Bank Indonesia Perkirakan The Fed Kembali Naikkan Suku Bunga 75 Basis Poin

0
406

Bank sentral Amerika Serikat, Federal Rerserve (The Fed) diperkirakan akan melanjutkan agresifitasnya dalam menaikkan suku bunga acuan. Bank Indonesia memperkirakan The Fed akan kembali menaikkan Fed Fund Rate (FRR) sebesar 75 basis poin, setelah pada awal Juni lalu menaikkan FRR 75 basis poin ke level 1,5%-1,75%.

Wira Kusuma, Kepala Grup Departemen Ekonomi dan Kebijakan Moneter BI mengatakan setidaknya ada empat isu pada perekonomian global yang mendorong bank-bank sentral di negara maju menaikkan suku bunga acuan.

Pertama, penanganan Covid-19 yang sangat baik di seluruh dunia. Namun demikian, masih ada risiko varian-varian baru meskipun tidak seberat varian-varian sebelumnya.

Kedua, ketegangan geopolitik yasng masih berkepanjangan. Ketiga, tren proteksionisme yang dilakukan negara-negara untuk mengamankan pasokannya terutama pangan. Keempat, gangguan rantai pasokan atau supply chain disruption.

Keempat masalah tersebut, menurut Wira, menyebabkan terjadinya staglasi, kondisi dimana terjadi inflasi tinggi di tengah pertumbuhan ekonomi yang melemah.

“Empat isu ini membuat dinamika perekonomian global menjadi sedikit berubah. PDB dunia slowing down (melambat). Kemudian, harga-garga komoditas global juga meningkat dengan adanya proteksionisme, supply chain disruption, menyebabkan inflasi global meningkat. Dengan adanya inflasi global yang meningkat, ada akselerasi respon moneter terutama di advanced economy, seperti Amerika. Kita lihat bagaimana perkembangan Fed Fund Rate itu meningkat drastis dan kita ramalkan di Juli ini akan meningkat 75 basis poin. Ini menyebabkan kondisi pasar keuangan global itu ketidakpastiannnya semkin meningkat,” ujar Wira Kusuma dalam diskusi bertajuk ‘Pemulihan Ekonomi di Tengah Ketidakpastian Global’ yang digelar oleh Forum Merdeka Barat 9 (FMB9), Senin (25/7).

Baca Juga :   Bank Sentral Kanada Pangkas Suku Bunga Lagi

Lebih lanjut Wira menjelaskan dinamika perekonomian global ini tentu saja berpengaruh ke perekonomian domestik Indonesia. Kenaikan harga komoditas global meningkatkan ekspor Indonesia, sehingga ekspor pun menjadi sumber pertumbuhan ekonomi Indonesia saat ini.

Kemudian, penanganan Covid-19 oleh pemerintah yang sangat baik, menciptakan mobilitas yang tinggi. Mobilitas yang tinggi ini meningkatkan aktivitas ekonomi dan ini akan meningkatkan permintaan domestik, utamanya konsumsi rumah tangga.

“Ke depan, dengan perkembangan ekonomi global yang slowing down, kemungkinan nanti prediksi kami sumber pertumbuhan PDB kita itu akan banyak didominasi oleh permintaan domestik atau private consumption,” ujarnya.

Di sisi keseimbangan eksternal, dengan ekspor yang meningkat, neraca transaksi berjalan (current account) Indonesia pun mencatkan surplus. Perbaikan iklim investasi langsung juga telah mendorong Penanaman Modal Asing (PMA). Namun, tambah Wira, dengan adanya ketidakpastian yang tinggi di pasar keuangan global, aliran modal masuk di pasar finansial negara-negara berkembang termasuk Indonesia pun tertahan.

“Tetapi, secara umum sektor ekternal kita yang digambarkan oleh neraca pembayaran Indonesia itu masih solid,” ujarnya.

Baca Juga :   Bank Indonesia Diperkirakan Belum Pangkas BI Rate dalam RDG Agustus

Namun, ia menambahkan adanya aliran modal yang keluar (capital outflow) baik di pasar saham maupun obligasi, menyebabka nilai tukar Rupiah terdepresiasi. Per 20 Juli, nilai tukar Rupiah terhadap Dollar AS melemah 4,9% point to point. Dibandingkan peers country, nilai depresiasi Rupiah ini masih relatif baik. Mata uang Malaysia misalnya melemah 6,4%; India 7,05% dan Thailand 8,93%.

Hal yang juga perlu diwaspadai adalah inflasi. Per Juni lalu, inflasi tahunan Indonesia sudah menyentuh level 4,35%. Wira mengatakan meski secara umum inflasi Indonesia sudah meningkat, tetapi faktor pendorongnya masih disebabkan oleh sisi supply, tertutama karena harga komoditas yang meningkat. Sementara inflasi inti (core inflation) yang menggambarkan sisi permintaan (demand) masih relatif terkendali. Depresiasi nilai tukar juga meningkatkan tekanan pada inflasi (exchange-rate pass-through).

Inflasi inti yang masih terkendali pada level 2,63% year on year pada Juni lalu, menjadi salah satu pertimbagan Rapat Dewan Gubernur (RDG) Bank Indonesia pada 20-21 Juli 2022 memutuskan untuk mempertahankan BI 7-Day Reverse Repo Rate (BI7DRR) sebesar 3,50%, suku bunga Deposit Facility tetap sebesar 2,75% dan suku bunga Lending Facility tetap sebesar 4,25%.

Baca Juga :   Jauh dari Resesi, Bank Indonesia Perkirakan Ekonomi Indonesia Masih Tumbuh di Sekitar 5% Pada Tahun 2023

Kebijakan mempertahankan suku bunga acuan ini terjadi di tengah tren kenaikan suku bunga oleh bank-bank sentral di berbagai negara. Wira mengatakan BI baru akan menaikkan suku buga acuan bila nanti inflasi inti juga mengalami kenaikan.

 

Dapatkan berita dan analisis seputar ekonomi, bisnis dan lainnya hanya di theiconomics.com.

Pastikan untuk mengikuti perkembangan terbaru, berita, dan event The Iconomics di akun sosial media kami:
Instagram: the.iconomics
TikTok: @theiconomics
YouTube: @theiconomics
X: theiconomic
LinkedIn: The Iconomics

Leave a reply

Iconomics