Harga Telur Mahal, Ini Penyebabnya Menurut Badan Pangan Nasional
Harga telur ayam naik ke level di atas Rp30.000 dalam beberapa pekan terakhir. Eko, seorang pedagang di Pasar Palmerah, Jakarta Barat, mengatakan kenaikan harga telur mulai dirasakan sejak 19 Agustus lalu.
Per 30 Agustus kemarin, harga telur di Pasar Palmerah, kata Eko, sebesar Rp31.000 per kg. Padahal sebelumnya, Eko biasanya menjual telur di kisaran harga Rp26.000 sampai dengan Rp28.000 per kg.
Arief Prasetyo Adi, Kepala Badan Pangan Nasional/National Food Agency (NFA) yang meninjau Pasar Palmerah pada Selasa (30/8) mengatakan kenaikan harga telur ini memang tidak terlepas dari mekanisme pasar. Ia mengungkapkan sejumlah faktor penyebab kenaikan harga telur ayam belakangan ini.
“Untuk mengatasi suatu permasalahan sangat penting mengetahui penyebab utamanya. Begitu juga dalam permasalahan kenaikan harga telur ayam ini. Jangan sampai mitigasinya keliru sehingga diberikan obat dan dosis yang salah,” ujarnya.
Menurut Arief, ada beberapa faktor yang mendorong kenaikan harga telur ayam, pertama adalah kenaikan harga pakan. Dalam pembentukan harga pakan, ketersediaan dan stabilitas harga komoditas jagung sangat berpengaruh.
“Proses bisnis telur dimulai dari ketersediaan dan stabilitas harga pakan dengan bahan baku utama jagung. Sebenarnya NFA sudah memfasilitasi secara end to end. Salah satunya menjaga ketersediaan dan stabilitas harga jagung sebagai bahan baku pakan ayam. Saat harga jagung di atas Rp5.500, kami fasilitasi pendistribusiannya dari sentra-sentra produksi jagung sebagai pakan,” ungkapnya.
Ia menjelaskan, NFA telah memfasilitasi mobilisasi jagung mulai dari Sumbawa dan Dompu, Nusa Tenggara Barat, ke pulau Jawa dan provinsi lainnya. “Karena di sana over supply, sementara di beberapa lokasi defisit. Sehingga tugas kita adalah memindahkan stok jagung dari yang surplus ke defisit. Intinya tidak ada alasan dari jagungnya. Kemudian ada komponen pakan impor. Jadi Pakan impor ini yang tidak bisa kita kendalikan. Ini harus disiapkan juga oleh lokal produksinya,” papar Arief.
Faktor penyebab lainnya adalah distribusi. “Kita liat distribusi hari ini ada peningkatan biaya. yang sangat berefek di teman-teman pedagang atau distributor. Kalau kita liat, setelah berkeliling menemui teman-teman peternak. Telur ini sebenernya angka yang wajar antara Rp27.000 sampai Rp29.000, itu angka yang wajar hari ini. Tidak mungkin lagi dikembalikan ke harga Rp22.000 seperti tahun lalu. Turun tetapi wajar, jangan kembali ke Rp22.000 kasian peternak layernya, karena hari ini ada kesetimbangan baru yang disebabkan kenaikan variable cost pembentuk harga pokok produksi tersebut,” ungkap Arief.
Arief menegaskan, visi NFA adalah mewujudkan peternak dan petani sejahtera, pedagang untung, dan masyarakat tersenyum. “Itu komposisi yang ideal. NFA sangat berkepentingan mewujudkan hal tersebut. Maka dari itu, Presiden meminta NFA mengkonsolidasikan kementerian, lembaga, dan asosiasi-asosiasi di bidang pangan agar terwujud kesetimbangan,” ujarnya.
Untuk itu, Arief meminta Dinas Urusan Pangan di tiap daerah memiliki neraca pangannya masing-masing. “Setiap Dinas Urusan Pangan Daerah harus punya neraca pangan masing-masing. Komoditas yang didata tidak cuma telur ayam, tetapi juga ada beras, daging, dan komoditas lainnya. Seperti di NFA kita punya neraca pangan, sehingga dapat dihitung satu tahun kita perlu berapa ton, kemudian dibagi tiap bulan berapa, sehingga ketersediaan pangan dapat dihitung dan diukur secara detail,” pungkasnya.