Apa dan Bagaimana Sebenarnya BUMN dan Privatisasi? Ini Penjelasannya
Kepemilikan negara di atas 50% saham dalam sebuah perseroan disebut sebagai badan usaha milik negara (BUMN). Kurang dari itu, maka itu pula yang disebut sebagai privatisasi karena kontrol pemerintah terhadap BUMN sudah tidak ada.
“Karena itu, jika ada BUMN yang sahamnya masih dimiliki negara di atas 50%, itu bukan berarti privatisasi. Di mana-mana begitu sebenarnya BUMN,” kata mantan Menteri BUMN Tanri Abeng ketika membahas naskah akademik Rancangan Undang Undang (RUU) BUMN beberapa waktu lalu.
Di samping kepemilikan saham itu, kata Tanri, hal lainnya yang menarik untuk diamati terkait dengan psikologi praktis direksi bagaimana mereka berperilaku dalam mengelola BUMN. Dengan kekayaan negara yang sudah dipisahkan tetapi mereka tetap harus diaudit, bahkan jika kepemilikan saham pemerintah di bawah 50%.
Dengan situasi itu, kata Tanri, membuat perilaku daripada direksi BUMN sangat-sangat konservatif. Bahkan mungkin tidak mau mengambil keputusan kalaupun itu menguntungkan karena ada risiko yang harus mereka tanggung.
“(Keputusan) itu bisa menjadi berbahaya buat dia (direksi). Nah, selain itu BUMN juga kan bersaing dengan sektor swasta. Keadaan itu tidak memberi peluang untuk bisa bersaing secara efektif dengan pelaku ekonomi lain,” kata Tanri.
Karena itu, kata Tanri, kemampuan para direksi BUMN dalam melaksanakan tugasnya terkadang hanya normatif dan tidak mau mengambil peluang karena khawatir akan risikonya. Itu menyebabkan BUMN tidak lincah dalam bersaing.
“Siapa yang mau mengambil risiko? Jadi dalam pandangan saya jika dia (para direksi) bisa membuktikan bahwa keputusan itu demi kepentingan badan usaha dan tidak melanggar UU, ya jangan diperkarakan secara hukum,” ujar Tanri.