OJK Sebut 2 Kebijakan Ini untuk Hadapi Ketidakpastian Global
Otoritas Jasa Keuangan (OJK) menilai pertumbuhan ekonomi Indonesia masih stabil ketika dunia mengalami perlambatan. Penyebab utamanya masih karena perang dagang antara Amerika Serikat (AS) dan Tiongkok.
“Ke depan masih cukup dinamis dengan aktor utama perang dagang antara AS dan Tiongkok, di mana kondisi ini memerlukan kebijakan moneter yang longgar, juga kebijakan fiskal yang cukup ekspansif dan reformasi struktural,” kata Ketua Dewan Komisioner OJK Wimboh Santoso di Gedung DPR, Jakarta, kemarin.
Karena situasi itu, kata Wimboh, otoritas moneter di beberapa negara telah menurunkan tingkat suku bunga acuan demi mendorong konsumsi, investasi dan juga inflasi. Di negara maju, misalnya, juga ada dukungan kebijakan non-konvensional semisal melakukan quantitative easing dengan pembelian obligasi pasar sekunder.
Di samping itu, kata Wimboh, beberapa negara juga menggunakan kebijakan fiskal seperti insentif pajak dan ekspansi pengeluaran pemerintah, dalam rangka meningkatkan sisi permintaan. Semisal, India menurunkan pajak penghasilan dari 30% menjadi sekitar 22% untuk mendorong dan menarik investasi.
Untuk proyeksi pertumbuhan ekonomi global tahun ini, beberapa lembaga seperti Dana Moneter Internasional (IMF) dan Bank Dunia telah mengkoreksi proyeksinya. Bank Dunia, misalnya, memperkirakan pertumbuhan 2019 berada di posisi 2,5%, angka ini turun dari proyeksi Juni lalu yang disebut mencapai 2,6%.
“IMF memperkirakan ekonomi global 2019 akan turun menjadi 3% dari proyeksi sebelumnya di bulan Juli sebesar 3,2%,” kata Wimboh.
Dalam situasi demikian, kata Wimboh, Indonesia patut bersyukur karena pertumbuhan dalam negeri disebut relatif stabil. Ditambah lagi pertumbuhan itu didukung tingkat inflasi yang terjaga, pengangguran, kemiskinan dan kesenjangan terus menurun.
Dilaporkan pertumbuhan ekonomi pada kuartal (3 bulanan) ketiga mencapai 5,02% secara tahunan, inflasi Oktober tercatat 3,13%, pengangguran terbuka terus turun per Agustus 2019 sebesar 5,28%, kemiskinan turun menjadi single digit per Maret 2019 sebesar 9,41%, dan gini ratio terus turun dengan posisi per Maret 2019 sebesar 0,382.