Bagaimana Duduk Perkara Kasus Jiwasraya Menurut Temuan BPK?

0
171
Reporter: Petrus Dabu

Indikasi adanya masalah di PT Asuransi Jiwasraya (AJS) sebenarnya sudah lama dideteksi oleh Badan Pemeriksa Keuangan (BPK). Sebab, dalam kurun waktu 2010 hingga 2019, auditor negara ini setidaknya sudah melakukan dua kali pemeriksaaan atas PT AJS. Pertama, tahun 2016 yaitu pemeriksaan dengan tujuan tertentu (PDTT) dan tahun 2018 pemeriksaan investigatif pendahuluan.

Ketua BPK Agung Firman Sampurna mengatakan dalam pemeriksaan dengan tujuan tertentu pada tahun 2016 BPK mengungkapkan 16 temuan terkait dengan pengelolaan bisnis, investasi, pendapatan dan biaya operasional PT AJS untuk tahun 2014 sampai dengan 2015.

Enam belas temuan tersebut antara lain investasi pada saham TRIO, SUGI dan LCGP pada tahun 2015 sampai dengan 2016 tidak didukung oleh kajian usulan penempatan saham yang memadai. Kemudian, PT AJS berpotensi menghadapi risiko gagal bayar atas transaksi pembelian investasi medium term note (MTN) dari PT Hanson Internasional. PT AJS juga kurang optimal dalam mengawasi reksadana yang dimiliki dan terdapat penempatan saham secara tidak langsung di satu perusahaan yang berkinerja kurang baik.

“Jadi ini sudah dideteksi semenjak tahun 2016,” ujar Agung dalam konferensi pers di Kantor BPK, Jakarta, Rabu (08/01/2020).

Menindaklanjuti hasil PDTT tahun 2016, kemudian BPK melakukan pemeriksaan investigatif pendahuluan yang dimulai tahun 2018. Hasil pemeriksaan investigatif  menunjukkan adanya penyimpangan-peyimpangan yang berindikasi fraud atau kecurangan dalam pengelolaan saving plan dan investasi.

Apa Saja Temuan pada Investigasi Pendahuluan?

Agung mengungkapkan permasalahan di tubuh PT AJS sebenarnya sudah terjadi sejak lama. Meskipun, menurut dia,  sejak tahun 2006 perusahaan masih membukukan laba tapi laba tersebut sebenarnya laba semu sebagai akibat dari rekayasa akuntasi atau window dressing. Padahal sebenarnya perusahan telah mengalami kerugian.

Pada tahun 2017, PT AJS membukukan laba sebesar Rp360,3 miliar. Namun memperoleh opini adverse artinya tidak wajar akibat adanya kekurangan pencadangan sebesar Rp7,7 triliun. “Jika pencadangan dilakukan sesuai ketentuan seharusnya perusahaan menderita rugi,” ujarnya.

Selanjutnya pada tahun 2018, PT AJS membukukan kerugian unauduited sebesar Rp15,3 triliun  dan sampai dengan September 2019 diperkirakan rugi sebesar Rp13,7 triliun.

Baca Juga :   2 Isu Besar Ini Dinilai Membuat BUMN Tidak Berjalan Sebagaimana Mestinya

Pada November 2019, PT AJS diperkirakan mengalami negatif equity sebesar Rp27,2 triliun. Kerugian itu, menurut Agung, terutama terjadi karena PT AJS menjual produk saving plan dengan cost of fund yang sangat tinggi di atas bunga deposito dan obligasi yang dilakukan secara massif sejak  tahun 2015. Celakanya, dana dari saving plan tersebut diinvestasikan pada instrumen saham dan reksadana  yang  berkualitas rendah sehingga mengakiabtkan tekanan likuditas pada PT AJS yang berujung pada gagal bayar.

Dijelaskan Agung, produk saving plan ini merupakan produk yang memberikan kontribusi pendapatan tertinggi di PT AJS sejak tahun  2015. Produk ini sebenarnya merupakan produk simpanan dengan jaminan return atau bunga yang sangat tinggi dengan tambahan manfaat asuransi.

Pada penjualan saving plan ini, BPK menemukan sejumlah penyimpangan antara lain penunjukan pejabat senior bancaasurance tidak sesuai dengan ketentuan; pengajuan cost of fund langsung pada direksi tanpa melibatkan divisi terkait dan tidak didasarkan pada dokumen perhitungan Cost of Fund (COF) dan review usulan COF. Kemudian, penetapan COF saving plan tidak mempertimbangkan kemampuan investasi PT AJS untuk menghasilkan pendapatan yang diperlukan untuk menutup biaya atas produk asuransi yang dijual.  Selain itu,  dalam pemasaran produk saving plan diduga terjadi konflik kepentingan karena pihak-pihak terkait di PT AJS mendapatkan fee atas penjualan produk tersebut.

Temuan lain dari audit investigatif ini adalah PT AJS melakukan investasi pada saham-saham perusahaan yang berkualitas rendah, yang dilakukan tidak sesuai dengan ketentuan seperti analisis pembelian dan penjualan saham. Hal ini diduga dilakukan tidak didasarkan pada data yang valid dan objektif. Kemudian melakukan aktivitas jual beli saham dalam waktu yang berdekatan untuk menghindari pencatatan unrealized loss. Jual beli saham juga dilakukan dengan pihak-pihak tertentu secara negosiasi agar bisa memperoleh harga tertentu yang diinginkan. Tak hanya itu, kepemilikan atas saham tertentu juga melebihi batas maksimal yang ditentukan, yaitu di atas 2,5% dan  investasi langsung pada saham-saham yang tidak likuid dengan yang tidak wajar.

Agung mengungkapkan pihak yang diajak bertransaksi saham  oleh manajemen PT AJS terkait transaksi ini adalah grup yang sama, sehingga diduga ada dana perusahaan yang dikeluarkan melalui grup tersebut.

Baca Juga :   Membaca Audit Investigasi BPK dan Tersangka Baru Kasus Jiwasraya

“Pemeriksa BPK sedang menganalisis predikasi atau hipotesis tersebut. Hal ini belum final dan sangat berkembang sesuai dengan bukti-bukti yang nanti dikumpulkan dalam pemeriksaan BPK selanjutnya,” terangnya.

Yang terang, menurut temuan sementara oleh BPK, jual beli saham tersebut diindikasikan dilakukan oleh pihak-pihak yang terafiliasi dan diduga dilakukan dengan merekayasa harga, sehingga harga jual beli tidak mencerminkan harga yang sebenarnya. “Saham-saham yang diperjualbelikan tersebut adalah saham-saham yang berkualitas rendah dan pada akhirnya mengalami penurunan nilai dan tidak likuid,” ujarnya.

Beberapa saham yang dimaksud adalah saham BJBR, SMBR dan PTPRO. “Indikasi kerugian sementara akibat transaksi tersebut diperkirakan sekitar Rp4 triliun,” ujar Agung.

Pihak-pihak yang terlibat dalam transaksi saham tersebut, tambahnya adalah pihak internal PT AJS pada tingkat direksi dan general manager serta pihak lain di luar PT AJS.

Selain investasi pada saham, PT AJS juga melakukan investasi pada reksadana saham. Menurut Agung, per 30 Juni 2018 lalu, PT AJS setidaknya memiliki sekitar 28 produk reksadana dan 20 diantaranya kepemilikan PT AJS di atas 90%.

“Reksadana tersebut sebagian besar adalah reksadana dengan underlying saham kualitas rendah dan tidak likuid,” ujarnya.

Ketua BPK Agung Firman Sampurna sedang memberikan keterangan pers

Investasi pada reksadana ini juga, menurut Agung, ditemukan sejumlah masalah. Antara lain, analisis manajer investasi atau MI dari PT AJS tidak dilakukan secara memadai. Terlihat seolah-olah produk reksadana tersebut  memiliki kinerja yang baik sehingga dapat dipilih oleh PT AJS untuk investasi.

Selain itu, investasi reksadana memiliki underlying saham-saham dan MTN berkulitas rendah. Transaksi pada saham-saham yang jadi underlying tersebut diindikasikan dilakukan oleh pihak-pihak yang terafiliasi. Bahkan diantara saham-saham dan MTN pada reksadana tersebut merupakan arahan dari PT AJS yang seharusnya tidak boleh dilakukan oleh PT AJS selaku investor.

“Indikasi sementara [kerugian] akibat penurunan nilai saham pada reksadana ini diperkirakan sekitar Rp6,4 triliun,” ujar Agung.

Berapa Kerugian Negara?

Baca Juga :   Paripurna DPR Setujui KAP Wisnu Karsono Soewito dan Rekan Jadi Pemeriksa BPK

Lantas berapa kerugian negara yang nyata dari kasus ini? Agung menjelaskan pada 30 Desember 2019, Kejaksaan Agung baru mengirimkan surat permintaan kepada BPK untuk melakukan perhitungan kerugian negara.  Meski belum ditemukan nilai kerugian negara tersebut, ia mengatakan berdasarkan hasil pemaparan Kejaksaan Agung, BPK menyimpulkan telah terjadi penyimpangan atau perbuatan melawan hukum dari pengumpulan dana pada produk saving plan maupun penempatan investasi dalam bentuk saham dan reksadana yang mengakibatkan adanya kerugian negara.

“Namun nilai kerugian negara yang nyata dan pasti baru dapat ditentukan setelah  BPK melakukan pemeriksaan investigasi dalam rangka perhitungan kerugian negara,” ujarnya.

Agung mengatakan BPK membutuhkan waktu sekitar 2 bulan untuk menuntaskan perhitungan kerugian negara dalam kasus PT AJS ini.  “Secara singkat dapat kami sampaikan bahwa skala kasus Jiwasraya ini sangat besar sehingga memiliki risiko sistemik,” ujarnya.

Kapan Penetapan Tersangka?

Jaksa Agung Burhanuddin yang hadir dalam konferensi pers bersama BPK ini mengatakan pihaknya tidak mau terburu-buru dalam menetapkan tersangka dalam kasus ini. Sembari menunggu hasil perhitungan kerugian negara oleh BPK, ia mengatakan pihaknya saat ini terus melakukan penyidikan.

“Yang terakhir kami telah melakukan penggeledahan terhadap beberapa objek, sekitar 13 objek pemeriksaan yang telah kami geledah dan tentu ini kami lakukan dengan silent,” ujarnya.

Jaksa Agung Burhanuddin sedang memberikan keterangan pers.

Burhanuddin mengatakan meski belum ada tersangka, saat ini Kejaksaana sudah punya ancar-ancar siapa yang menjadi pelaku tindak pidana korupsi dalam kasus ini. Meski demikian,  ia mengatakan belum bisa mengungkapkannya saat ini.

“Tolong beri kesempatan kami. Karena trasaksi yang terjadi hampir 5000 transaksi dan itu memerlukan waktu. Saya tidak ingin gegabah dan teman-teman dari BPK sangat membantu kami dalam rangka pengungkapan,” jelasnya.

Ia berjanji dalam waktu dua bulan ke depan, pelaku yang bertanggung jawab dalam kasus ini akan terungkap. “Jujur ini adalah suatu kasus yang cukup besar,” ujarnya.

Dapatkan berita dan analisis seputar ekonomi, bisnis dan lainnya hanya di theiconomics.com.

Pastikan untuk mengikuti perkembangan terbaru, berita, dan event The Iconomics di akun sosial media kami:
Instagram: the.iconomics
TikTok: @theiconomics
YouTube: @theiconomics
X: theiconomic
LinkedIn: The Iconomics

Leave a reply

Iconomics