Menelaah Jawaban Mantan Mendag Lutfi Dalam Kasus Dugaan Korupsi Migor

0
214
Reporter: Kristian Ginting

Sejumlah wartawan meriung menunggu mantan Menteri Perdagangan M. Lutfi di Gedung Bundar, Kejaksaan Agung (Kejagung), Jakarta Selatan pada Rabu, 22 Juni 2022. Penyidik akan memeriksa Lutfi sebagai saksi dalam perkara dugaan korupsi persetujuan ekspor minyak kelapa sawit (CPO) dan produk turunannya untuk periode Januari-Maret 2022.

Begitu tiba di Gedung Bundar, wartawan langsung mengejar Lutfi untuk meminta keterangannya atas pemeriksaannya dalam kasus tersebut. Lutfi yang mengenakan batik bercorak hitam dan putih menjawab singkat “Nanti ya.”

Kasus yang membelit sejumlah orang dalam kasus ini bermula Jaksa Agung ST Burhanuddin mengumumkan 4 tersangka dalam kasus itu. Pejabat eselon I Kementerian Perdagangan (Kemendag) yakni Dirjen Perdagangan Luar Negeri Indrasari Wisnu Wardhana disebut melakukan perbuatan melawan hukum dengan menerbitkan persetujuan ekspor CPO dan produk turunannya kepada Permata Hijau Group, Wilmar Nabati Indonesia, PT Multimas Nabati Asahan, dan PT Musim Mas.

Sementara syarat untuk mendapat persetujuan ekspor harus memenuhi domestic market obligation (DMO) sebanyak 20% dari produk yang dieskpor. Akan tetapi, persyaratan DMO itu dinilai tidak terpenuhi karena secara nyata sehingga minyak goreng tersebut tidak ada di pasar.

Sementara itu, Jaksa Agung Muda Pidana Khusus (Jampidsus) Febrie Adriansyah mengatakan, selain Indrasari, 3 tersangka lainnya meliputi Senior Manager Corporate Affair Permata Hijau Group Stanley MA; Komisaris PT Wilmar Nabati Indonesia Master Parulian Tumanggor; dan Manager General Affair PT Musim Mas Pierre Togar Sitanggang. Ketiga tersangka disebut secara intens berkomunikasi dengan Indrasari.

Lantas bagaimana penjelasan Lutfi atas tuduhan Kejagung itu setelah diperiksa sekitar 12 jam? Seperti waktu memasuki ruangan Gedung Bundar, ketika keluar pun Lutfi tidak banyak berbicara terkait pemeriksaannya. Yang pasti sebagai warga negara, Lutfi mengaku telah menjalankan kewajibannya.

Baca Juga :   Pengamat Usul Bentuk Intelijen Agraria Atasi Mafia Tanah

“Saya datang tepat waktu, tepat hari, saya menjawab dengan sebenar-benarnya,” kata Lutfi.

Menurut Lutfi, pemeriksaan yang memakan waktu hampir 12 jam itu seharusnya sudah cukup. Karena itu, pemeriksaan atas dirinya mungkin saja tetap ada tergantung relevansi pemeriksaan saksi selanjutnya.

“Apa nanti masih relevan untuk dimintai keterangan lagi,” ujar Lutfi.

Melihat keterangan Lutfi ini, kasus dugaan korupsi persetujuan ekspor CPO dan produk turunannya itu masih tetap menggantung. Juga jawaban Lutfi itu, tampaknya tidak membuat terang perkara ini. Mengapa? Soalnya Kejagung masih mendasarkan tuduhannya bahwa Kemendag mengeluarkan persetujuan ekspor terhadap 3 perusahaan swasta walau tidak memenuhi syarat DMO. Akan tetapi, Kejagung tidak pernah menunjukkan data tersebut hingga saat ini.

Sementara, Dirjen Perdagangan Dalam Negeri Kemendag, Oke Nurwan menyebutkan, selama periode penerapan kebijakan DMO dan domestic price obligation (DPO), pihaknya telah menerbitkan 162 persetujuan ekspor kepada 59 eksportir. Dari persetujuan ekspor tersebut, realisasi DMO mencapai 720 ribu ton atau 20,7% dari total ekspor CPO dan produk turunannya.

Dari 720 ribu ton tersebut, kata Oke, dilaporkan telah terdistribusi sebanyak 529 ribu ton. “Artinya sudah sangat banyak atau 73,4% dari yang dilaporkan terdistribusi kepada masyarakat dalam bentuk minyak goreng curah dan kemasan di pasar rakyat dan retail modern,” ujar Oke pada 13 April lalu.

Baca Juga :   Menkopolhukam: Tunggu Proses Hukum soal Slot Orbit 123 Derajat Bujur Timur

Berkaitan dengan data itu, Jampidsus Febrie berpendapat bahwa itu hanya pembohongan demi mendapatkan persetujuan ekspor.  “Yang melakukan persetujuan ekspor yang diajukan 20% itu, bohong saja,” kata Febrie singkat seperti dikutip Berita Subang, grup dari Pikiran Rakyat pada 22 April lalu.

Masih kata Febri, berdasarkan proses hukum yang ditangani jajarannya, ditemukan ada indikasi tindak pidana. Pasalnya, dalam pelaksanaannya perusahaan ekportir itu tidak memenuhi syarat distribusi kebutuhan dalam negeri, namun tetap mendapatkan persetujuan ekspor dari pemerintah.

Akan tetapi, Febrie tidak memberikan data pembanding terhadap data yang dirilis Kemendag soal DMO itu. Hanya dikatakan bahwa penyidik mendalami dan mengecek ketersediaan DMO di seluruh wilayah yang masih berkaitan dengan para pihak perusahaan swasta yang menjadi tersangka dalam kasus ini.

Mengganjal
Hal lain yang masih mengganjal adalah sangkaan awal terhadap 4 tersangka dalam kasus ini. Soalnya, Jaksa Agung Burhanuddin menyebutkan, perbuatan para tersangka disangka melanggar Pasal 54 ayat (1) huruf a dan ayat (2) huruf a,b,e dan f UU tentang Perdagangan. Padahal, UU Perdagangan, kata pengamat hukum pidana Universitas Indonesia (UI) Ganjar Laksmana Bondan, tergolong tindak pidana umum sehingga Kejaksaan RI tidak berwenang menyidik kasus tersebut.

Belakangan Jampidsus Febrie meralat sangkaan terhadap 4 tersangka. Disebutkan, keempatnya dijerat Pasal 2 ayat 1 dan Pasal 3 Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi (Tipikor), dengan beberapa ketentuan perdagangan yang dijadikan dasar oleh penyidik sebagai perbuatan melawan hukum. Setelah itu, Kejagung juga menetapkan seorang ekonom yakni Lin Che Wei sebagai tersangka dalam kasus tersebut. Lin Che Wei disebut berperan bersama dengan mantan Dirjen Perdagangan Luar Negeri  Indrasari Wisnu Wardhana, mengkondisikan pemberian izin ekspor untuk beberapa perusahaan dengan melawan hukum. Penyidik juga menduga Lin Che Wei diperbantukan di Kemendag.

Baca Juga :   Hakim PN Jakpus Cabut Blokir Rekening Wanaartha, Ini Harapan Nasabah

Karena itu, kata Jaksa Agung Burhanuddin, Lin Che Wei dikenakan Pasal 2 juncto Pasal 3 juncto Pasal 18 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999, sebagaimana diubah dan ditambah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.

Sebagaimana diketahui, apabila para tersangka disangkakan Pasal 2 ayat 1 dan Pasal 3 UU Tipikor, maka harus terlebih dahulu memenuhi unsur kerugian negara atau perekonomian negara. Dan ini ditegaskan dalam putusan Mahkamah Konstitusi (MK) pada 2017, yang menyebut demi kepastian hukum dan mencegah kesewenang-wenangan aparat penegak hukum, maka terlebih dulu harus membuktikan adanya kerugian negara sebelum dilakukan penyelidikan perkara korupsi.

Selanjutnya, unsur merugikan keuangan atau perekonomian negara, tidak lagi dipahami sebagai perkiraan (potential loss), tetapi harus dipahami benar-benar sudah terjadi atau nyata (actual loss). Pertanyaannya: mengapa penyidik belum pernah sekalipun menyebutkan kerugian keuangan atau perekonomian negara dalam kasus ini?

 

Dapatkan berita dan analisis seputar ekonomi, bisnis dan lainnya hanya di theiconomics.com.

Pastikan untuk mengikuti perkembangan terbaru, berita, dan event The Iconomics di akun sosial media kami:
Instagram: the.iconomics
TikTok: @theiconomics
YouTube: @theiconomics
X: theiconomic
LinkedIn: The Iconomics

Leave a reply

Iconomics