Sudah Dapat Konsesi Tambang, NU Dukung DPR Percepat Revisi UU Minerba

Ketua Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) Ulil Abshar Abdalla dalam RDPU dengan Baleg DPR membahas revisi ke-4 Undang-Undang Nomor 4 tahun 2009 tentang Minerba/Foto: YouTube
Organisasi kemasyarakatan [Ormas] Keagamaan terbesar di Indonesia Nahdlatul Ulama [NU] mendukung inisiatif Dewan Perwakilan Rakyat [DPR] untuk melakukan perubahan keempat Undang-Undang Nomor 4 tahun 2009 tentang Mineral dan Batubara.
Ketua Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) Ulil Abshar Abdalla mengatakan revisi ini penting agar pemberian Izin Usaha Pertambangan [IUP] kepada Ormas Keagamaan memiliki payung hukum yang kuat.
Apalagi, kata Ulil, Peraturan Pemerintah [PP] Nomor 25 tahun 2024 yang menjadi landasan hukum pemberian IUP kepada Ormas Keagamaan saat ini sedang diujikan di Mahkamah Agung [MA] oleh Lembaga Swadaya Masyarakat [LSM].
Ulil yang berbicara dalam Rapat Dengar Pendapat Umum [RDPU] dengan Badan Legislasi [Baleg] DPR, mengatakan payung hukum pemberian IUP kepada Ormas Keagamaan ini ”sangat penting sehingga memberikan kekuatan hukum yang kokoh terhadap kebijakan ini”.
“Sebagaimana diketahui, sekarang ini ada usulan judicial review di MA terkait dengan Peraturan Pemerintah Nomor 25 terkait dengan konsesi pertambangan ini, karena memang belum ada payung hukum pada tingkat undang-undang. Oleh karena itu, inisiatif DPR di dalam melakukan revisi terhadap Undang-Undang Minerba ini kami anggap sangat baik,”kata Ulil, Rabu (22/1).
Selain NU, Baleg DPR juga mengundang Muhammadiyah dan Asosiasi Penambang Nikel Indonesia (APNI) dalam RDPU ini.
Revisi keempat Undang-Undang Minerba diputuskan dalam rapat yang dilakukan Baleg pada Senin (20/1) malam. Revisi ini antara lain dilakukan untuk memberikan payung hukum yang kuat terkait pemberian IUP kepada Ormas Keagamaan yang sudah dilakukan pada 2024. Wacana terbaru, pemerintah juga berencana memberikan konsesi tambang kepada perguruan tinggi.
Ulil mengatakan, NU “mendukung sepenuhnya” revisi Undang-Undang Minerba ini.
“Tidak hanya mendukung, kami mendukung supaya revisi ini cepat-cepat disahkan karena jika tidak, ada maslahat yang terganggu. Jadi, kami mendukung supaya revisi ini dipercepat sehingga MA bisa segera melakukan keputusan terhadap judicial review yang dilakukan oleh teman-teman LSM di sana,”ujarnya.
Tahun lalu, di tengah kontroversi, NU menjadi Ormas Keagamaan pertama di Indonesia yang mendapatkan IUP dari pemerintah.
Pada kesempatan RDPU itu, Ulil mengatakan, keputusan pemerintahan Presiden Joko Widodo memberikan konsesi tambang kepada Ormas Keagamaan “sangat tepat”.
NU yang “mendukung keputusan pemerintah” itu, kata Ulil, tidak dalam posisi sebagai pihak yang mengajukan konsesi tambang itu.
“Konsesi pertambangan ini yang kemudian diberikan kepada pertama-tama NU, merupakan inisiatif dari pihak pemerintah. Kami tidak mengajukan permintaan dan tidak melakukan inisiatif untuk meminta konsesi ini,” ujarnya.
NU, kata dia, menganggap pemberian IUP itu “sebagai niat baik dari pihak pemerintah.”
“Dari pihak kami, jika konsesi ini ada, alhamdulillah, kalau pun tidak ada, juga tidak masalah. Karena kami tidak mengajukan permintaan pada awalnya. Jadi, ini kami anggap sebagai good will atau niat baik dan Insya Allah ini niat baik yang pahalanya banyak dari pihak pemerintah. Untuk itu kami mengucapkan terima kasih dan apresiasi yang setinggi-tingginya,”ujarnya.
Kontroversi tentu saja ada, kata pria yang pernah dikenal sebagai aktivis Jaringan Islam Liberal ini.
“Bagi saya kontroversi semacam ini adalah kontroversi yang sehat karena menguji argumen masing-masing pihak di dalam isu yang sangat penting ini. Salah satu isu yang penting di dalam pertambangan tentu saja isu tentang lingkungan,” ujarnya.
Dalam tradisi NU, terutama pesantren, kebijakan publik, apa pun bentuknya, selalu memiliki dua sisi yaitu positif dan negatif.
“Jika menggunakan bahasa pesantren, ada maslahat dan ada mafsadat-nya. Setiap kebijakan publik pasti mengandung dua aspek ini. Jarang ada kebijakan yang seluruhnya mengandung maslahat atau seluruhnya mengandung mafsadat,”ujarnya.
“Oleh karena itu, jika menggunakan reasoning atau cara berpikir yang kami biasa pakai dalam tradisi pesantren, di dalam menghadapi kebijakan yang seperti ini, maka kita biasanya melakukan upaya untuk menimbang-nimbang. Jadi, ketika ada kebijakan yang mengandung maslahat dan ada mafsadat, maka kita harus menimbang-nimbang dengan mengambil kebijakan yang paling minimal mafsadat atau ekses negatifnya, atau mengambil kebijakan yang maslahat-nya lebih besar daripada mafsadat-nya. Inilah cara berpikir yang biasa kami pakai dalam tradisi pesantren di lingkungan NU,” jelasnya.
Setelah ditimbang-timbang, jelas Ulil, NU menganggap kebijakan pemberian IUP ke Ormas Keagamaan ini tepat karena sesuai dengan wawasan keislaman NU.
“Kontroversi pasti ada. Tetapi, kami melihat bahwa maslahat dari kebijaksanaan ini yaitu konsensi pertambangan untuk Ormas Keagamaan itu maslahat-nya lebih besar daripada mafsadat-nya,”ujar Ulil.