Nusantara Centre Nilai Reformasi Timbulkan 2 Persoalan Ketatanegaraan, Apa Saja?

0
177
Reporter: Rommy Yudhistira

Nusantara Centre Jakarta menilai gerakan reformasi yang menumbangkan rezim Orde Baru menimbulkan 2 persoalan. Pertama, era reformasi dinilai mengingkari sejarah pendirian Republik Indonesia dalam membangun sistem ketatanegaraan.

Persoalan kedua, kata peneliti senior Nusantara Centre Jakarta Jhohannes Marbun, reformasi dinilai menjauhkan Pancasila sebagai sumber hukum sistem ketatanegaraan Republik Indonesia dan menjadi ajang kontestasi masuknya kepentingan, ideologi dan pengaruh asing dalam penyusunan sistem ketatanegaraan Indonesia.

“Gerakan reformasi telah berubah menjadi gerakan de-Soehartoisasi. Setiap produk ketatanegaraan yang berlaku pada masa Orde Baru dianggap sebagai produk rezim Soeharto, tidak baik dan harus dihapuskan,” kata Jhohannes dalam keterangannya, Minggu (15/1).

Salah satu hal yang dipersoalkan Jhohannes terkait reformasi yakni tentang utusan golongan yang dianggap sebagai produk rezim Soeharto. Padahal, rezim Orde Baru tidak menghapus hal-hal mendasar soal ketatanegaraan yang dihasilkan para pendiri bangsa.

“Walau ada juga yang dibelokkan untuk memperkuat pelanggengan kekuasaan rezim Orde Baru. Seharusnya Orde Reformasi ‘meluruskan’ kembali, memperbaiki dan memperkuat sistem yang telah ada menyesuaikan dengan kondisi kekinian,” ujar Jhohannes.

Baca Juga :   Anggota Komisi VII Desak Tangkap “Ratu Batubara”, Ini Jawaban Menteri ESDM

Dalam membangun sistem ketatanegaraan, kata Jhohannes, menjelang dan setelah masa kemerdekaan Indonesia, para pendiri bangsa menggali sejarah-sejarah lama Nusantara untuk mengetahui dan menyambungkan kembali keterkaitan antar-daerah yang mengalami kolonialisme bangsa asing.

Dengan mengangkat kearifan lokal, potensi sosial budaya, dan berbagai aspek lainnya, hal itu kemudian melahirkan Pancasila, dan simbol-simbol negara seperti bendera, bahasa, dan semboyan Bhinneka Tunggal Ika, serta UUD 1945 yang dibingkai dalam suatu sistem ketatanegaraan Indonesia.

Menurut Jhohannes, para pendiri bangsa sadar akan peranan dari organisasi berbagai unsur yang memperjuangkan berdirinya Republik ini, dan tetap menempatkan tokoh-tokoh dari berbagai unsur, serta mengakomodirnya dalam konstitusi. Para tokoh tersebut, masuk dalam unsur utusan daerah dan utusan golongan di MPR.

Karena itu, kata Jhohannes, pihaknya mendorong agar peran utusan golongan dan utusan daerah di MPR mendesak untuk diberlakukan lagi. Utusan golongan dan daerah juga dinilai sesuai dengan Pasal 2 ayat (1) UUD 1945, sebelum amandemen yang menegaskan bahwa MPR terdiri atas anggota DPR, utusan daerah, dan utusan golongan.

Baca Juga :   2 Menteri Ini Diharapkan Bisa Atasi Tantangan Mudik Lebaran 2023, Siapa Mereka?

Klasifikasi utusan golongan dan utusan daerah untuk menjadi anggota MPR, kata Jhohannes, harus memenuhi syarat pendidikan minimal, tidak tercela, setia pada 4 hal (Pancasila, UUD 1945, NKRI, dan Bhineka Tunggal Ika), bukan anggota atau pengurus partai politik, tidak pernah dikenakan sanksi pidana, dan persyaratan umum lainnya yang diatur dalam perundang-undangan.

Khusus untuk utusan golongan, kata Jhohannes, terdapat kriteria organisasi atau golongan yang diwakili dan kriteria personal yang disertai surat rekomendasi dari organisasi pengutus. Untuk mekanisme utusan golongan, diserahkan ke tiap-tiap kelompok. Sedangkan untuk keterpilihan utusan daerah, mekanisme yang digunakan melalui proses pemilihan, sebagaimana yang diatur dalam UU.

“Jika melakukan pelanggaran, maka mekanisme MPR yang berlaku. Selanjutnya organisasi pengutus anggota utusan golongan yang tidak lagi memenuhi syarat (karena berhalangan tetap, tidak mampu menjalankan tugas atau tidak lagi mewakili golongan atau daerahnya karena alasan organisatoris atau tindakan yang melawan hukum sebagai anggota MPR), menarik yang bersangkutan dan mengusulkan calon baru ke MPR,” ujar Jhohannes.

Baca Juga :   Dukungan Politik Komisi VI kepada Kemendag Bikin Tren Kebijakan Migor Jadi Positif

Masih kata Jhohannes, secara umum baik utusan golongan maupun utusan daerah memiliki tugas dan fungsi untuk menyuarakan kepentingan daerah atau kelompok-kelompok masyarakat yang tidak disuarakan dengan baik di tingkat DPR.

“Misalnya pembangunan kesejahteraan masyarakat di daerah-daerah tertinggal dan sangat tertinggal. Kelompok masyarakat termarjinalisasi, seperti masyarakat miskin kota, masyarakat adat, budayawan, berkebutuhan khusus, kelompok rentan/minoritas dan lainnya,” tuturnya.

Leave a reply

Iconomics