
Komisi VII Sebut RUU EBT Jadi Solusi atas Berkurangnya Cadangan Minyak RI

Tangkapan layar, Ketua Komisi VII DPR Sugeng Suparwoto/Iconomics
Jumlah minyak bumi yang bersumber dari energi fosil semakin berkurang seiring dengan berjalannya waktu dan meningkatnya kapasitas pemakaian. Apalagi minyak bumi digunakan untuk kebutuhan transportasi, industri dan kebutuhan sehari-hari dalam bentuk listrik.
Ketua Komisi VII DPR Sugeng Suparwoto mengatakan, merujuk data yang ada jumlah cadangan minyak Indonesia saat ini sekitar 2,8 miliar barel. Sedangkan produksi harian hanya sekitar 700 ribu barel.
“Maka semua para ahli menghitung posisi minyak kita tinggal sampai 10-12 tahun saja, kalau tidak ditemukan cadangan baru. Artinya di sisi minyak memang kita sudah menjadi masalah. Sedangkan konsumsi BBM terus menerus naik. hari kita Indonesia konsumsi BBM sehari kurang lebih 1,4 juta barrel. Maka terdapat defisit kurang lebih 700 ribu barel per hari,” kata Sugeng dalam diskusi virtual, Senin (21/2).
Berdasarkan fakta tersebut, kata Sugeng, peggunaan BBM menjadi sumber defisit bagi neraca perdagangan Indonesia. Dampaknya Indonesia keluar dari organisasi negara pengekspor minyak bumi di dunia OPEC.
“Kita sudah menjadi impor minyak, sehingga kita tidak lagi masuk menjadi anggota organisasi pengekspor minyak atau OPEC, yang di mana dulu kita menjadi anggotanya. Itulah sekali lagi dari sisi minyak,” kata Sugeng.
Karena itu, kata Sugeng, Komisi VII DPR dalam menjalankan tugas dan fungsinya memasukkan Rancangan Undang Undang (RUU) Energi Baru Terbarukan (EBT) sebagai prioritas Program Legislasi Nasional (Prolegnas). Ini menjadi landasan untuk memberi solusi atas permasalahan energi minyak bumi yang sudah mulai berkurang.
“Menyangkut tentang EBT dan RUU EBT, saya menggaris bawahi di forum ini EBT bukan pilihan, tetapi keharusan,” kata Sugeng.
Sebagai anggota negara G20, kata Sugeng, Indonesia harus meningkatkan kapasitas, kuantitas dan kualitas energi di masa mendatang. Itu sebabnya, energi yang handal, murah, bersih, dan berkelanjutan menjadi pilihan yang harus segera dilakukan Indonesia.
“Kita sebagai bangsa sudah menandatangani Paris Agreement tahun 2015 dan diratifikasi menjadi UU Nomor 16 tahun 2016 dengan berbagai implikasi strategis dan kebijakan-kebijakan yang akan dijalankan di dalamnya,” katanya.
Leave a reply
