Menyoal Tata Kelola Perencanaan dan Pengadaan Proyek Peralatan Intelijen di Kejagung
Kendati belum menjadi sorotan masyarakat luas, akan tetapi proyek pengadaan peralatan intelijen pada 2024 menarik untuk ditelusuri. Namun, kontroversial pengadaan peralatan intelijen tersebut sesungguhnya sudah terjadi jauh-jauh hari sebelum munculnya pemberitaan tentang dugaan korupsi pengadaan peralatan intelijen pada 2024.
Karena itu, kata Sekretaris Pendiri Indonesia Audit Watch (IAW) Iskandar Sitorus, kontroversi proyek pengadaan peralatan intelijen itu bukan sekadar persoalan fiktif atau tidak, tetapi terkait proses perencanaan, realisasi, pihak yang terlibat dan lain sebagainya. Untuk pengadaan tahun 2016, misalnya, pelunasan pengadaan peralatan intelijen itu ternyata baru tuntas pembayarannya di 2023.
“Nah, ini saja kan menarik. Apa sesungguhnya yang terjadi dalam perencanaan dan penganggaran di Kejaksaan RI khususnya terkait belanja modal. Jika itu sudah tersusun rapi sejak awal, maka harusnya proyek di 2016 itu tuntas pada tahun itu juga. Ternyata alatnya sudah dipakai bertahun-tahun, tetapi baru selesai pembayarannya di 2023. Ini kan tidak sesuai dengan prinsip tata kelola pemerintahan yang baik,” tutur Iskandar di Jakarta, Sabtu (7/12).
Merujuk laporan hasil pemeriksaan (LHP) audit Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) terhadap laporan keuangan Kejaksaan RI tahun anggaran 2022, kata Iskandar, ditemukan paket pekerjaan Upgrade dan Moving Perangkat Adhyaksa Monitoring Centre (AMC) dan pekerjaan Investigasi Digital Taktis Tahun Anggaran 2016. Intinya proyek itu sebenarnya sudah rampung dengan bukti berita acara serah terima (BAST) dan surat pernyataan kesanggupan terhadap 3 paket kontrak belanja modal tahun anggaran 2016.
“Jadi, PT Telkom Indonesia (Persero) Tbk pada 2019 sebagai penyedia membuat surat yang ditujukan kepada Jaksa Agung Muda Intelijen, Kejaksaan Agung (Kejagung) soal pembayaran proyek tersebut. Proyek ini memang dibayar tuntas akhirnya tetapi baru di 2023. Jadi, kami sebagai lembaga yang kerap menyoroti soal tranparansi dan tata kelola perencanaan serta penganggaran melihat ketidakprofesionalan Kejaksaan dalam hal pelaksanaan anggaran,” tambah Iskandar.
Selepas itu, kata Iskandar, proyek pengadaan alat-alat intelijen terus berlanjut bahkan ketika pembayaran pengadaan di 2016 itu belum rampung. Masih merujuk LHP BPK tentang laporan keuangan Kejaksaan RI tahun 2022 itu, lanjut Iskandar, Badan Pendidikan dan Pelatihan (Badiklat) sebagai satuan kerja di lingkungan Kejaksaan Agung pun pernah mengadakan proyek peralatan dan mesin (aset tidak berwujud) senilai sekitar Rp 661,7 miliar per 31 Desember 2022 dari pagu sekitar Rp 662 miliar lebih atau terealisasi 99,95%.
Belanja modal tersebut, kata Iskandar, untuk melaksanakan 3 pengadaan aset tidak berwujud yang meliputi perangkat advanced centralized education environment solution sekitar Rp 260 miliar; peralatan strategic information analytics for training and education sekitar Rp 258 miliar; dan peralatan smart class information and management system with classroom interactive display sekitar Rp 81 miliar.
“Dari pengadaan ini, BPK menemukan pengadaan aplikasi yang belum didukung dengan pertimbangan dan perencanaan yang cermat,” ujar Iskandar.
Fakta itu, kata Iskandar, menunjukkan tata kelola mulai dari perencanaan, penganggaran hingga keterbukaan proses pengadaan di Kejaksaan tidak profesional. Karenanya, wajar pula isu tentang proyek pengadaan peralatan intelijen untuk 2024 menjadi perhatian media massa dan sudah pula menjadi pembicaraan warganet di media sosial.
Dicek dan Mohon Waktu
Menjawab soal dugaan ketidakprofesionalan khususnya dalam pengadaan peralatan intelijen itu, Kepala Biro Perlengkapan pada Jaksa Agung Muda Pembinaan (Jambin) Kejaksaan Agung, Asep Maryono mengatakan, pihaknya membutuhkan waktu untuk mengecek hal-hal tersebut. “Saya cek dan mohon waktu dulu,” kata Asep saat dihubungi lewat aplikasi perpesanan Whatsapp beberapa waktu lalu.
Secara terpisah, anggota Komisi III dari Fraksi PKS Nasir Jamil mengatakan, sesuai ketentuan, seharusnya perencanaan dan pembahasan anggaran untuk belanja modal peralatan intelijen itu dibahas di DPR. Namun, anggota DPR hanya membahas anggaran gelondongan bukan per mata anggaran.
“Sejak putusan Mahkamah Konstitusi (MK), komisi teknis di DPR tidak lagi menyentuh satuan 3, hanya (anggaran) gelondongan,” kata Nasir.
Sebelumnya, sejumlah pemberitaan menduga ada kejanggalan dalam pengadaan proyek peralayan intelijen di lingkungan Kejaksaan Agung. Nilainya pun disebut fantastis hampir menyentuh Rp 1 triliun. Pengadaan proyek tersebut dinilai tersebar di beberapa satuan kerja dan diduga melibaatkan pihak swasta yang saling terkait satu dengan lainnya.