Berapa Nilai Ekonomi Rokok Elektrik di Indonesia?
Rokok elektrik sedang menjadi tren baru di masyarkat, tidak hanya di Indonesia tetapi juga di dunia. Cara baru mengkonsumsi nikotin ini pun menjadi bisnis yang menggiurkan.
Lantas berapa nilai ekonomi dari bisnis rokok elektrik ini? Mengutip data Statista, tahun 2016 lalu secara global nilai pasar (market value) dari rokok elektrik (E-cigarette) dan rokok uap air (T-vapor) mencapai US$ 11,48 miliar atau sekitar Rp 160,7 triliun (kurs:14.000). Tahun 2025 diproyeksikan nilai pasarnya meningkat menjadi US$ 86,5 miliar atau sekitar Rp 1.211 triliun.
Barangkali karena potensi ekonomi yang besar inilah yang membuat pemerintah Indonesia tidak melarang keberadaan rokok elektrik di Indonesia. Tetapi, mengakuinya dengan menetapkan tarif cukai sebesar 57%.
Ketua Aliansi Pengusaha Penghantar Nikotin Elektronik Indonesia (APPNINDO), Syaiful Hayat mengungkapkan jumlah pengguna rokok elektrik di Indonesia diperkirakan mencapai 2 juta orang. Ia mengaku belum memiliki data yang pasti berapa nilai ekonomi dari bisnis rokok elektrik ini di Indonesia. Tetapi yang pasti, menurut dia, industri ini tumbuh pesat. “Pertumbuhan industri ini luar biasa,” ujarnya di Jakarta, Rabu (12/2).
Besarnya potensi ekonomi dari industri rokok elektrik ini bisa dilihat dari kontribusinya pada cukai yang dipungut pemerintah. Tahun 2018 lalu, total cukai dari rokok elektrik yang disetor ke kas negara mencapai Rp 154,1 miliar. Tahun 2019 lalu, jumlahnya melonjak sekitar 4 kali lipat menjadi Rp 426 miliar.
Memang jumlah ini belum sebanding dengan cukai yang didapatkan dari rokok kovensional. Tahun 2018 lalu, pendapatan cukai rokok mencapai Rp 153 triliun. Pada APBN 2019, pendapatan cukai rokok ditargetkan mencapai Rp 165,5 triliun dan pada APBN 2020 ini dipatok sebesar Rp 180,5 triliun.
Seperti pada industri lainnya, ke depan bukan tak mungkin terjadi shifting (pergeseran) besar-besaran pada cara masyarakat mengkonsumsi nikotin. Jumlah perokok dewasa di Indonesia diperkirakan mencapai 65 juta hingga 70 juta orang. Syaiful mengatakan potensi pasar ini juga yang menjadi target pasar anggota APPNINDO. “Kita komit bahwa kita hanya akan menawarkan ke perokok dewasa,” ujarnya.
Artinya, anggotanya tidak berikhtiar untuk menawarkan rokok elektrik kepada anak-anak atau orang yang berusia di bawah 18 tahun dan juga kepada orang yang tidak merokok, termasuk ibu hamil.
Menurutnya, bila para perokok dewasa yang sudah eksisting ini bisa menerima bahwa rokok elektrik adalah alternatif konsumsi nikotin yang lebih sehat dan pemerintah memberikan dukungan, maka industri rokok elektrik ini akan tumbuh lebih pesat lagi ke depannya.
“Industri ini sebenarnya menjanjikan. Industri ini dasarnya inovasi anak-anak muda, hanya memang permasalahannya banyak isu-isu yang liar, masalah penyalagunaan [narkoba] kita dijadikan kambing hitam dan sebagainya. Kita dari asosiasi mengusulkan adanya pengaturan, supaya pemerintah memberikan regulasi yang mengatur mengenai industri ini. Kalau itu sudah ada, sudah sinkron semua kementerian, pasti indusri ini akan tumbuh, prospeknya luar biasa besarnya,” ujarnya.
Untuk regulasi sendiri, APPNINDO mengusulkan pengaturan industri produk penghantar nikotin elektronik ini berdasarkan emisi dan profil risikonya, seperti bagaimana pemerintah memberlakukan pengaturan mobil listrik ketika dibandingkan dengan mobil yang menggunakan mesin pembakaran. Dalam hal pengenaan cukai, misalnya, saat ini cukai rokok elektrik mencapai 57%, lebih tinggi dari cukai-cukai lainnya. “Kalau cukai itu kan untuk pengendalian konsumsi, kalau itu dianggap berbahaya, maka dikenakan yang tinggi. Sedangkan kita sebenarnya jauh dari bahaya dibandingkan rokok. Kita maunya dengan emisi yang sedikit, justru harusnya tarif itu lebih rendah, perlu reformasi sebenarnya,” ujarnya.
Tetapi, ia menambahkan pihaknya tidak keberatan dengan pengenaan cukai. Karena memang pelaku industri ini mau diatur. “Kalau tadinya tidak dikenakan cukai, kita justru khawatir kita enggak diatur,” ujarnya.