Ketua Umum AAUI; Sulit Bagi Perusahaan Asuransi Penuhi Ketentuan Modal Minimum Tahapan II pada 2028
Asosiasi Asuransi Umum Indonesia (AAUI) menilai sulit bagi perusahaan asuransi untuk memenuhi ketentuan modal minimum, terutama untuk tahap II pada 2028. Pasalnya, tahun 2025 dan 2026, perusahaan sudah dibebani kewajiban penambahan modal, mulai dari penerapan PSAK 117 pada 1 Januari 2025, kemudian kewajiban pemenuhan modal minimum tahap I paling lambat pada 31 Desember 2026.
Di sisi lain, kondisi industri asuransi sedang tidak baik-baik saja. Meski ada pemerintahan baru, dengan sederet rencana kerja, tetapi pelaku industri belum melihat adanya program nyata yang kemudian bisa memacu pertumbuhan industri asuransi.
Berdasarkan POJK Nomor 23 tahun 2023, paling lambat 31 Desember 2026, semua perusahaan asuransi baik jiwa maupun umum, wajib memiliki modal minimum sebesar Rp250 miliar. Sementara, perusahaan reasuransi sebesar Rp500 miliar, asuransi syariah sebesar Rp100 miliar dan reasuransi syariah sebesar Rp200 miliar.
“Kita di Asosiasi melihatnya 2026 ini akan bisa terpenuhi,” kata Budi Herawan, Ketua Umum AAUI kepada Theiconomics.com di kantor AAUI, Kamis pekan lalu.
“Tetapi di 2028, ini yang menjadi question mark. Dalam waktu dua tahun, apakah bisa langsung menuju Rp500 miliar, Rp1 triliun dan Rp2 triliun?” ujarnya.
Menurut POJK Nomor 23 tahun 2023, paling lambat 31 Desember 2028, perusahaan asuransi wajib memiliki ekuitas minimum berdasarkan pengelompokan perusahaan yang terdiri atas:
Pertama, Kelompok Perusahaan Perasuransian berdasarkan Ekuitas (KPPE) 1: untuk perusahaan asuransi – jiwa dan umum – minimum Rp500 miliar; reasuransi Rp1 triliun; asuransi syariah Rp200 miliar; dan reasuransi syariah Rp400 miliar.
Kedua, KPPE 2: untuk perusahaan asuransi – jiwa dan umum – minimum Rp1 triliun; reasuransi Rp2 triliun; asuransi syariah Rp500 miliar; dan reasuransi syariah Rp1 triliun.
AAUI, kata Budi, sedang mengkaji lagi ketentuan modal minimum ini. Hasilnya, kata dia, nanti akan disampaikan ke OJK sebagai feedback atau umpan balik atas kebijakan permodalan ini.
“Sudah pasti”, kata Budi, AAUI akan membicarakan kembali dengan OJK soal permodalan ini.
“Tetapi negosiasi ke arah yang mana, ini sedang kita lakukan kajian,” ujarnya.
Dengan melihat kondisi ekonomi dan industri, katanya, upaya yang paling realistis adalah bukan meminta relaksasi dari sisi waktu, tetapi meminta agar modal minimumnya diturunkan.
Budi mengatakan, profitabilitas industri asuransi umum di Indonesia saat ini terbilang rendah, dengan Return on Equity di bawah 3%, bahkan ada yang 2,5%.
Dengan profitabilitas rendah seperti itu, menurut dia, tidak mudah meyakinkan pemegang saham untuk menambah modal perusahaan asuransi, sebagaimana diatur OJK.
Rendahnya profitabiltas ini, antara lain, karena tingginya biaya yang dikemas dalam biaya marketing. Budi menggambarkan, biaya marketing dalam asuransi kendaraan bermotor, misalnya, bisa mencapai 60% dari premi.
“Kalau tidak segera ditertibkan, kita punya hasil underwriting enggak akan menutupi biaya operasional atau opex kita. Sehingga combined ratio tetap di atas 100%: 101-105%,” ujarnya.
Idealnya, menurut Budi,biaya marketing ini sebesar 10% hingga 15% tergantung kelas bisnis.
Dari sisi pertumbuhan pendapatan premi, Budi mengatakan, sulit untuk mengharapkan lompatan yang signifikan, mengingat saat ini belum ada sumber-sumber pertumbuhan baru pada sektor asuransi umum ini.
“Harapannya tahun 2025 itu asuransi-asuransi wajib seperti yang diamanatkan dalam Undang-Undang P2SK itu bisa direalisasi. Karena [saat ini] belum ada kue baru,” ujarnya.
Pelaku industri asuransi umum juga masih menunggu kebijakan konkret Kabinet Merah Putih Prabowo Subinato dalam 100 hari pertama pemerintahannya.
“Kuenya masih segitu saja. Karena belum ada barang baru. Di properti belum ada barang baru,” ujarnya.
Memang pemerintah berencana mulai membangun tiga juta rumah pada tahun depan. Tetapi Budi, mengatakan, belum jelas segmen yang dituju dan lokasinya.
“Kemudian investasi-investasi baru di perindustrian juga belum kelihatan. Misalnya, kilang atau ekspansi pabrik, belum ada,” ujarnya.
Di sisi lain, terdapat sederet tantangan yang mendera industri ini, seperti kepercayaan masyarakat yang terimbas kasus gagal bayar klaim beberapa perusahaan asuransi.
Di tengah daya beli masyarakat yang rendah, masalah judi online dan pinjaman online juga berdampak pada industri asuransi umum.
Sebagian masyarakat terlibat judi online dan menggunakan dana dari pinjaman online. Karena tak bisa membayar kembali pinjaman online, si debitur memiliki catatan hitam pada Sistem Layanan Informasi Keuangan (SLIK) OJK.
“Itu berdampak sistemik ke penjualan kendaraan, perumaha juga, kredit, karena banyak yang kena black list di SLIK. Jadi, enggak bisa ngambil kredit,” ujarnya.
Kondisi ini, kata Budi, berdampak pada penurunan asuransi kredit.