024, serta Peraturan Presiden Nomor 76 tahun 2024.

Dua aturan ini belum cukup kuat memberi legitimasi pemberian IUP ke ormas keagamaan.

Karena itu, atas inisiatif DPR RI, Undang-Undang Nomor 4 tahun 2009 tentang Mineral dan Batubara [UU Minerba] yang sudah direvisi tiga kali, akan kembali direvisi pada 2025 ini. 

Dalam draf revisi, tak hanya ormas keagamaan yang bakal diberikan hak prioritas untuk mengelola  Wilayah lzin Usaha Pertambangan Khusus [WIUPK], tetapi juga Perguruan Tinggi serta Usaha Mikro Kecil dan Menengah [UMKM].

Asosiasi Penambang Nikel Indonesia (APNI) meminta agar DPR tidak buru-buru memasukkan klausul dalam PP Nomor 25 tahun 2024 dan Perpres Nomor 76 tahun 2024 ke dalam revisi UU Minerba.

“Maksud kami, mungkin sebelum ini diterapkan di Undang-Undang ini, mohon berkenan kiranya bisa dikaji dulu pelaksanaan PP yang kemarin. Bagaimana ormas yang sudah mendapatkan jatah IUP itu melaksanakan bagiannya itu? Apakah ormas itu, mungkin bukan kapasitasnya, bukan kapabilitasnya, dan tidak cukup finance itu, mampu melaksanakan penambangan? Itu mungkin menjadi bagian yang akan yang sangat penting buat kita,” ujar Ketua Umum APNI, Komjen Pol (Purn) Drs. Nanan Soekarna dalam Rapat Dengar Pendapat Umum [RDPU] dengan Badan Legislasi DPR RI, Rabu (22/1).

Mantan Kepala Kepolisian Republik Indonesia ini mengatakan, kalau sudah ada kajiannya dan ternyata ormas-ormas keagamaan itu berhasil mengelola WIUP yang diberikan pemerintah, maka kebijakan serupa cocok juga diberikan kepada perguruan tinggi.

Baca Juga :   Soal Pemberian IUP ke Ormas,  Muhammadiyah Keberatan Larangan Kerja Sama dengan Pemegang PKP2B Lama 

RDPU ini juga dihadiri oleh Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) dan Pengurus Pusat Muhammadiyah, dua ormas keagamaan yang sudah mendapatkan jatah IUP Khusus dari pemerinta pada 2024.

Pada kesempatan itu, Sekretaris Jenderal APNI, Meidy Katrin Lengkey memaparkan kondisi pertambangan nikel Indonesia serta sejumlah tantangan yang dihadapi.

Meidy antara lain memaparkan Indonesia merupakan pemasok 63% produksi nikel global. Indonesia saat ini memiliki 395 IUP nikel dan 95 perusahaan smelter nikel.

Pada 2025, berdasarkan Rencana Kerja dan Anggaran Biaya perusahaan pemegang IUP nikel, produksi nikel Indonesia ditargetkan 298.498.049 Wet Metric Tonne [WMT], kondisi yang diperkirakan akan membuat pasokan nikel dunia berlebih [over supply] sehingga harga akan turun terus.

Pada Januari-November 2024, nilai ekspor seluruh produk nikel Indonesia, seperti nikel matte, nickel pig iron (NPI), mixed hydroxide precipitate (MHP), katoda nikel dan nikel sulfat mencapai sekitar US$20 miliar.

Namun, ada ironi di balik pencapaian ini. Meidy mengakui, dampak pertambangan nikel kepada masyarakat sekitar tambang minim secara ekonomi. 

“Karena kalau kita bicara before dan after, sebelum ada smelter dan sesudah ada smelter, sebelum ada tambang dan sesudah tambang, kalau saya jadi masyarakat di sana, masyarakat di sana itu ngeluh, mendingan sebelum ada tambang. Kenapa? GDP naik, tetapi harga belinya mereka kurang. Jadi, bagi kami mereka makin miskin,” ujarnya.

Alih-alih dampak positif pada perekonomian, aktivitas pertambangan justru berdampak negatif pada kesehatan masyarakat. Meidy mengungkapkan, bekerja sama dengan lembaga di bawah Organisasi Kesehatan Dunia [WHO], APNI menguji secara random masyarakat di sekitar tambang.

Baca Juga :   Jokowi Teken PP yang Beri Hak Istimewa ke Ormas Keagamaan Kelola IUP

“Dari enam daerah yang kita [cek secara] random, ternyata semuanya sama. Pneumonia. Artinya ada dampak environment dari kebanggaan kita akan kesuksesan nikel Indonesia. Produksi ini apakah berdampak kepada masyarakat? Belum,” ujarnya.

Saat ini, kata Meidy, industri pertambangan nikel juga sedang menghadapi tantangan global yang mengharuskan industri menerapkan Environmental, Social, and Governance [ESG].

Uni Eropa, misalnya, akan merilis Undang-Undang Baterai yang mewajibkan baterai yang masuk ke wilayah itu memenuhi aspek ESG, termasuk baterai berbahan baku nikel. Mulai Februari 2027, Benua Biru itu mewajibkan setiap baterai memiliki ‘paspor baterai’.

“Paspor baterai itu kayak visa. Jadi, kalau kita mau ke Eropa kita pakai visa. Nah nikel Indonesia juga di 2027 harus pake visa. Visanya apa? Paspor baterai. Paspor baterai itu apa? ESG,” ujarnya.

Tidak Adil

Alih-alih membahas berbagai tantangan itu, revisi UU Minerba justru fokus pada bagi-bagi IUP untuk ormas, perguruan tinggi dan UMKM.

Bagi AINI, ada ketidakadilan di dalam pembagian ini.

“Karena ada kata-kata prioritas. Kami punya aspek finansial, kami punya aspek profesionalisme dalam penambangan, kami sedang berjalan. Tetapi, kenapa ada pihak lain yang ‘belum punya pengalaman, tidak mumpuni secara finansial, tidak mumpuni secara skill’,  kok ada bahasa prioritas. Mungkin ini bisa dikaji,” kata Meydi.

Ia mengatakan kegiatan pertambangan “berat banget kerjanya.” Anggota APNI yang sudah bertahun-tahun menekuni usaha ini, “masih menghadapi tantangan yang luar biasa” di lapangan.

Beberapa tantangan yang dihadapi itu, ungkap Meydi, diantaranya masalah tumpang tindih perizinan, serta ego sektoral lintas kementerian.

Baca Juga :   Asosiasi Penambang Nikel Dorong Indonesia Punya Harga Acuan Nikel Sendiri

Sebagai contoh, ia mengatakan, sudah mengantongi IUP, tetapi tidak bisa melakukan kegiatan penambangan karena belum adanya Izin Pinjam Pakai Kawasan Hutan [IPPKH] dari Kementerian Kehutanan. 

Tak berhenti di situ. Kalaupun sudah memiliki IUP dan IPPKH, tantangan lain adalah tidak bisa jualan karena hambatan akses hauling dari pemegang IUP lainnya.

“Apakah mampu teman-teman UMKM atau Perguruan Tinggi menghadapi tantangan yang kami hadapi seperti saat ini?”

“Ini masalah-masalah non teknis yang kita hadapi di lapangan, yang susah jalan keluarnya. Mampu nggak mereka menghadapi tantangan-tantangan yang saat ini sedang kami hadapi?” ujar Meydi.

UMKM, menurutnya tak mesti memiliki IUP, karena mereka bisa bermitra dengan perusahaan tambang.

“Kalau kita berbicara UMKM, sebenarnya banyak program. UMKM itu kita bisa ajak, kalau bahasa kami kayak TKDN, bisa mengajak pengusaha-pengusaha kecil itu untuk bekerja sama. Kita juga masih butuh kontraktor. Kita juga masih butuh kontraktor untuk pasca tambangnya,” ujarnya.

Demikian juga untuk perguruan tinggi. Perusahaan tambang, katanya, memilik program tanggung jawab sosial [CSR] dan Program Pengembangan dan Pemberdayaan Masyarakat. 

“Kenapa nggak diajak kerja sama untuk melakukan riset sehingga mereka fokus kepada pendidikan dan bagaimana pengembangan riset teknologi atau cadangan yang saat ini kita lagi butuh-butuhnya,” ujar Meydi.

Dapatkan berita dan analisis seputar ekonomi, bisnis dan lainnya hanya di theiconomics.com.

Pastikan untuk mengikuti perkembangan terbaru, berita, dan event The Iconomics di akun sosial media kami:
Instagram: the.iconomics
TikTok: @theiconomics
YouTube: @theiconomics
X: theiconomic
LinkedIn: The Iconomics

Leave a reply

Iconomics