Kisruh Pengambilalihan Saham, Proses Hukum terhadap Eks Dirut CLM Dinilai Janggal
Setelah mendapatkan perlakuan yang tidak adil karena pengambilalihan sahamnya, mantan Direktur Utama PT Citra Lampia Mandiri (CLM) Helmut Hermawan kini menjadi tersangka dan harus mendekam di penjara. Kepolisian Daerah (Polda) Sulawesi Selatan menuduhnya melakukan tindak pidana pemegang Izin Usaha Pertambangan (IUP) dan dengan sengaja menyampaikan laporan palsu terkait produksi hasil pertambangan.
Karena itu, kata Rusdianto Matulatuwa kuasa hukum Helmut, pihaknya menilai proses hukum yang dihadapi kliennya sudah janggal sejak awal. Itu sebabnya, ada dugaan kehadiran pihak tertentu dengan kekuasaan besar yang membuat hukum jadi lumpuh.
Di samping proses hukum itu, kata Rusdianto, kejanggalan lainnya adalah surat keputusan (SK) yang diterbitkan Kementerian Energi Sumber Daya Mineral (ESDM). SK ini terkait Rencana Kerja dan Anggaran Perusahaan (RKAP) yang terbit pada Sabtu 4 Februari.
Menurut Rusdianto, surat tersebut pada akhirnya membuatnya dan Helmut harus bolak-balik memenuhi panggilan kepolisian. Padahal, masalah awalnya adalah Perjanjian Pengikatan Jual Beli (PPJB) antara PT Asia Pasific Mining Resources (APMR) selaku pemilik PT CLM dengan PT Aserra Mineralindo Investama yang belum terselesaikan.
“Hal-hal itu membuat prosesnya berjalan satu arah. Saya mengimbau penegak hukum, berikan kesempatan untuk diselesaikan secara asal mulanya,” kata Rusdianto dalam keterangannya yang diterima The Iconomics, Selasa (7/3).
Untuk mengatasi semua itu, kata Rusdianto, pihaknya sedang mengajukan gugatan pembatalan PPJB di Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Selatan dan pembatalan SK yang dikeluarkan Direktorat Jenderal Administrasi Hukum Umum (AHU) Kementerian Hukum dan HAM terkait proses perubahan akta notaris yang membuat Helmut kehilangan komposisi saham di PT CLM.
Sebelumnya, proses perubahan akta notaris ditetapkan dalam Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS) PT APMR pada 13 September 2022 pukul 17.20 WIB. Malam harinya, sekitar pukul 20.59 WIB, keputusan itu disahkan Ditjen AHU. Semenit kemudian, notaris mengeluarkan Akta Nomor 7 tentang keputusan Para pemegang saham PT CLM.
Sebelum hari berganti, Dirjen AHU kembali menerbitkan pengesahan. Padahal proses ini biasanya memakan waktu cukup lama. Dengan demikian, dalam waktu 7 jam ada 2 akta yang dibuat Dirjen AHU sehingga hal itu pula yang membuat Helmut kehilangan komposisi saham dan posisi direksi.
Berdasarkan fakta tersebut, kata Rusdianto, proses hukum yang menimpa kliennya terkesan dipaksakan. Terutama persoalan pidana yang bersifat ultimum remedium yang seharusnya menjadi upaya hukum terakhir setelah proses lainnya dilewati.
“Kalau ini tetap diteruskan satu arah, kami bisa kehilangan segala-galanya,” ujar Rusdianto.
Sementara itu, akademisi sekaligus pakar hukum bidang pertambangan, Ahmad Redi menilai kasus yang menimpa Helmut Hermawan dengan PT CLM merupakan ranah perdata. Pendapatnya itu mendasarkan kepada Undang-Undang (UU) No. 4 tahun 2009 tentang Minerba yang sudah digantikan dengan UU No. 3 tahun 2020 bahwa pemilik usaha pertambangan bisa mengalihkan sahamnya sepanjang memiliki persetujuan dari menteri ESDM.
“Jadi kalau tidak ada izin dari menteri ESDM, suka tidak suka, mau tidak mau proses pengalihan saham secara hukum tidak sah jadi tidak sebatas di Ditjen AHU,” ujar Ahmad Redi.
Karena itu, kata Ahmad Redi, penegak hukum atau kepolisian perlu melihat kasus ini dari sudut pandang hukum perdata sebelum membawanya ke ranah pidana. Apalagi sanksi dalam hukum perdata terkait usaha pertambangan adalajh sanksi administrasi hingga pencabutan Izin Usaha Pertambangan (IUP).
Selanjutnya, ujar Ahmad Redi, dalam konteks hukum pidana, harus ada pembuktian terlebih dahulu dalam proses penyidikan jika ada pemalsuan dan informasi yang disampaikan secara tidak benar dengan niat jahat. “Misalnya dalam konteks mengurangi penerimaan negara, atau memperluas wilayah khususnya,” kata Ahmad Redi.
Kronologi
Kisruh pengambilalihan saham ini bermula dari PT Asia Pasific Mining Resources (APMR) selaku pemilik PT CLM membuat kesepakatan secara perdata dengan PT Aserra Mineralindo Investama yang diwakili Zainal Abidinsyah. Dalam perjanjian itu, PT APMR berniat meminjam dana dari PT Assera dengan kompensasi pemberian saham. Tapi perjanjian pada tahun 2019 itu tidak mencapai kesepakatan.
“Karena perjanjian sudah hampir masuk pada batas waktu yang ditentukan, mereka kembali membuat perjanjian accessoir (tambahan) daripada perjanjian pokok yang pertama tadi,” kata Rusdianto.
Setelah semua tahapan itu, kata Rusdianto, kedua kesepakatan yang telah dibuat tidak ada yang terpenuhi. Karena itu, kedua belah pihak lantas menempuh mekanisme gugatan di Badan Arbitrase Nasional Indonesia (BANI).
Berdasarkan putusan BANI No. 43006/I/ARB-BANI/2020 ini, kuasa hukum PT Aserra Mineralindo Investama Dion Pongkor memastikan kliennya menjadi pemilik sah PT CLM dan AMPR. Bahkan Dion mengutip hasil putusan perkara yang teregister dalam Nomor 622/Pdt.G/2021/PN.Jkt.Sel yang menolak permohonan pembatalan putusan arbitrase PT APMR di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, sehingga kliennya sah menjadi pemilik CLM dan AMPR.
Sementara itu, Helmut lewat kuasa hukumnya Rusdianto mengatakan, putusan BANI dibatalkan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan terutama soal Perjanjian Pengikatan Jual Beli (PPJB). “Namun di perjanjian accesoir-nya itu tidak berubah,” ujar Rusdianto.