Sri Mulyani Beberkan Dampak Buruk Konflik Israel-Iran di Tengah Negosiasi Tarif Perdagangan yang Belum Capai Kesepakatan

Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati
Perang antara Israel dan Iran yang terjadi sejak pekan lalu menambah ketidakpastian ekonomi global, di tengah negosiasi tarif perdagangan antara Amerika Serikat dan berbagai negara di dunia yang belum menemukan kesepakatan.
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengatakan, perang antara Israel dan Iran telah menyebabkan harga minyak dunia naik.
Dalam konferensi pers APBN Kita Edisi Mei 2025 pada Selasa (17/6), Sri Mulyani mengatakan harga minyak langsung naik lebih dari 8% pada hari pertama perang Israel dan Iran pecah.
Harga minyak Brent, jelasnya, semula berada di kisaran US$70 per barel, langsung melonjak hingga mencapai level US$78 per barel, naik hampir 9%, meskipun kemudian kembali turun ke kisaran US$75 per barel.
Konflik geopolitik tersebut, jelasnya, tentu akan langsung berdampak pada perekonomian, baik melalui kenaikan harga komoditas, maupun dari sisi nilai tukar, suku bunga dan aliran modal (capital flow).
“Inilah yang sedang akan terus kita hadapi menghadapi geopolitik yang makin meruncing,” ujarnya.
Di sisi lain, ketegangan perdaganan antara Amerika dan Tiongkok meski “agak sedikit menurun tensinya dengan adanya insiatif kedua belah pihak untuk melakukan negosiasi”, namun sampai hari ini “belum tercapai persetujuan.”
“Sehingga ini masih menimbulkan ketidakpastian,” ujarnya.
Seperti diketahui pada 2 April, pemerintah Amerika Serikat mengumumkan kebijakan tarif untuk hampir semua negara di dunia. Namun, pada 10 April kebijakan yang disebut oleh Amerika Serikat sebagai tarif resiprokal itu ditangguhnya selama 90 hari untuk proses negosiasi secara bilateral.
Namun, Sri Mulyani mengatakan, hingga saat ini, Donald Trump baru mengumumkan terjadinya kesepakatan dagang dengan Inggris, yang diumumkan pada 17 Juni.
“Ini menyebabkan ketidakpastian karena deadline 90 hari, yaitu pada bulan Juli nanti, itu sudah makin mendekat,” kata Sri Mulyani.
Selain faktor geopolitik, keamanan, dan perdagangan antara negara, defisit APBN Amerika Serikat yang mencapai lebih dari US$10 triliun, tertinggi dalam 10 tahun terakhir, diperkirakan akan mempengaruhi imbal hasil suku bunga US Treasury.
“Kombinasi dari hal ini, yaitu ketidakpastian dari sisi perdagangan global yang belum tercapai kepastiannya, ditambah dengan berbagai kebijakan makro terutama di bidang fiskal negara-negara maju dan kemudian ditambah dengan kondisi geopolitik dan security yang sangat negatif, menegang dan bahkan sudah pecah perang menimbulkan ketidakpastian (harga) komoditas dan supply chain,” ujar Sri Mulyani.
Menurutnya, kondisi global ini akan menyebabkan terjadinya dua risiko sekaligus. Selain menyebabkan ketidakpastian harga, seperti harga minyak yang cenderung naik, juga di sisi lain akan menyebabkan perekonomian global cenderung melemah.
“Jadi, kombinasi kenaikan harga-harga karena disrupsi geopolitik dan security menyebabkan tekanan harga, yang berarti inflasi naik. Namun, dikombinasikan dengan ketidakpastian yang menyebabkan ekonomi global melemah,” ujarnya.
“Itu kombinasi yang harus kita waspadai,” tambah Sri Mulyani.
Saat ini saja, indeks manufaktur global berada pada level 49,6, terendah sejak Desember 2024, yang menunjukkan kegiatan manufaktur global cenderung dalam zona kontraksi.
Sebanyak 70,8% negara-negara yang disurvei kegiatan manufakturnya, mengalami kontraksi, dengan indeks PMI manufaktur di bawah 50, termasuk Indonesia yang berada di level 47,4.
Hanya 29,2% negara yang disurvei memiliki indeks PMI manufakturnya yang masih ekspansif.
“Ini adalah dampak yang kita lihat dalam geopolitik, security yang makin rapuh dan rentan, yang menyebabkan implikasi kepada kegiatan ekonomi, ekspor, impor, manufaktur dan juga dari sisi capital flow yang berdampak kepada seluruh dunia,” kata Sri Mulyani.
Bagi Indonesia, kata Sri Mulyani, kondisi ekonomi global yang melemah ini antara lain akan mempengaruhi permintaan terhadap barang-barang ekspor Indonesia.
Nilai tukar juga cenderung mengalami volatilitas dan suku bunga surat utang juga meningkat, terutama karena kebijakan fiskal di Amerika Serikat yang ekspansif.
Leave a reply
