Sampah Plastik Merusak Lingkungan, Ekonomi Sirkular Jadi Solusi

Pembicara dalam diksusi "Bicara Ekonomi Sirkular: Pentingnya Data dan Traceability Sampah Plastik," yang diadakan oleh Unilever Indonesia, Kamis (9/6).
Jumlah sampah plastik yang mencemari lingkungan di Indonesia diperkirakan akan terus meningkat bila tidak ada upaya serius untuk mengatasinya. Perlu ada perubahan mindset, dari ekonomi linear ke ekonomi sirkular, agar sampah plastik tidak dibuang begitu saja dan merusak lingkungan, tetapi didaur ulang dan memberikan nilai ekonomi.
“Sampah plastik khususnya sampah kemasan plastik terus meningkat ragamnya baik secara global maupun nasional. Komposisinya meningkat dari 10-11% menjadi 16-17% rata-rata nasional. Bahkan di Surabaya komposisinya mencapai 22%. Jika tidak ada kebijakan dan program yang extra ordinary, maka di tahun 2050 komposisi sampah plastik bisa mencapai 40-50% sampah kita,” ungkap Sinta Saptarina Soemiarno, Direktur Pengurangan Sampah, Dirjen PLSB3, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) dalam diskusi “Bicara Ekonomi Sirkular: Pentingnya Data dan Traceability Sampah Plastik,” yang diadakan oleh Unilever Indonesia, Kamis (9/6).
Sinta mengatakan Undang-Undang No.18 tahun 2008 tentang pengolahan sampah sudah tegas menyatakan bahwa setiap orang dalam pengelolaan sampah rumah tangga dan sampah sejenis rumah tangga, wajib mengurangi dan wajib menangani sampah dengan cara yang berwawasan lingkungan.
Selain itu, tambah Sinta, dalam undang-undang tersebut juga disebutkan bahwa pelaku usaha dalam melaksanakan kegiatan produksi menggunakan bahan produksi yang menimbulkan sampah sedikit mungkin, dapat diguna ulang, dapat didaur ulang atau mudah diuraikan oleh proses alam.
Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan juga telah menerbitkan Peraturan Menteri LHK No.75 tahun 2019 tentang peta jalan pengurangan sampah oleh produsen. Sinta mengatakan, aturan tersebut merupakan upaya konkret pemerintah untuk mengurangi polusi plastik dan membuat nilai ekonomi plastik ini terus dijaga dan dimanfaatkan secara berulang.
“Permen LHK No.75 tahun 2019 menjadi dasar para produsen termasuk Unilever membangun prinsip yang berkelanjutan, prinsip sustainable dan responsible production yang merupakan salah satu tujuan SDG’s. Sustainable bisnis menjadi bisnis masa kini dan masa depan yang bukan merupakan pilihan tetapi kebutuhan untuk keberlangsungan manusia dan planet,” ujar Sinta.
Pada kesempatan yang sama, Maya Tamimi, Head of Sustainable Environment Unilever Indonesia Foundation mengatakan tema peringatan hari lingkungan hidup sedunia pada 5 Juni lalu yaitu ‘Only One Earth’ merupakan inisiatif global yang menekankan pentingnya peranan semua pihak untuk menanggulangi berbagai permasalahan yang dihadapi pelanet bumi termasuk masalah sampah.
“Kami percaya, bahwa permasalahan sampah salah satunya bisa kita urai dengan menerapkan ekonomi sirkular. Jadi, bagaimana plastik itu menjadi bermanfaat ekonomi tetapi tidak mencemari lingkungan,” ujar Maya.
Maya mengatakan peran penting produsen dalam mengurangi sampah plastik sudah tertuang dalam Peraturan Menteri LHK No.75 tahun 2019. Peraturan tentang peta jalan pengurangan sampah oleh produsen ini meregulasi bagaimana setiap produsen sepatutnya memiliki roadmap yang jelas dan terukur dalam mendukung upaya pengumpulan dan daur ulang sampah utamanya sampah plastik menuju ekonomi sirkular.
Unilever, jelasnya, telah menetapkan sejumlah komitmen global untuk menanggulangi permasalahan sampah plastik itu, diantaranya dengan mengurangi 1/2 dari penggunaan plastik baru dengan cara mengurangi penggunaan kemasan plastik sebanyak lebih dari 100 ribu ton.
Unilever juga melakukan rangkaian edukasi untuk mendorong perubahan prilaku masyarakat serta upaya mengumpulkan sampah termasuk melalui bank sampah dan titik-titik pengumpulan yang lainnya.
“Upaya yang dilakukan mulai dari hulu ke hilir rantai bisnis ini telah memungkinkan Unilever Indonesia di tahun 2021 membantu terjadinya pengumpulan dan pemrosesan lebih dari 45.900 ton sampah plastik. Hasil pengumpulan ini didaur ulang kembali menjadi kemasan kembali atau produk daur ulang lainnya,” ujar Maya.
Rizky Ambardi, Head of Collect Waste4Change mengatakan dari sekitar 5,4 juta plastik yang dihasilkan di Indonesia, hanya sekitar 12% yang didaur ulang untuk menjadi kemasan produk baru. Sisanya, sekitar 4,8 juta sampah plastik itu tidak terkelola dengan baik. Mayoritas, yaitu sekitar 48% dibuang di TPA dan dibakar, 13% di tempat pembuangan ilegal dan 9% bahkan ke perairan Indonesia.
Rizky mengatakan perlu ada perubahan pola pikir masyarakat secara umum, dari linear ekonomi ke sirkular ekonomi. Dalam pola pikir linear ekonomi, yang terjadi adalah produksi, konsumsi dan sampahnya dibuang. Sebaliknya, dalam ekonomi sirkular, yang terjadi adalah produksi, konsumsi dan kemudian sampahnya diolah untuk digunakan kembali.
Menurut Rizky, perubahan pola pikir dan prilaku ini memang membutuhkan waktu. “Tetapi, menurut saya bisa lebih cepat adalah kita dengan membangun demand-nya. Semakin banyak konsumen yang membeli produk yang packaging-nya itu dari daur ulang, semakin banyak juga demand kepada sampah-sampah plastik yang ada di Indonesia. Dengan begitu, semakin banyak juga harusnya secara logika sampah plastik itu terkelola dan terdaur ulang,” ujar Rizky.