Pasca Donald Trump Terpilih, BI Perkirakan Fed Masih Pangkas Suku Bunga pada Desember 2024, Tahun 2025 Bagaimana?
Bank Indonesia memperkirakan ruang penurunan suku bunga kebijakan di Amerika Serikat makin terbatas, setelah nanti Donald Trump resmi dilantik sebagai presiden negara itu pada Januari 2025.
Kondisi ini juga turut menyempitkan ruang penurunan suku bunga kebijakan Bank Indonesia atau BI Rate.
Gubernur Bank Indonesia, Perry Warjiyo mengatakan, Donald Trump akan memberikan insentif pajak kepada korporasi domestik dan warga Amerika Serikat.
Kebijakan berupa pemotongan pajak korporasi dan pajak orang pribadi itu, kata Perry, akan mendorong pertumbuhan ekonomi domestik Amerika Serikat.
Dengan pertumbuhan ekonomi Amerika Serikat yang baik, tambah Perry, laju penurunan inflasi negara itu pun akan “lebih lama”.
Saat ini inflasi Amerika Serikat berada di level 2,7%, semakin mengarah ke sasaran 2%, hal yang membut The Fed memangkas Fed Fund Rate (FRR) sebesar 75 basis poin sejak September 2024.
Tetapi, Perry mengatakan, “proses penurunan FRR akan lebih terbatas,” ke depan, seiring dengan laju penurunan inflasi yang lebih lama.
“Perkiraan kami terkini, kemungkinan FRR masih akan turun 25 basis poin di Desember. Tetapi untuk tahun depan, yang kami perkirakan semula turun 75-100 basis poin, perkiraan kami terkini hanya turun 50 basis poin. [Penurunan FRR hanya] dua kali saja tahun depan,” ujar Perry.
Kebijakan Trump yang menggenjot ekonomi domestik, juga akan berimplikasi pada semakin melebarnya defisit fiskal. Bank Indonesia, kata Perry, memperkirakan defisit APBN Amerika Serikat pada 2025 membengkak menjadi 7,7%, dari semula hanya 6,5%.
Untuk menutup defisit tersebut, pemerintahan Donald Trump diperkirakan akan menerbitkan lebih banyak surat utang.
Penerbitan lebih banyak surat utang ini, membuat imbal hasil atau yield US Treasury meningkat, baik surat utang jangka waktu dua tahun, maupun 10 tahun.
Imbal hasil US Treasury note atau surat utang jangka waktu dua tahun sudah sempat menurun ke level 3,7%-3,8%. Namun, saat ini sudah naik kembali ke level 4,3%. Bahkan, Bank Indonesia memperkirakan, ke depan kemungkinan imbal hasil tersebut masih akan naik hingga ke level 4,5%.
Demikian juga US Treasury 10 tahun. Perry mengatakan, saat ini imbal hasilnya sebesar 4,4%, setelah sebelumnya berada di bawah 4%. Tahun 2025, Bank Indonesia memperkirakan imbal hasil US Treasury 10 tahun ini akan naik hingga mencapai 4,7%.
Terbatasnya penurunan FRR dan meningkatnya imbal hasil US Treasury, menyebabkan investor global kembali melirik instrumen keuangan di Amerika Serikat, sehingga terjadi capital outflow dari pasar emerging market ke Amerika Serikat.
“Hal ini membuat dolar menguat. Sebelumnya indeks dolar berada di level 103, mengarah ke 101, sekarang sudah 106, bahkan lebih tinggi,” ujarnya.
Penguatan dolar ini terjadi di seluruh mata uang dunia, baik negara maju maupun berkembang.
Pelemahan rupiah karena adanya capital outflow ini membuat Bank Indonesia dalam Rapat Dewan Gubernur pada 19-20 November kembali menahan BI Rate pada level 6%.
Perry mengatakan, bila hanya mencermati kondisi domestik, ruang penurunan BI Rate masih terbuka lebar, karena inflasi di dalam negeri rendah dan adanya kebutuhan untuk mendorong pertumbuhan ekonomi.
“Tetapi dengan perkembangan dinamika global yang sangat cepat ini, tentu saja fokus kebijakan moneter adalah diarahkan untuk memperkuat stabilitas nilai tukar rupiah dari dampak semakin tingginya ketidakpastian geopolitik dan perekonomian global dengan perkembangan politik di Amerika Serikat,” kata Perry.
Bank Indonesia, tambahnya, akan terus memperhatikan pergerakan nilai tukar rupiah dan prospek inflasi serta perkembangan data dan dinamika kondisi yang berkembang dalam mencermati ruang penurunan suku bunga kebijakan atau BI Rate lebih lanjut.
Perry mengatakan, ruang penurunan BI Rate masih ada, tetapi tergantung pada kondisi global.
Namun, ia mengatakan, “ruangannya yang dulu mungkin agak lebar, sekarang lebih terbatas.”