Putusan MK Soal Pasal 251 Kitab Undang-Undang Hukum Dagang, Apa Dampaknya untuk Industri Asuransi?
Pelaku industri asuransi Tanah Air siap menindaklanjuti Putusan Mahkamah Konstitusi [MK] yang mengabulkan uji materi pasal 251 Kitab Undang-Undang Hukum Dagang [KUHD] pada awal tahun ini.
MK dalam putusan yang dibacakan pada 3 Januari 2025 menyatakan, “norma Pasal 251 Kitab Undang-Undang Hukum Dagang (Staatsblad Tahun 1847 Nomor 23) bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara bersyarat sepanjang tidak dimaknai “termasuk berkaitan dengan pembatalan pertanggungan harus didasarkan atas kesepakatan penanggung dan tertanggung atau berdasarkan putusan pengadilan”
Pemohon dalam uji materi ini adalah Maribati Duha, ahli waris dari penerima manfaat atas nama Almarhum Sopan Santun Duha.
Mengutip situs MK, Sopan Santun Duha merupakan tertanggung/pemegang polis atas nama almarhum Latima Laia yang terdaftar sebagai tertanggung/pemegang polis asuransi jiwa PT Prudential Life Assurance. Hingga permohonan uji materi itu pada Agustus 2024, Prudential masih memiliki kewajiban untuk membayar sisa nilai manfaat yang semestinya diterima penerima manfaat atas nama Sopan Santun Duha sebesar Rp 510,5 juta.
Namun, Sopan Santun Duha telah meninggal dunia pada 7 Januari 2024 sehingga nilai manfaat belum dibayarkan Prudential. Menurut Pemohon, secara hukum jatuh kepadanya atau menjadi hak Pemohon yang merupakan ahli waris sah dari penerima manfaat.
Sopan Santun Duha pernah mengajukan permohonan serupa yang teregistrasi dengan Perkara Nomor 2/PUU-XXII/2024. Namun, pada sidang perbaikan permohonan pada 5 Februari 2024 lalu, Sopan Santun Duha diketahui meninggal dunia pada 7 Januari 2024. Kemudian, Mahkamah menyatakan permohonan tersebut gugur pada sidang pengucapan putusan/ketetapan pada 13 Februari 2024. Sebab, Pemohon perkara meninggal dunia sehingga permohonan tersebut kehilangan subjek hukum dan permohonan tidak dapat dilanjutkan.
Respons AAUI
Asosiasi Asuransi Umum Indonesia [AAUI] yang menjadi Ad Informandum atau Pihak Terkait dalam perkara ini menyatakan “AAUI menghormati semua proses hukum yang telah berlangsung dan akan mematuhi putusan ini sebagai bagian dari hukum yang berlaku di Indonesia.”
“Kami berharap keputusan Mahkamah Konstitusi ini akan membawa dampak positif bagi industri asuransi di Indonesia. Kami percaya bahwa dengan implementasi yang tepat, putusan ini dapat meningkatkan kepercayaan masyarakat terhadap industri asuransi atau perasuransian,” kata Budi Herawan, Ketua AAUI dalam konferensi pers di Kantor AAUI di kawasan Setiabudi, Jakarta Selatan, Selasa, 7 Januari.
Dalam konferensi pers itu, Budi didampingi Muhammad Iqbal selaku Wakil Ketua AAUI Bidang Kerjasama Antar Lembaga & Anggota, dan Hubungan Internasional, serta Richard Haullusy, pengacara AAUI.
Hadir juga Firdaus Djaelani, Kepala Eksekutif Pengawas Industri Keuangan non-Bank OJK, periode 2012-2017, dan kini menjadi Dewan Kehormatan AAUI.
Budi mengatakan, saat ini, AAUI bersama pihak-pihak terkait sedang melakukan pengkajian mendalam atas isi dan implikasi Putusan MK itu.
“Kami akan mengkaji ulang ketentuan dalam polis asuransi yang berlaku, memastikan bahwa ketentuan tersebut sejalan dengan hukum dan semangat keadilan sebagaimana diamanatkan dalam putusan ini,” ujar Budi.
AAUI juga akan segera melakukan sosialisasi kepada seluruh anggota AAUI untuk memberikan pemahaman yang komprehensif mengenai implikasi hukum dan operasional dari keputusan ini.
“AAUI berkomitmen untuk terus mendukung anggota kami dalam beradaptasi dengan perubahan hukum ini dan memastikan bahwa industri asuransi tetap berkembang secara sehat, berintegritas, dan bermanfaat bagi semua pihak. Demikian pernyataan resmi dari AAUI. Kami mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah berkontribusi dalam mendukung kemajuan hukum dan industri asuransi di Indonesia,” ujar Budi.
Apa Makna dan Implikasi Putusan MK Ini?
Pasal 251 KUHD berbunyi: “Semua pemberitahuan yang keliru atau tidak benar, atau semua penyembunyian keadaan yang diketahui oleh tertanggung, meskipun dilakukannya dengan itikad baik, yang sifatnya sedemikian, sehingga perjanjian itu tidak akan diadakan, atau tidak diadakan dengan syarat-syarat yang sama, bila penanggung mengetahui keadaan yang sesungguhnya dari semua hal itu, membuat pertanggungan itu batal”.
Menurut MK, Pasal 251 KUHD ini “inkonsitusional bersyarat karena berpotensi menimbulkan adanya tafsir yang beragam, terutama jika dikaitkan dengan syarat batalnya perjanjian asuransi yang terdapat adanya persoalan yang berkenaan dengan adanya unsur yang disembunyikan oleh tertanggung sekalipun dengan iktikad baik.”
Tafsir yang beragam ini terjadi karena, “Pasal 251 KUHD tidak secara tegas mengatur mekanisme syarat batal atau cara pembatalan dilakukan jika terdapat hal-hal yang disembunyikan dalam membuat perjanjian, kecuali sekadar ada pilihan akibat yang timbul, yaitu perjanjian tersebut batal atau perjanjian tersebut tidak akan diadakan atau akan diadakan dengan syarat yang berbeda, jika hal-hal yang keliru atau disembunyikan diketahui sebelumnya.”
Budi Herawan mengatakan, dengan putusan MK ini “pembatalan polis tidak bisa satu pihak” lagi.
“Harus ada kesepakatan. Kalau tidak ada kesepakatan, baru ke Pengadilan,” ujarnya.
Namun, ia menggarisbawahi, dampak putusan MK ini “tidak sebesar yang digaungkan.”
“Kalau dampaknya pasti ada. Khususnya kepada industri yang terbiasa melakukan penolakan-penolakan klaim yang menggunakan KUHD 251,” ujarnya.
Muhammad Iqbal, Wakil Ketua Bidang Kerjasama Antar Lembaga & Anggota AAUI mengatakan, sebenarnya putusan MK ini “tidak memenangkan salah satu pihak”, baik Tertanggung/Pemegang Polis maupun Penanggung/Perusahaan Asuransi.
Kedua belah pihak, kata Iqbal, “harus sama-sama introspeksi diri.”
Dari sisi Penanggung/Perusahaan Asuransi, Iqbal mengatakan, untuk mencegah adanya fraud ke depan, proses underwriting “menjadi lebih ketat.”
“Karena nggak bisa lagi kami pakai 251. Proses underwriting kami menjadi lebih ketat dalam arti Know Your Customer [KYC] kami pasti lebih detil setelah ini,” ujarnya.
Richard Haullusy, Pengacara AAUI mengatakan, dalam proses persidangan uji materi pasal 251 KUHD ini, AAUI sebagai pihak terkait sudah menyampaikan pandangannya.
Dalam pandangannya, AAUI menyatakan pasal 251 sebenarnya tidak “menutupi hak pihak Pemohon atau Pihak Tertanggung untuk melakukan tuntutan ke Pengadilan apabila ada penolakan klaim yang dilakukan oleh Pihak Penanggung.”
Sehingga, kata dia, amandemen pasal 251 itu mestinya tidak perlu dilakukan.
“Tetapi, kami menghormati apapun keputusan dari MK,” ujarnya.
Tanpa putusan MK ini, tambahnya, sebetulnya di dalam beberapa Perjanjian yang dibuat antara Penanggung dan Tertanggung pun sudah terdapat frasa atau klausul terkait pembatalan perjanjian apabila ditemukan hal-hal yang tidak sesuai dengan apa yang ditetapkan oleh Pihak Tertanggung pada saat mereka mengajukan asuransi.
“KYC tidak akan berubah. Tetapi pada saat putusan MK itu terjadi, maka akan ada penambahan frasa di dalam, misalnya, pembatalan perjanjian, bahwa apabila ditemukan hal-hal yang tidak sesuai dengan apa yang disampaikan oleh Pihak Tertanggung pada saat awal penutupan asuransi, maka Pihak Penanggung dan Tertanggung setuju untuk membatalkan polis tersebut. Frasa ini harus disampaikan di dalam perjanjian asuransi. Itu yang merupakan upaya lanjutan yang harus disosialisasikan ke pihak Penanggung maupun kepada para anggota kami,” ujar Richard.
Richard menegaskan, dengan adanya penambahan frasa tersebut, Pihak Tertanggung akan memiliki kewajiban untuk menyatakan hal yang sebenarnya pada saat dia menginginkan penutupan asuransi.
Richard kembali menegaskan, kewajiban untuk menyampaikan informasi yang sebenarnya itu sebenarnya menjadi roh dari pasal 251 KUHD. Karena perjanjian itu dibuat atas dasar itikad baik.
“Setiap perjanjian yang dibuat harus ada itikad baik dari Para Pihak dan itu sebetulnya roh dari 251,” ujarnya.
Putusan MK ini, jelas Richard, “akan kita masukan di dalam amandemen klausul” Perjanjian Asuransi.
Mendorong Perusahaan Asuransi untuk Aktif
Firdaus Djaelani, mantan Kepala Eksekutif Pengawas Industri Keuangan non-Bank OJK, yang kini menjadi Dewan Kehormatan AAUI, mengatakan, melalui putusan uji materi ini, MK sebenarnya “meminta jangan sampai pasal 251 ini dijadikan senjata oleh perusahaan asuransi untuk menolak klaim ketika dalam proses klaim itu dia menemukan sesuatu yang tidak jujur atau ketidakterbukaan dari Pihak Tertanggung.”
“Jadi, MK ini menghendaki perusahaan asuransi pun harus aktif. Memang sebuah perjanjian itu harusnya saling terbuka. Tetapi perusahaan asuransi juga harus aktif,” ujar Firdaus.
Menurutnya, ketika polis asuransi sudah diterbitkan, mestinya proses underwriting dan KYC sudah selesai.
“Artinya, dari pihak Perusahaan Asuransi sudah betul-betul menseleksi, jangan hanya terima premi yang disampaikan oleh Agen. Jadi harus sudah clear. Kurang elok juga seolah-olah proses underwriting dilakukan pada saat klaim terjadi. Seharusnya sudah selesai ketika polis diterbitkan,” ujarnya.
Pembatalan polis melalui kesepakatan bersama atau berdasarkan putusan Pengadilan, menurut Firdaus, sebenarnya sudah diatur oleh OJK, bahwa sebelum ke Pengadilan, perselisihan antara Tertanggung dan Penanggung dilakukan melalui Lembaga Penyelesaian Sengketa Alternatif (LAPS). Bila tidak puas dengan keputusan LAPS, baru kemudian ke Pengadilan.
“Memang jadi persoalan, Pengadilan mana? Pengadilan Negeri di tempat Pemegang Polis berada atau di Perusahaan Asuransi berada? Itu barangkali yang nanti diputuskan lagi,” ujarnya.
Menurutnya, zaman dulu sudah dicantumkan di dalam Polis bahwa sengketa diselesaikan di Pengadilan Negeri dimana kedudukan Perusahaan Asuransi. Tetapi, ketentuan itu sudah dibatalkan.