
Tangkal Disinformasi Pemilu 2024, Ini Upaya dari Bawaslu, Apa Saja?

Tangkapan layar, Ketua Bawaslu Rahmat Bagja/Iconomics
Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu) terus berupaya mencegah disinformasi terkait Pemilihan Umum (Pemilu) 2024. Salah satu yang ditempuh Bawaslu dengan meningkatkan literasi masyarakat dan menggandeng sejumlah pihak seperti kementerian/lembaga, masyarakat sipil, media massa, platform media sosial untuk mencegah disinformasi Pemilu 2024.
Ketua Bawaslu Rahmat Bagja mengatakan, seluruh elemen masyarakat perlu meningkatkan kemampuan literasi agar tidak terhasut hoaks. Juga perlunya lebih berhati-hati dalam beraktivitas media sosial, terutama ketika menyampaikan informasi yang belum tentu benar.
“Bawaslu sudah mengajukan gugus tugas selain ada Satgas Tangkal Hoaks dari Kominfo. Kami juga berkolaborasi dengan BSSN, Google Indonesia, platform media sosial seperti Instagram, WhatsApp, Facebook, Twitter, dan lainnya,” kata Bagja dalam diskusi virtual beberapa waktu lalu.
Upaya lainnya, kata Bagja, pihaknya juga telah mendirikan komunitas digital pengawasan partisipatif melalui aplikasi Jarimu Awasi Pemilu. Bila dahulu peribahasa mulutmu harimaumu yang bermakna hati-hati dalam berbicara, maka saat ini ungkapan tersebut bergeser menjadi hati-hati dengan jarimu.
Karena itu, kata Bagja, akan ada sanksi administrasi dan sanksi pidana terhadap pihak-pihak yang dengan sengaja membuat atau menyebarkan hoaks atau disinformasi. Tahap pengawasan nanti, Bawaslu akan memantau informasi di media sosial dan konten tak resmi.
“Pemantauan pengawasan itu dibuatkan laporannya ditambah juga kami menerima laporan dari masyarakat,” ujaar Bagja.
Menurut Bagja, hoaks atau disinformasi perlu diwaspadai agar tidak menimbulkan dampak yang besar seperti perpecahan akibat politisasi suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA), sebagaimana pernah terjadi pada Pemilu 2019 dan Pilkada DKI Jakarta 2018. Berdasarkan refleksi Pemilu 2019, hoaks menjadi salah satu penyebab permusuhan sekaligus peraih simpati untuk bisa memenangkan kontestasi.
“Itu banyak penuh kebencian. Bahkan masuk dalam ruang privat seperti WhatsApp grup keluarga, sekolah, atau kampus yang menurut saya tidak perlu. Mau tidak mau hoaks menjadi senjata konflik oleh peserta pemilu. Ini adalah realita yang bukan hanya di Indonesia tetapi secara global,” ujar Bagja.
Bagja karena itu berharap, agar seluruh pihak lebih berhati-hati dalam menyebarkan informasi. Pesatnya perkembangan teknologi yang terjadi saat ini, harus disikapi dengan bijak.
Karena itu, kata Bagja, menjadi tantangan bersama membangun ruang demokrasi tanpa disinformasi, karena saat ini 77% penduduk Indonesia adalah pengguna internet. “Inilah dunia baru dalam menyebarkan informasi yang salah dan bisa begitu cepat dan masif. Harga mahal yang harus dibayar akibat hoaks adalah baiknya kebencian, permusuhan, dan turunnya kepercayaan kepada kinerja penyelenggara pemilu,” katanya.
Leave a reply
