
Perang Ukraina: Latar Belakang dan Dampaknya (3)

Ilustrasi perang Rusia-Ukraina 2022/Istimewa
Iconomics - Revisionisme modern yang mendominasi Partai Komunis di Uni Soviet dan negeri-negeri Eropa Timur sejak akhir tahun 50-an telah menggerogoti dan menghancurkan sendi-sendi ekonomi sosialis dan mengembangbiakkan nilai-nilai etik dan moral borjuis-kapitalis.
Perestroika
Pertengahan tahun 80-an, Presiden Uni Soviet Mikhail Gorbachev mengajukan Perestroika, artinya restrukturasi menuju liberalisasi dan demokratisasi. Dampak dari Perestroika di Ukraina adalah munculnya Narodnyi Rukh (Gerakan Rakyat) tahun 1989, yang mengimbau untuk memisahkan Ukraina dari Uni Soviet. Gerakan itu menjadi inkubator untuk para pemimpin Neo-Nazisme Ukraina. Tahun 1991, salah seorang dari mereka, Oleg Tyahnybok, mendirikan Partai Svoboda, partai nasionalis radikal, yang mempropagandakan prinsip-prinsip yang dianut Stepan Bandera, tokoh yang berkolaborasi dengan Nazi Jerman pada Perang Dunia II. Mulailah disebar-luaskan propaganda dan semboyan “Ukraina untuk orang Ukraina”, “Bersihkan Ukraina dari orang-orang Yahudi dan Rusia”. Simon Wiesenthal Center, – lembaga pelopor anti Holocaust dan menentang antisemit – menempatkan Oleg Tyahnybok sebagai salah satu dari 10 top pemimpin anti-semitisme di dunia. Tahun 1994, Dmitri Yarosh mendirikan organisasi ekstrem kanan lainnya, Trizub atau Trident. Pada April 2013, Yarosh menjadi pembantu seorang anggota parlemen dari partai oposisi Udar. Kemudian, pada tahun itu juga Yarosh menjadi pemimpin grup Nazi Ukraina paling radikal, Sector Derecha (Sektor Kanan). Tak lama kemudian, Andry Parubiy muncul dan memimpin pasukan ultra-nasionalis. Pawai Obor kembali berderap menyusuri jalan-jalan besar di kota-kota Ukraina.

Sumber/Istimewa
Runtuhnya Tembok Berlin
Pada tahun 1989, masalah penyatuan Jerman dibicarakan di antara petinggi Amerika Serikat (AS), Inggris, Prancis, Uni Soviet, Republik Federal Jerman dan Republik Demokratis Jerman. Gorbachev menyatakan kesediaan untuk menarik mundur tentaranya dari Jerman Timur tapi ragu-ragu menerima Jerman yang sudah bersatu menjadi anggota NATO. Menteri Luar Negeri AS James Baker ketika itu berkata, NATO tidak akan meluaskan anggotanya satu incipun ke timur , kalau Uni Soviet setuju Jerman masuk NATO. Gorbachev yang sudah begitu membudak kepada AS, percaya begitu saja ucapan Baker, tidak dimasukkan menjadi satu pasal dalam perjanjian tertulis.
Kebenaran akan adanya janji tak tertulis itu dikonfirmasi oleh banyak peneliti, sejarawan, penulis seperti Dr. John Mearsheimer, dosen Ilmu Politik di Universitas Chicago dan penulis, Stephen F.Cohen, dosen Studi tentang Rusia dan Slavia di Universitas N. York, Scott Ritter, mantan perwira intelijen korps marinir AS, Jacques Baud, Kolonel Swiss, Penasihat Keamanan di NATO dan Kepala Bagian Politik dan Doktrin di Departemen Operasi Pemelihara Keamanan PBB, Michel Collon, wartawan dan penulis Belgia. Vladimir Pozner, wartawan dan penyiar radio bahkan berkata, 12 Desember 2017, Arsip Pertahanan Nasional di Universitas George Washington, mendeklasifikasi risalah diskusi Baker-Gorbachev, dan kata-kata James Baker ada di situ.
Pada Februari 1991, Pakta Warsawa yang didirikan Mei tahun 1955 untuk menghadapi NATO, dinyatakan bubar. Lalu, Desember 1991, Uni Soviet mencampakkan selubung yang sejak tahun 1956 menutupi “Partai Komunis Uni Soviet” dan “Sosialisme”. Lahirlah Rusia dengan wajah sesungguhnya, yaitu kapitalisme/imperialisme. Sejak itu Rusia berusaha keras untuk menyenangkan AS supaya diterima sebagai anggota “Klub” imperialis. Mantan Dubes AS di Moskow 2012-2014, Michael McFaul bicara di Institut Aspen tentang kesamaan pandangan antara AS dan Rusia dalam masalah Afghanistan, Iran, dan peningkatan perdagangan dan investasi. Dia mengaku bahwa kebijakan politik ketika itu terhadap Rusia tidak dibangun di atas perjuangan ideologi antara “demokrasi” AS dengan “autokrasi” Rusia. Rusia bahkan menyilakan AS melewati wilayahnya, darat dan udara sebagai jalur transportasi tentara dan perlengkapan perang ke dan dari Afghanistan; lebih dari 55% dari rute pasokan AS lewat Rusia.
Apa yang diterima Rusia atas pengkhianatannya terhadap Sosialisme dan servis yang menyenangkan imperialis AS? Balkanisasi dan pemboman Yugoslavia, sekutu terakhir Rusia di Eropa, selama 78 hari; Colour Revolution untuk membentuk pemerintah pro-AS seperti di Georgia dan Ukraina tahun 2004 dan 2014, perluasan NATO ke negeri-negeri mantan anggota Pakta Warsawa untuk mengurung Rusia. Permintaan Rusia untuk menjadi anggota NATO ditolak. Sebaliknya, Deklarasi KTT Bukarest, April 2008, menyambut dan menyetujui aspirasi Georgia dan Ukraina untuk menjadi anggota NATO.
Kaum revisionis modern Soviet dari Nikita Khrushchev hingga Gorbachov dan Yeltsin berharap restorasi kapitalisme dan pasifisme borjuis akan melapangkan jalan bagi Rusia untuk berdiri sama tinggi duduk sama rendah dengan negeri-negeri NATO/AS dan menghentikan ancaman perang nuklir. Mereka tidak sadar bahwa nafsu besar untuk mempertahankan hegemoni dan Dunia Unipolar adalah sifat hakiki dari imperialisme AS yang merasa menang dalam Perang Dingin melawan Uni Soviet. Padahal Uni Soviet dihancurkan oleh pengkhianatan kaum revisionis modern, bukan karena keunggulan AS.
Revolusi Oranye 2004 dan 2014
Sudah bukan rahasia lagi bahwa di balik apa yang dinamakan Orange Revolution atau Colour Revolution terdapat tangan-tangan kotor para agen imperialis AS dan sekutunya. Tahun 2004, orang berdemonstrasi di Kiev, tanda dimulainya Revolusi Oranye. Ukraina menjadi kancah pertarungan antara Barat dan Rusia. Puncak Revolusi Oranye terjadi pada pemilihan presiden November 2004. Hasil pemilu, Yanukovich yang pro-Rusia menang, tapi ribuan orang pendukung capres Yushchenko yang pro-AS (tak aneh, istrinya pejabat Departemen Luar Negeri dan bekerja di Gedung Putih masa Presiden Reagan), berdemo di alun-alun Kiev, menolak kemenangan Yanukovich. Tak ayal lagi, Javier Solana, Sekjen NATO ketika itu, mondar-mandir ke Kiev. Hasilnya, kesepakatan, tapi tidak diimplementasi. Demo dan blokade terhadap gedung-gedung pemerintah jalan terus sampai satu bulan. Akhirnya hasil pemilu dibatalkan dan diselenggarakan pemilu lagi. Yushchenko menang. AS senang. Tapi krisis politik yang berakar pada kondisi ekonomi karut-marut yang diperburuk oleh korupsi yang sudah membudaya, tak berhasil diatasi.
Yushchenco tak terpilih untuk kedua kalinya. Tapi pada akhir jabatannya, ia memberi “hadiah” kepada para pendukungnya di Ukraina Barat. Ia menandatangani sebuah dekrit yang menyatakan Stepan Bandera sebagai pahlawan Ukraina. Tahun 2010, Yanukovich terpilih menjadi presiden. Kali ini komunitas internasional tidak meragukan legitimasi dari pemilu.
Pada Januari 2011, Yanukovich membatalkan gelar pahlawan kepada Bandera. Ganti presiden tapi krisis ekonomi tetap tak teratasi. Yanukovich dihadapkan kepada dua mitra bisnis. Pertama Dana Moneter Internasional (IMF) yang mengajukan kenaikan tarif listrik dan gas sebagai solusi, sedangkan upah tetap. Artinya rakyat yang dikorbankan. Pada November 2013, solusi yang diusulkan Ukraina ditolak IMF. Kedua, Rusia siap berbisnis dengan Ukraina asal kepentingannya dipertimbangkan. Perlu diketahui, secara historis ekonomi Rusia dan Ukraina merupakan kesatuan. Pasar Rusia terbuka lebar bagi produk Ukraina, begitu juga pabean di perbatasan Ukraina-Rusia. Dengan begitu, produk Uni Eropa bisa masuk pasar Rusia tanpa perundingan apapun antara UE dan Rusia. Rusia menolak. Perjanjian yang ditawarkan Barat memerlukan biaya ekonomi yang besar, tapi Eropa tidak memberi kompensasi atas kerugian itu. Tidak aneh! Itulah perlakuan neo-kolonial dari imperialis AS/UE! Yanukovich jadi bingung! Akhirnya diputuskan untuk menunda penandatanganan perjanjian dengan Uni Eropa.
Pada 21 November 2013, ribuan orang berdemonstrasi di Kiev menentang penundaan perjanjian dengan UE. Arseny Yatsenyuk, pemimpin partai oposisi Patria (Tanah air), Oleg Tyahnybok, pemimpin partai oposisi nasionalis radikal ekstrem kanan Svoboda, Vitali Klitschko, pemimpin partai oposisi Udar, berseru agar pemerintah terus ditekan dengan manifestasi.
Resep Revolusi Oranye: Uang, Media dan Teknik
Pada Tahun 1983, Dana Nasional untuk Demokrasi (National Endowment for Democracy) dibentuk untuk menggantikan peran CIA dalam membiayai LSM, partai politik, pelatihan aktivis, hubungan dengan wartawan dan dunia bisnis. Semua ini untuk mencapai tujuan politik luar negeri AS, termasuk penggantian rezim. Uang mengalir ke Ukraina. Dalam sekejap mata muncul tiga kanal televisi baru. Hromadske TV menerima uang dari Kedubes Belanda dan AS, dan juga dari International Renaissance Fund, yang didirikan George Soros ketika Ukraina masih merupakan bagian dari Uni Soviet. Ia mengakui peran besar yang dimainkan oleh yayasannya dalam konflik Ukraina.
Ribuan orang turun ke alun-alun Maidan pada 21 November 2013, berkat postingan Mustafa Na yem, pendiri salah satu kanal televisi baru, di FB. Propaganda ketiga kanal itu mendorong orang untuk turut protes di Maidan. Mula-mula demonstrasi berjalan dengan damai. Tapi terlihat orang-orang ekstrem kanan, Neo-Nazi di antara para demonstran. Pada 24 November, mereka menyerang gedung kabinet menteri dan para polisi yang menjaga gedung tersebut. Pada 25 November, mereka menyerang para petugas keamanan. Selanjutnya, 30 November, Popov, presiden kotapraja Kiev menelepon Zakharchenco, Menteri Dalam Negeri, bahwa dia akan membawa perlengkapan ke Maidan untuk menempatkan pohon-pohon Natal. Zakharchenco menjawab tak mungkin karena Maidan penuh dengan demonstran. Ternyata penempatan pohon Natal merupakan dalih untuk mengubah demonstrasi damai menjadi baku hantam yang sudah di rancang para dalang Revolusi Oranye. Beberapa grup anak muda bersenjata pentung dan rantai yg sudah dilatih tiba bersamaan waktunya di Maidan. Puluhan wartawan dan kameraman sudah siap untuk meliput huru hara yang direncanakan.
Keesokan harinya, Maidan kembali dibanjiri massa yang memuntahkan kemarahan yang disulut oleh berita represi brutal aparat kepolisian terhadap para demonstran. Selama kira-kira tiga bulan manifestasi dan baku hantam berlangsung, hadir selalu para pimpinan Neo-Nazi dan ekstrem kanan. Banyak pejabat tinggi AS seperti Victoria Nulland, John McCain datang ke Kiev dan menyiram minyak di api yang semakin besar dan ganas. Terlihat pola teknik yang sama untuk regime change yang sudah dilaksanakan di Yaman, Libya, Suriah, Venezuela, dan Georgia. Film Ukraine on Fire menjelaskan bagaimana kekerasan dan pembunuhan selama di Maidan, menggulingkan pemerintahan Yanukovich. Terbentuklah gerakan “Euromaidan”.
Referendum di Krimea dan Donbass
Setelah Pemerintah hasil kudeta menghapus bahasa Rusia sebagai bahasa resmi kedua, persekusi terhadap penduduk etnik Rusia meningkat seiring dengan semakin besarnya pengaruh kekuatan Neo-Nazi. Melihat eksistensinya terancam serius, penduduk etnik Rusia di berbagai kota dan daerah seperti Kiev, Odessa, Donbass turun berdemonstrasi secara damai menentang Euromaidan dan pemerintah Kiev.
Pada 16 Maret 2014, referendum di Krimea menghasilkan 96.77% setuju kembali menjadi bagian Rusia, 2.51% setuju tetap menjadi bagian Ukraina. Kehadiran tentara Rusia di Krimea dijadikan alasan AS/NATO/UE untuk tidak mengakui legimitasi referendum. Rusia memang punya pangkalan angkatan laut di Krimea. Normal kalau kelihatan tentara Rusia di Krimea.
Ukraina bagian timur juga bergolak. Pada 7 April 2014, penduduk Donetsk mendeklarasi berdirinya Republik Rakyat Donetsk (RRD). Pada 12 Mei 2014, berdiri Republik Rakyat Lugansk. Kiev menjawab dengan operasi anti-terorisme. Jacques Baud dalam wawancaranya dengan Michel Collon bicara tentang prajurit dan perwira tentara regional Ukraina yang berpihak kepada RRD. Mereka menolak bertempur melawan saudara-saudaranya sendiri. Desersi ini menyebabkan demoralisasi tentara nasional Ukraina. Dari situ datangnya kebutuhan menggunakan batalion Azov dan pembentukan batalion Donbass. Kedua batalion Neo-Nazi itu bertempur dengan penuh kebencian dan kekejaman terhadap penduduk etnis Rusia dan minoritas lainnya, seperti orang gipsi. Korban serangan dan pembantaian brutal pemerintah Ukraina selama delapan tahun perang yang sama sekali tidak mendapat perhatian media Barat mencapai lebih dari 14 ribu orang. Perang di Ukraina tidak dimulai dengan agresi Rusia, pada 24 Februari 2022. Sejak April 2014 rakyat Donbass sudah menderita serangan dan pemboman pemerintah Ukraina.
Pembantaian di Odessa
Di Odessa, ketegangan antara pendukung dan anti-Maidan meningkat. Kaum anti-Maidan pasang tenda kemah di depan gedung serikat buruh di Lapangan Kulikovo, menuntut referendum. Berhari-hari mereka berpawai secara damai meneriakkan slogan-slogan anti-fasisme, tak terjadi kekerasan. Pada 2 Mei, kereta api charter-an dari Kharkov membawa penumpang “istimewa” tiba di Odessa. Ketegangan meningkat ketika tersiar berita, ribuan hooligan sepak bola dari Kharkov dan Odessa, anggota “Sektor Kanan” dan ratusan pasukan Maidan Neo-Nazi dari Kiev yang berhelm dan membawa pentungan, rantai dan senapan angin, berkumpul di lapangan Katedral. Para aktivis anti-Maidan sepakat untuk mengambil sikap. Ratusan aktivis berhelm dan juga membawa pentungan berkumpul dua blok jauhnya dari tempat konsentrasi ribuan pendukung Maidan. Manifestasi damai menjadi baku hantam, yang sudah direncanakan oleh para dalang yang bertujuan meneror dan membersihkan Odessa dari penduduk pro-Rusia. Terdengar letupan pistol, korban jatuh. Sekitar 200 orang, setengahnya anak-anak, perempuan dan laki-laki lansia pro-Rusia yang berkamp di depan gedung serikat buruh tak luput dari serangan dan pukulan. Tenda kemah hancur porak poranda.

A protester throws a petrol bomb at the Trade Union building in Odessa/Reuters
Kewalahan menghadapi ribuan penyerang dengan lencana grup “Sektor Kanan”, ratusan orang pro-Rusia lari masuk gedung serikat buruh dengan maksud melindungi dirinya. Tapi cocktail molotov dan bom bensin segera melayang ke dalam gedung. Api dan asap hitam bergulung-gulung mencari korbannya. Mereka yang selamat setelah melompat melalui jendela, langsung digebukin babak belur. Tak kurang dari 48 orang mati terbakar dan 200 orang menderita luka-luka. Sampai hari ini tak ada usaha serius pemerintah untuk mengungkap dan menghukum para dalang dan pelaku pembantaian Odessa, yang mengingatkan kita kepada pogrom Nazi Hitler dan kolaboratornya Stepan Bandera.
Tatiana Lukman
Penulis adalah Esais Politik dan Penulis Buku yang tinggal di Belanda