Buntut Putusan MK, OJK Imbau Setiap Pihak Perbaiki dan Perjelas Perjanjian Polis Asuransi
Otoritas Jasa Keuangan (OJK) meminta asosiasi, stakeholders, industri, dan publik untuk memperbaiki dan memperjelas dokumen perjanjian polis asuransi. Hal itu dilakukan untuk menindaklanjuti hasil putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang menyatakan norma Pasal 251 Kitab Undang-Undang Hukum Dagang (KUHD) inkonstitusional bersyarat.
Kepala Eksekutif Pengawas Perasuransian, Penjaminan, dan Dana Pensiun OJK Ogi Prastomiyono mengatakan, pihaknya sedang mempelajari langkah selanjutnya untuk memperbaiki proses perjanjian asuransi antara perusahaan dengan pemegang polis.
“OJK menyadari bahwa perlu adanya penguatan kesetaraan antara penanggung dan tertanggung dalam suatu perjanjian polis asuransi,” kata Ogi dalam keterangan resminya secara virtual pada Selasa (7/1).
Selain itu, kata Ogi, OJK mendorong perusahaan asuransi untuk memperbaiki proses underwriting yang lebih baik lagi. Calon pemegang polis dinilai perlu memberikan informasi yang benar kepada perusahaan asuransi.
Apabila terjadi sengketa, kata Ogi, OJK akan menetapkan beberapa hal seperti, mengupayakan kesepakatan antara perusahaan asuransi dan pemegang polis melalui Lembaga Alternatif Penyelesaian Sengketa Sektor Jasa Keuangan (LAPS-SJK) atau Badan Arbitrase Nasional Indonesia (BANI) atau lewat mekanisme pengadilan.
“Namun sebelum itu perlu perbaikan-perbaikan. Adalah perbaikan untuk perjanjian pertanggungan, polisnya itu diperbaiki agar lebih jelas. Dan yang kedua adalah proses underwriting yang lebih baik, di mana perusahaan asuransi benar-benar meyakini kondisi daripada calon pemegang polis yang akan membeli produk asuransi tersebut,” ujar Ogi.
Sebelumnya, MK telah memutuskan norma Pasal 251 KUHD bertentangan dengan UUD 1945. Hakim MK Ridwan Mansyur dalam pertimbangannya mengatakan, yang menyebabkan norma Pasal 251 KUHD inkonstitusional bersyarat karena berpotensi menimbulkan tafsir yang beragam. Terutama dikaitkan dengan syarat batalnya perjanjian asuransi, yang terdapat persoalan berkenaan dengan adanya unsur yang disembunyikan oleh tertanggung sekalipun dengan itikad baik.
Ridwan melanjutkan, Pasal 251 KUHD tidak secara tegas mengatur mekanisme syarat batal atau cara pembatalan, jika terdapat hal-hal yang disembunyikan dalam membuat perjanjian. Kecuali, sekadar ada pilihan akibat yang timbul, yaitu perjanjian tersebut batal atau perjanjian tersebut tidak akan diadakan atau akan diadakan dengan syarat yang berbeda, apabila hal-hal yang keliru atau disembunyikan diketahui sebelumnya.
“Oleh karena itu, nampak dengan nyata tidak terdapatnya penegasan berkenaan dengan tata cara pembatalan akibat adanya hal-hal yang keliru atau disembunyikan dalam pemberitahuan oleh pihak tertanggung berkaitan dengan perjanjian yang dibuat oleh penanggung,” ujar Ridwan.