
Sri Mulyani: Tahun Ini 99 PLTU Batubara Berpartisipasi dalam Perdagangan Karbon

Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengungkapkan pada tahun 2023 ini sebanyak 99 PLTU berbasis batubara berpartisipasi dalam sistem perdagangan karbon atau emission trading system/ETS, dengan total kapasitas pembangit mencapai 33.565 MW.
“Ini artinya 86% lebih dari total PLTU batubara di Indonesia yang akan mengikuti emission trading system ini. Ini adalah kemajuan. Karena berarti para PLTU ini memahami bahwa mereka menghasilkan energi yang dibutuhkan ekonomi dan masyarakat, namun mereka juga menghasilkan CO2 yang memperburuk kondisi perubahan iklim dunia,”ujar Sri Mulyani dalam acara Bisnis Indonesia Green Economy Forum 2023, Selasa (6/6).
Sri Mulyani menjelaskan perdagangan karbon tersebut dilaksanakan secara langsung antara PLTU, sesuai dengan Peraturan Menteri ESDM No.16/2022. “Mereka melakukan transaksi dengan membuat atau berpartsipasi dalam aplikasi penghitungan dan pelaporan emisi ketenagalistrikan, belum melalui bursa karbon yang akan di-launch di capital market kita. Jadi, ini adalah trading yang sifatnya tertutup antar para pelaku PLTU,” jelasnya.
Perdagangan karbon yang dilakukan oleh PLTU batubara tersebut merupakan bagian dari upaya pemerintah Indonesia untuk melakukan transformasi ekonomi menuju ekonomi hijau. Sri Mulyani mengatakan berbagai terobosan telah dilakukan pemerintah untuk transformasi ke ekonomi hijau ini dengan menggunakan instrumen kebijakan, intrumen keuangan dan bahkan membentuk institusi-institusi baru.
Dari sisi terbosan kebijakan, untuk meningkatkan kemampuan Indonesia di dalam mentransformasi menuju ekonomi hijau, pemerintah telah menerbitkan Perpres No. 98 tahun 2021. Perpres ini menyiapkan dua instrumen yang sangat penting di dalam menggunakan mekanisme pasar dalam mengakselerasi transformasi ekonomi hijau. Kedua instrumen ini berhubungan dengan nilai ekonomi karbon yaitu (1) menggunakan instrumen perdagangan yaitu sistem perdagangan karbon yang sifatnya mandatori dan mekanisme offset dan (2) instrumen yang basisnya non perdagangan dimana diperkenalkan instrumen Result Based Payment artinya suatu program yang bisa berhasil melakukan penurunan CO2 bisa mendapatkan kompensasi dan pajak karbon.
Saat ini, jelas Sri Mulyani, sistem perdagangan karbon yang mandatori atau emission trading system/ETS baru diterapkan di sektor energi. Penerapan secara bertahap ini, jelasnya dilakukan karena transformasi ke ekonomi hijau memang tidak mudah.
“Meskipun tujuannya baik yaitu untuk meningkatkan perekonomian agar konsisten dengan komitmen penurunan CO2, ini tetap harus dilakukan secara hati-hati. Karena sebuah perubahan pasti menimbulkan shock. Strategi kita adalah bagaimana meng-introduce dan menjalankan perubahan itu dengan konsekuensi terutama dari sisi sosial, ekonomi dan finansial yang seminimal mungkin. Oleh karena itu cara untuk menerapkan secara bertahap adalah pilihan,” ujarnya.
Perdagangan karbon yang dilakukan oleh 99 PLTU batubara pada tahun ini merupakan bagian dari implementasi ETS di sektor energi berdasarkan Peraturan Menteri ESDM No.16/2022.
Terobosan dari sisi kebijakan lainnya adalah telah diperkenalkannya pajak karbon di dalam Undang-Undang No.7 tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan dimana di dalamnya diamanatkan tarif pajak karbon minimal Rp30 per kilogram CO2 ekuivalen.
“Penerapan pajak karbon ini akan dilakukan juga secara bertahap dan hati-hati. Artinya dampak positifnya diinginkan, namun dampak negatif dari setiap instrumen juga diperhatikan, sehingga perekonomian Indonesia mampu terus berlanjut dari sisi pertumbuhan, stabilitas, namun juga mampu melakukan transformasi,” ujar Sri Mulyani.
Carbon Pricing, tambah Sri Mulyani diharapkan mampu mengembangkan mekanisme pembiayaan inovatif. Oleh karena itu, pemerintah juga terus berinovasi untuk mengakselerasi pengembangan pasar karbon sehingga makin dikenal oleh pelaku ekonomi dan makin bisa dikelola secara transparan dan kredibel.
Terobosan dari sisi kelembagaan juga dilakuan pemerintah untuk akselerasi transformasi ke ekonomi hijau. Salah satunya adalah Badan Pengelola Dana Lingkungan Hidup (BPDLH) yang merupakan Special Mission Vehicle yang dikelola bersama oleh Kemenetrian Keuangan dan Kementerian KLHK. Sri Mulyani mengatakan BPDLH ini bertujuan untuk memperkenalkan pasar karbon di Indonesia dan berhubungan dengan pasar karbon global.
Pemerintah juga sudah membentuk SDG Indonesia One yang dikelola oleh PT Sarana Multi Infrastruktur (Persero), perusahaan Special Mission Vehicle di bawah Kementerian Keuangan.
Indonesia juga sudah membentuk Indonesia Investment Authority (INA) yang juga diharapkan bisa menarik modal (capital) termasuk untuk modal untuk berinvestasi di sektor hijau.
Dari sisi instrumen keuangan, untuk mendorong transformasi ke ekonomi hijau, Indonesia menurut Sri Mulyani termasuk negara emerging market yang pertama menerbitkan Sovereign Green Sukuk di pasar dunia.
“Ini adalah sebuah instrumen yang sekarang banyak dikuti oleh banyak negara emerging dan developing. Saya sering di dalam international meeting banyak menteri-menteri keuangan dari negara emerging yang menanyakan pengalaman Indonesia untuk menerbitkan instrumen ini. Karena tidak hanya sekedar menerbitkan instrumen namun kita juga harus menyiapkan mekanisme agar instrumen ini tetap kredibel dari sisi klasifikasi sebagai sebuah instrumen pembiayaan yang hijau atau green financing,“ujarnya.
Indonesia juga sudah menerbitkan green sukuk yang sifatnya ritel senilai Rp20,8 triliun. Untuk green sukuk secara global, Indonesia telah menerbitkan senilai US$5 miliar. Tahun 2021, Indonesia juga telah menerbitkan ESG Bond senilai €500 juta. “Itu merupakan salah satu ESG bond pertama yang waktu itu suku bunganya sangat-sangat rendah sebelum terjadi kenaikan inflasi dan kenaikan suku bunga global,”ujar Sri Mulyani.
Leave a reply
