Ekonom Prediksikan Pertumbuhan Ekonomi 2025 Tidak Sampai 5%, Masih Bisa Naik Lagi?

Tahun 2025 tinggal hitungan hari. Tantangan tahun 2025 tidak ringan, baik yang berasal dari internal dan eksternal Indonesia.
Ekonom dan Direktur Center of Economics and Law Studies (Celios), Bhima Yudhistira Adhinegara memaparkan bahwa ekonomi global pada tahun 2025 masih dipengaruhi oleh ketidakstabilan geopolitik, termasuk perang dagang yang berdampak ke perekonomian Indonesia.
“Perang dagang Tiongkok dan AS perlu segera diantisipasi. Sebelumnya negara–negara seperti Tiongkok dan AS mengalihkan industri semikonduktor dan otomotif mereka ke negara ASEAN, tetapi Indonesia belum menjadi prioritas relokasi industri. Selain itu, ancaman kehilangan fasilitas Generalized System of Preferences (GSP) dari AS terhadap produk seperti pakaian jadi, alas kaki, dan perikanan juga dapat menekan daya saing ekspor Indonesia,” kata Bhima dalam keterangan resminya.
Ia juga menyoroti kebijakan pseudo-proteksionisme pemerintah, seperti pelarangan iPhone 16, yang dapat memicu antipati dari investor asing.
“Alih-alih meningkatkan daya saing dan infrastruktur, kebijakan ini malah berpotensi memperburuk iklim investasi. Sementara itu, negara seperti Vietnam lebih kompetitif dengan perjanjian perdagangan yang spesifik,” katanya.
Dari sisi domestik, Bhima mencatat bahwa kebijakan fiskal yang agresif, seperti kenaikan PPN, dapat mengurangi daya beli masyarakat dan memicu peningkatan barang ilegal.
“Masyarakat akan beralih ke barang tanpa PPN, yang berisiko memperluas pasar barang ilegal dan menghambat pertumbuhan ekonomi,” kata Bhima.
Assurance Partner Grant Thornton Indonesia, Tagor Sidik Sigiro menambahkan bahwa kebijakan fiskal saat ini menjadi perhatian utama sektor swasta.
“Banyak pengusaha merasa kebijakan fiskal seperti pajak PPN dan Natura kurang mendukung operasional bisnis. Selain itu, tren investasi di Indonesia menunjukkan banyak perusahaan hanya membuka kantor dagang tanpa pendirian pabrik di Indonesia sejak 2022. Ini perlu menjadi fokus perhatian agar nilai investasi dalam menyerap tenaga kerja dan bahan baku menjadi lebih optimal,” kata Tagor.
Soal pertumbuhan ekonomi, Bhima memprediksi bahwa pertumbuhan ekonomi Indonesia di tahun 2025 hanya akan mencapai 4,7%–4,9%, lebih rendah dari target 5%.
“Motor pertumbuhan ekonomi masih bisa didorong karena Indonesia memiliki peluang besar dengan aktifnya peran Presiden dalam diplomasi dagang dan investasi. Kunjungan Presiden ke berbagai forum harus ditindaklanjuti dalam realisasi investasi yang lebih berkualitas serta memperbaiki kesiapan infrastruktur pendukung domestik termasuk sumber energi terbarukan,” ungkapnya.
Ia menambahkan beberapa faktor yang memengaruhi proyeksi ini. Faktor tersebut antara lain nilai tukar Rupiah terhadap Dolar AS. Dolar AS diperkirakan mencapai Rp16.200–Rp16.700 akibat kebijakan The Fed dan administrasi Presiden AS Donald Trump. Faktor berikutnya, kontribusi komoditas yang belum menjadi andalan yang signifikan untuk mendorong devisa. Faktor lainnya, kenaikan PPN dapat menekan daya beli masyarakat dan memperluas pasar barang ilegal.
“Meski menantang, tetapi sektor-sektor seperti pertanian, perikanan, pendidikan, konstruksi, dan bioekonomi diproyeksikan mendapatkan dukungan penuh pemerintah untuk tetap tumbuh positif tahun depan,” kata Bhima.
Bhima menyoroti bahwa implementasi program pemerintah dan pembiayaannya harus diperhatikan agar tidak berdampak negatif pada sektor riil, khususnya ritel dan kelas menengah.
“Diplomasi ekonomi yang strategis dapat mengurangi dampak perang dagang dan memperkuat posisi Indonesia di hadapan mitra dagang tradisional dan non-tradisional,” jelasnya.
Tagor menambahkan pebisnis tentu akan bertahan dengan cara mereka masing-masing, tetapi kebijakan pemerintah yang lebih ramah bisnis akan memperlancar aktivitas ekonomi dan meningkatkan kepercayaan pelaku usaha.
Leave a reply
