
Waspadai Kontraksi pada Sektor Jasa Keuangan

Ilustrasi/ist
Iconomics - Direktur Eksekutif Institute for Development Economics and Finance (Indef) Tauhid Ahmad mengingatkan adanya tanda bahaya dari sektor Jasa Keuangan dan Asuransi yang pada triwulan ketiga lalu mengalami kontraksi. Kontraksi Produk Domestik Bruto (PDB) ini sejalan dengan data pertumbuhan kredit perbankan yang masih lesu dibandingkan dengan pertumbuhan dana pihak ketiga (DPK).
PDB sektor Jasa Keuangan dan Asuransi mengalami kontraksi sebesar 0,95% pada triwulan ketiga 2020. Padahal pada triwulan kedua, sektor ini masih tumbuh positif sebesar 1,05%.
“Ketika sektor keuangan sudah terkena dampak dari sebuah krisis atau resesi, maka ekonomi pada dasarnya sudah goyah,” ujar Tauhid saat konferensi pers, Minggu (8/11).
Secara umum, PDB Indonesia pada triwulan ketiga lalu tumbuh minus 3,49%. Secara teknikal Indonesia sudah masuk ke dalam resesi karena pada triwulan kedua 2020, PDB Indonesia juga minus 5,32%.
Tauhid mengatakan bila sektor jasa keuangan tetap tangguh, dia bisa menjaga keseimbangan dari transaksi ekonomi. “Kalau kita lihat di triwulan ketiga ini sudah mulai goyah terutama untuk jasa perantara keuangan dan jasa keuagan lainnya,” ujarnya.
Per September lalu, pertumbuhan kredit perbankan hanya hanya 0,12% year on year (yoy) lebih rendah dari pertumbuhan kredit pada Agustus 2020 yang mencapai 1,04% yoy. Pada Juli 2020, pertumbuhan penyaluran kredit sebesar 1,53% yoy.
Pada saat yang sama, pertumbuhan dana pihak ketiga justru terlihat makin kencang yaitu menjadi 12,88% yoy pada September 2020 dari sebelumnya pada Agustus 2020 sebesar 11,64% yoy. Sedangkan pada Juli 2020 sebesar 8,53% yoy.
Tauhid mengatakan lemahanya pertumbuhan kredit ini terjadi karena permintaan kredit yang memang sedang lemah.
“Menurut saya ini yang cukup bahaya di sektor keuangan ketika sudah kondisinya begini. Kalau tidak ada perbaikan (Q4) karena demand tidak terbentuk maka umumnya perbankan akan melarikan uangnya ke SBN. Karena hanya SBN, dia hanya berputar di sektor keuangan tidak ke sektor riil. Ini yang menurut saya sumbangan sektor keuangan ke sektor riil akan semakin meurun, ini yang menurut saya berisiko pada waktu-waktu mendatang,” ujarnya.
Sebelumnya, Gubernur Bank Indonesia Perry Warjiyo mengatakan optimis ke depan pertumbuhan kredit akan membaik seiring dengan berbagai kebijakan dari BI, OJK dan pemerintah untuk mendorong pemulihan ekonomi.
“Ke depan intermediasi perbankan diperkirakan akan membaik sejalan dengan prospek perbaikan kinerja korporasi dan pemulihan ekonomi domestik serta konsistensi sinergi kebijakan yang ditempuh baik oleh pemerintah, Bank Indonesia maupun OJK,” ujar Perry di Jakarta, Selasa (13/10).
Kinerja sektor korporasi menurut Perry terindikasi membaik pada triwulan ketiga 2020 yang tercermin dari peningkatan penjualan, kemampuan bayar serta penerimaan perpajakan terutama pada sektor industri dan perdagangan. Selain itu restrukturisasi kredit perbankan juga terus berlanjut termasuk untuk kredit UMKM yang mencapai 36% dari total kredit yang ditopang oleh likuiditas yang meningkat.
“Kebijakan pelonggaran likuiditas dan penurunan suku bunga kebijakan BI 7-day (Reverse) Repo Rate yang ditempuh BI selama ini mendorong penurunan suku bunga deposito dan suku bunga kredit pada September 2020 masing-masing 5,49% dan 9,92% pada Agustus 2020 menjadi masing-masing 5,18% dan 9,88% pada September 2020,” ujar Perry.
Perry mengatakan ekspansi moneter yang ditempuh BI serta percepatan realisasi anggaran yang dilakukan pemerintah dan program restrukturisasi kredit perbankan yang ditempuh OJK diharapkan dapat mendorong penyaluran kredit dan pembiayaan untuk pemulihan ekonomi nasional.