Menghadapi Transformasi PR dan AI di Tahun 2025
Saat kita mendekati tahun 2025, dunia komunikasi dan public relations (PR) telah berubah total. Media yang dulu menjadi andalan kini harus berbagi perhatian dengan platform digital yang terus berkembang, seperti TikTok, YouTube, dan podcast. Teknologi baru, termasuk kecerdasan buatan (artificial intelligence/AI), menjadi bagian tak terpisahkan dari strategi komunikasi. Dalam podcast “Spin Sucks,” Gini Dietrich mengajak kita untuk berpikir ulang tentang cara berkomunikasi yang relevan di era ini.
Media Tradisional vs Media Baru
Generasi muda kini lebih mengutamakan media nontradisional. TikTok, YouTube, dan podcast menjadi pilihan utama dibandingkan media tradisional. “Ini adalah dunia yang benar-benar baru,” kata Dietrich. Profesional PR kini dituntut untuk memahami budaya setiap platform dan berpartisipasi secara autentik, bukan hanya hadir di sana.
Tantangan Kepercayaan di Era Post-Truth
Meningkatnya misinformasi membuat kepercayaan menjadi komoditas langka. “Kita harus membangun kepercayaan melalui komunikasi yang transparan dan autentik,” jelas Dietrich. AI, meskipun alat yang hebat, sebaiknya digunakan untuk mendukung komunikasi, bukan menggantikannya. Jika tidak, kepercayaan audiens bisa goyah.
Pentingnya Konten Buatan Pengguna
Konten yang dibuat oleh pengguna, seperti micro-influencers, kini menjadi aset utama. Mereka memiliki audiens yang kecil tapi sangat terlibat. “Kesuksesan di 2025 adalah tentang memberdayakan suara-suara yang autentik,” tambah Dietrich.
Cerita Visual yang Menarik
Pesan yang kompleks kini harus disampaikan dalam format visual yang sederhana dan menarik. Tim PR perlu menguasai keterampilan seperti pembuatan video dan desain grafis. Namun, substansi tetaplah yang utama. “Jangan sampai visual mengorbankan esensi pesan,” kata Dietrich.
Pandangan Sosiologis tentang AI, Polarisasi, dan Komunikasi
Dalam sosiologi, AI dilihat sebagai alat yang bisa menghubungkan teori mikro dan makro, mengidentifikasi pola sosial yang kompleks. Jakob Mökander dan Ralph Schroeder menyoroti bahwa meskipun AI bisa membantu memahami perubahan sosial, teknologi ini masih memiliki keterbatasan dalam menciptakan konsep baru. Randall Collins menambahkan bahwa memahami interaksi sosial mikro adalah kunci untuk memahami perubahan di tingkat yang lebih besar. Dalam dunia PR, ini berarti berinteraksi secara emosional dengan audiens bisa menjadi penentu keberhasilan kampanye.
Manuel Castells dalam “The Network Society” menyoroti bahwa masyarakat jaringan beroperasi dengan logika biner inklusi dan eksklusi, yang tercermin dalam polarisasi sosial media saat ini. Polarisasi ini terjadi karena algoritma media sosial dirancang untuk memprioritaskan konten yang memperkuat keyakinan pengguna, sehingga mempersempit ruang diskusi dan memperburuk fragmentasi sosial. Untuk menghadapi ini, profesional PR harus mampu menjadi jembatan komunikasi yang menjangkau berbagai kelompok, menciptakan ruang dialog yang inklusif dan kolaboratif.
Masa Depan PR dan AI
Dietrich menekankan bahwa teknologi seperti AR, VR, dan AI akan terus mengubah cara kita berkomunikasi. Namun, ia mengingatkan untuk tidak terburu-buru mengejar semua tren baru. “Yang penting adalah pendekatan yang fleksibel dan terintegrasi,” ujarnya.
Manuel Castells menambahkan bahwa masyarakat jaringan memiliki fleksibilitas tinggi untuk beradaptasi dengan perubahan lingkungan, tetapi sering kali hal ini terjadi dengan mengorbankan kelompok yang terpinggirkan. Polarisasi yang terjadi di media sosial adalah manifestasi dari struktur jaringan yang memungkinkan eksklusi dan inklusi berdasarkan nilai yang diprogramkan oleh algoritma. Oleh karena itu, pendekatan strategis dalam PR harus mencakup upaya menciptakan koneksi yang melampaui batasan algoritmik untuk merangkul audiens yang beragam.
Organisasi perlu mengadopsi teknologi, namun tetap fokus pada manusia sebagai pusat komunikasi. AI dan teknologi lainnya harus digunakan sebagai alat untuk meningkatkan keterhubungan, bukan menggantikannya. Castells menyarankan bahwa nilai dalam masyarakat jaringan ditentukan oleh siapa yang memegang kendali atas jaringan tersebut. Maka, transparansi, kolaborasi lintas jaringan, dan inklusi menjadi kunci untuk mengatasi tantangan ini.
Di era ini, PR yang humanis harus kembali menjadi prioritas. AI dan big data sering kali membuat komunikasi terasa kering dan kehilangan sentuhan manusiawi. Oleh karena itu, profesional PR perlu mengutamakan empati, dialog yang bermakna, dan mendekatkan hubungan dengan audiens. Selain itu, regulasi yang belum memadai sering kali membuat praktik komunikasi tidak sesuai dengan etika. Akibatnya, banyak nilai-nilai moral dilanggar, menyebabkan krisis kepercayaan yang lebih dalam. Untuk itu, penting bagi industri PR untuk mengembangkan kode etik yang lebih kuat, selaras dengan regulasi yang berlaku, serta memastikan bahwa teknologi digunakan dengan cara yang bertanggung jawab.
Dengan mengintegrasikan perspektif Dietrich dan Castells, organisasi dapat memanfaatkan teknologi secara bijaksana untuk membangun jembatan komunikasi yang lebih inklusif dan relevan. Investasi dalam teknologi, kemampuan manusia, serta pendekatan yang fleksibel akan memastikan relevansi dan kesuksesan dalam dunia media yang terus berubah. Tahun 2025 adalah peluang besar untuk mengubah wajah PR menjadi lebih moderen, adaptif, dan sekaligus memulihkan aspek humanis, regulasi yang memadai, serta praktik yang etis.