Kembali ATH, Apakah IHSG Tembus 8000 pada 2024 Ini? OJK; Menantang, Tetap Waspada!
Indeks Harga Saham Gabungan [IHSG] pada Jumat (6/9) kembali menyentuh level tertinggi baru atau All Time High [ATH] di level 7.721,84. Meski sudah terus menerus mencetak rekor baru sejak Agustus, pejabat Otoritas Jasa Keuangan [OJK] menyatakan tetap waspada terhadap berbagai risiko, terutama geopolitik dan perlambatan pertumbuhan ekonomi global.
Inarno Djajadi, Kepala Eksekutif Pengawas Pasar Modal, Keuangan Derivatif dan Bursa Karbon OJK mengatakan pasar modal memang sedang diselimuti berbagai sentimen positif, baik dari global maupun prospek ekonomi domestik, termasuk kinerja emiten.
Tetapi, untuk mencapai level 8000, ia mengatakan “merupakan hal yang challenging.”
“Kami nggak berani untuk menujum terhadap target 8.000. Tetapi kalau kita lihat optimisme dan juga sentime positif yang terjadi di global dan domestik, termasuk di dalamnya kinerja emiten rilis terakhir yang baik, tentunya tren kenaikan indeks bisa sangat mungkin terjadi,” ujar Inarno menjawab pertanyaan wartawan dalam konferensi pers bulanan OJK, Jumat (6/9).
Mantan Direktur Utama Bursa Efek Indonesia [BEI] ini mengatakan, sejak Agustus, optimisme terhadap kinerja IHSG terus membaik. Ia mengatakan, selama Agustus, IHSG tujuh kali menembus rekor baru atau ATH. Tren itu berlajut pada awal September ini, kata dia.
Optimisme di pasar, kata dia, didorong oleh faktor global dan domestik, seperti ekspektasi penurunan suku bunga kebijakan oleh The Fed dalam waktu dekat.
Pasar keuangan emerging market juga mayoritas menguat terutama di pasar obligasi dan nilai tukar.
Sentimen positif ini juga didukung data-data kinerja ekonomi dan data kinerja emiten.
“Tetapi tentunya kita juga jangan terlena. Kita harus terus waspada, mengantisipasi risiko koreksi dan sentimen negatif yang dapat menyebabkan volatilitas dan perubahan geopolitik dan juga perlambatan ekonomi global,” ujarnya.
Dalam asesmen terbarunya pada Rapat Dewan Komisioner Bulanan OJK pada 28 Agustus 2024, OJK menilai kinerja perekonomian global secara umum masih melemah dengan tingkat inflasi yang cenderung termoderasi. Kondisi tersebut diiringi dengan cooling down pasar tenaga kerja AS yang mendorong The Fed bersikap dovish, sehingga meningkatkan ekspektasi penurunan suku bunga kebijakan di 2024.
Di Eropa, indikator perekonomian masih belum solid di tengah inflasi yang persisten. Pasar mengekspektasikan Bank Sentral Eropa (ECB) akan menurunkan suku bunga pada pertemuan September 2024.
Di Tiongkok, pertumbuhan ekonomi melambat dengan decoupling demand dan supply yang terus berlanjut. Hal ini mendorong pemerintah dan bank sentral terus mengeluarkan stimulus fiskal dan moneter.
Tensi geopolitik global terpantau meningkat sejalan dengan tingginya dinamika politik di AS menjelang Pemilihan Presiden di November 2024, serta potensi instabilitas di Timur Tengah dan di Rusia akibat eskalasi perang di wilayah perbatasan Ukraina. Selain itu, pelemahan demand secara global turut menyebabkan harga komoditas melemah.
Di tengah perkembangan tersebut, yield US Treasury secara umum menurun dan dollar index melemah dipengaruhi terutama oleh ekspektasi penurunan suku bunga kebijakan oleh The Fed dalam waktu dekat. Hal ini mendorong mulai terjadinya aliran masuk modal (inflow) ke negara emerging market, termasuk Indonesia, sehingga pasar keuangan emerging market mayoritas menguat terutama di pasar obligasi dan nilai tukar.
Di dalam negeri, pertumbuhan ekonomi tercatat di atas ekspektasi yang didorong oleh naiknya konsumsi rumah tangga dan investasi. Tingkat inflasi inti masih terjaga dan surplus neraca perdagangan berlanjut.
Pertumbuhan ekonomi yang masih baik juga tercermin dari peningkatan kinerja emiten di Triwulan 2 2024, antara lain terlihat dari pendapatan dan penyerapan tenaga kerja yang tumbuh masing-masing sebesar 4,94 persen dan 2,73 persen yoy (Triwulan 1 2024: 2,64 persen dan 2,29 persen).
“Namun demikian, perlu dicermati pemulihan daya beli yang saat ini berlangsung relatif lambat,” ujar Ketua Dewan Komisioner OJK Mahendra Siregar.