Badan Usaha Milik Negara dan Kebijakan Proteksionisme Donald Trump

Adiwarman, Dosen Tetap pada Departemen Ilmu Administrasi Fiskal Fakultas Ilmu Administrasi Universitas Indonesia/Dok.pribadi
Sejarah Badan Usaha Milik Negara (BUMN) bermula korporasi. Korporasi atau dalam istilah yang lebih populer adalah perusahaan, merupakan konsep hukum yang menyamakan kedudukannya dengan orang pribadi atau badan hukum buatan. Jelasnya, kedudukan sebagai badan hukum berimplikasi pada hak dan kewajiban hukum yang melekat padanya. Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas (UU PT) Pasal 1 mendefinisikan sebagai “badan hukum yang merupakan persekutuan modal, didirikan berdasarkan perjanjian, melakukan kegiatan usaha dengan modal dasar yang seluruhnya terbagi dalam saham dan memenuhi persyaratan yang ditetapkan dalam Undang-Undang ini serta peraturan pelaksanaannya.” Definisi ini tidak jauh berbeda dengan yang dinyatakan dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1995, Pasal 1 yakni “Perseroan Terbatas yang selanjutnya disebut perseroan adalah badan hukum yang didirikan berdasarkan perjanjian, melakukan kegiatan usaha dengan modal dasar yang seluruhnya terbagi dalam saham, dan memenuhi persyaratan yang ditetapkan dalam undang-undang ini serta peraturan pelaksananya.” Jelas Perseroan sebagai entitas komersial sepenuhnya.
Perseroan atau juga sering disebut korporasi, dalam sejarah moderen, tidak hanya dimiliki oleh orang per orang, melainkan oleh negara. Kepemilikan oleh negara ini kemudian perlu diberi landasan hukum, maka lahirlah Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik Negara (BUMN) atau Undang-Undang BUMN (UU BUMN). Dengan kata lain, unsur kepemilikan berkaitan dengan spektrum asal dana yang direpresentasikan dengan saham pada BUMN dengan segala implikasi dan konsekuensi hukum dengan ketentuan undang-undang yang relevan.
Dalam hal kepemilikan, maka, merujuk pada ketentuan UU BUMN, ada dua kemungkinan persentase kepemilikan saham, yakni minimal 51% atau 100%. Kepemilikan tersebut merujuk pada pengendalian. Pola kepemilikan lainnya adalah adanya hak istimewa Pemerintah Pusat pada BUMN sebagaimana dinyatakan pada Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2025 tentang Undang-Undang tentang Perubahan Ketiga Atas Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik Negara.
Dalam hal negara memiliki 51% saham, maka selebihnya saham dapat ditawarkan kepada publik dan investor strategis. Voting rights masuk dalam sistem pengambilan keputusan BUMN. Pemerintah Pusat memiliki hak hukum yang amat decisive berkat kepemilikan 51% saham dalam proses pengambilan keputusan. Sebaliknya, jika Pemerintah Pusat amat determinatif dalam proses pengambilan keputusan dalam Perseroan, kendati hanya memiliki 1 saham dengan hak istimewa. Dalam hal demikian, Pemerintah Pusat dalam struktur pengambilan keputusan dengan visi sebagai pelaku usaha dan birokrat sekaligus. Pikiran wirausaha (Osborne, Gaebler, 1995) harus disesuaikan dengan tujuan pendirian BUMN dan kegiatan yang dijalaninya (Yakup, 2020).
Varian BUMN berasal dari sejarah di masa lalu yakni Perjan, Perum dan Persero (Ibrahim, 1996). BUMN yang berasal dari Persero yang paling sesuai dengan perubahan atau transformasi pada aspek menjalani kegiatan usaha (komersial). Selain dari yang berasal dari perseroan, maka kepentingan umum perlu diperhatikan dalam kegiatan usaha yang dijalani BUMN (Ibrahim, 1996). Kepemilikan negara dalam BUMN, kendati memiliki sejumlah hal yang perlu dipahami dan dijelaskan (Yakup, 2020), secara normatif, lebih demokratis dalam proses pengambilan keputusan. Hal ini menjadi penting, karena perseroan, kendati akan tampil dalam kekuatan suara (voting rights), pemegang saham sedikit dan banyak berada dalam satu organ yang bernama Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS).
BUMN, selayaknya Perseroan pada umumnya, mampu mengelola tantangan, menemukan peluang serta mengoptimalkannya. BUMN didirikan untuk mendapatkan keuntungan dari kegiatan usaha yang dijalani. Perkembangan yang dihadapi BUMN saat ini amat beragam. Kondisi ekonomi dalam negeri, kebijakan tertentu suatu negara, persaingan bisnis yang kian ketat, perkembangan global. Semua itu sudah membutuhkan strategi bisnis yang spesifik dengan rencana-rencana. Tantangan dan persoalan kian rumit dengan adanya kebijakan proteksionisme yang dikeluarkan oleh Presiden Amerika Serikat, Donald Trump.
Kebijakan Proteksionisme Trump
Secara teoritik dan normatif, proteksionisme terhadap perdagangan internasional tercermin dalam kebijakan tarif dan non-tarif (Folsom, Gordon, Spanogle, 1999). Kebijakan proteksionisme non-tarif adalah kepemilikan BUMN dengan hak suara istimewa atau golden share. Belum lama Presiden Donald Trump mengeluarkan kebijakan kepemilikan saham golden share pada BUMN, US Steel. Dalam hukum korporasi, golden share atau saham istimewa adalah satu jenis klasifikasi saham dengan kekuatan hak suara (voting rights) (Davies, 1997). Dengan model kepemilikan saham demikian, maka pengambilan keputusan dalam Perseroan menjadi tidak demokratis. Dengan kata lain, golden share, dalam perspektif Presiden Donald Trump, menampilkan kebijakan negara yang diterjemahkan dalam bentuk proteksionisme dalam proses bisnis suatu BUMN. Sebagai pemegang saham dengan hak suara istimewa, maka negara, dalam hal ini diwakili oleh Pemerintah Pusat atau Kementerian yang dimaksud, memegang kendali atas proses pengambilan keputusan dalam BUMN, termasuk kaitannya dengan aksi korporasi dan transaksi bisnisnya.
Kebijakan proteksionisme yang biasa diterapkan adalah tarif masuk atau impor. Trump beralasan bahwa pengenaan tarif impor barang Indonesia sebesar 32% adalah untuk mengatasi defisit perdagangan Amerika dengan Indonesia. Apakah alasan ini benar? Badan Pusat Statistik (BPS) membenarkan hal itu. “Neraca perdagangan Indonesia kembali mencatat kinerja positif. Badan Pusat Statistik (BPS) pada 2 Juni 2025 melaporkan neraca perdagangan barang Indonesia sepanjang periode Januari-April 2025 surplus sebesar US$11,07 miliar, meningkat US$0,95 miliar dibanding periode yang sama tahun sebelumnya,” (https://www.bps.go.id/id/news/2025/06/02/704/neraca-perdagangan-tetap-surplus.html). Menariknya, ambil contoh, ekspor besi dan baja menyumbang US$8,81 miliar, naik 6,62 persen (BPS, 2 Juni 2025). Surplus. Artinya, kebijakan tarif 32% untuk barang impor Indonesia, dalam hal ini besi dan baja, akan mengalami penurunan. Hal ini perlu diantisipasi oleh Pemerintah dan BUMN yang bersangkutan.
Dalam level diplomasi Government to Government, Presiden Prabowo Subianto telah mengutus delegasi yang dipimpin oleh Menko Perekonomian Airlangga Hartarto. Di lain sisi BUMN pun perlu menjalin komunikasi dengan mitra di Amerika Serikat berkenaan dengan ekspor komoditas. Hal ini dibutuhkan untuk memastikan apakah kebutuhan pasar akan komoditas tetap dipasok oleh BUMN dengan berbagai rincian yang terkait seperti volume, harga, jumlah pengiriman.
Respons Terhadap Kebijakan Proteksionisme Trump
Kebijakan proteksionisme Trump, dengan pengenaan tarif impor yang tinggi, sudah tidak dapat dihentikan, tetapi harus dicari cara untuk mampu berkelit darinya. Keikutsertaan Indonesia dalam BRICS, organisasi kerja sama ekonomi antar negara di luar tujuh negara terkaya global (G7), ditengarai sebagai satu alasan, kendati tidak disebut dalam surat Presiden Trump. Dalam semester kedua 2025, kebijakan Trump tersebut akan menimbulkan dampak pada ekspor baja Indonesia ke Amerika Serikat, berupa penurunan permintaan. Oleh sebab itu, keikutsertaan Indonesia dalam BRICS perlu diikuti dengan kerja sama ekonomi-perdagangan (ekspor-impor), baik dalam bentuk perjanjian bilateral maupun multilateral. Peluang untuk memenuhi pasar Amerika akan sangat bergantung pada permintaan. Selebihnya, BUMN perlu menindak lanjuti keikutsertaan Indonesia dalam BRICS untuk membangun perdagangan antar negara anggota. Basis perjanjian perdagangan tersebut adalah prinsip saling menguntungkan. Keuntungan membangun relasi hubungan dagang dengan industri dari negara-negara tersebut adalah terbukanya pasar alternatif dan prospektif.
Berdasarkan data BPS hingga tahun 2023 tujuan ekspor baja Indonesia terbesar adalah ke China, Taiwan dan India (https://www.bps.go.id/id/statistics-table/1/MjAzMyMx/ekspor-besi-baja-menurut-negara-tujuan-utama–2012-2023.html). Amerika Serikat merupakan tujuan ekspor baja Indonesia yang ke 10 berdasarkan data BPS tersebut. Anggota BRICS yang belum menjadi tujuan ekspor baja Indonesia adalah Rusia yang memiliki industri militer, termasuk terkuat di dunia. Ke depan, Rusia perlu dijadikan tujuan ekspor baja Indonesia tanpa melupakan pasar Amerika Serikat. Presidensi Trump berjangka waktu, suksesi politik pasti membawa perubahan kebijakan politik ekonomi Amerika Serikat. Kebijakan proteksionisme Trump perlu disikapi sebagai momentum untuk membangun hubungan dagang yang lebih egaliter dan saling menguntungkan dengan negara-negara lain.
Leave a reply
