Tarif Pajak untuk Aset Kripto Dinilai Terlalu Besar, Investor Indonesia Bisa Kabur ke Luar Negeri
Pemerintah resmi mengenakan pajak untuk aset kripto di Indonesia. Namun, tarif pajaknya dinilai terlalu besar sehingga dikhawatirkan investor kripto di Indonesia lebih memilih melakukan transaksi di platform perdagangan yang ada di luar negeri.
Oscar Darmawan, Founder & CEO Indodax, salah satu platform jual beli aset kripto terbesar di Indonesia, menilai pengenaan pajak ini di satu sisi memang positif untuk memperkuat legitimasi perdagangan aset kripto di Indonesia, setelah sejak 2018 Kementerian Perdagangan telah meregulasinya.
“Sebagai pelaku usaha, dengan adanya pengenaan pajak tentu akan menambah legalitas dari aset kripto itu sendiri sehingga menandakan kripto sudah menjadi aset atau komoditas yang sah di mata hukum negara untuk diperjualbelikan. Jadi , ini suatu hal yang sangat positif. Namun kembali lagi, sebagai pelaku usaha, saya berharap besaran masing-masing pajak tersebut adalah 0,05% untuk PPN dan 0,05% untuk PPh sehingga total pajak yang dikenakan di industri totalnya cukup 0.1%,” ujar Oscar kepada Theiconomics, Rabu (6/4).
Oscar membandingkan tarif pajak aset kripto ini dengan pajak yang dikenakan untuk transaksi saham. Ia mengatakan total pajak yang dipungut untuk transaksi saham hanya sebesar 0,1%.
“Saya berharap besaran pajak untuk kripto pun disamakan atau bahkan dikurangi karena bentuk perdagangan saham dan kripto ini memiliki pola perdagangan yang sama,” ujarnya.
Namun, harapan pelaku industri ini rupanya tak diakomodir oleh pemerintah. Kementerian Keuangan telah menerbitkan PMK Nomor 68/PMK.03/2022. Dalam beleid yang diterbitkan pada 30 Maret 2022 ini, Kementerian memungut PPN 1% tarif PPN dikali dengan nilai transaksi aset kripto jika Penyelenggara Perdagangan Melalui Sistem Elektoronik (PMSE) merupakan pedagang fisik aset kripto dan 2% tarif PPN dikali dengan nilai transaksi aset kripto jika PMSE bukan merupakan pedagang fisik aset kripto.
Sedangkan untuk besaran tarif PPh untuk transaksi kripto sesuai dengan PMK ini adalah 0,1% dari nilai transaksi aset kripto, tidak termasuk PPN dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM), berlaku bagi penjual aset kripto, penyelenggara PMSE dan penambang aset kripto. Jika penyelenggara PMSE bukan pedagang fisik aset kripto, maka PPh pasal 22 bersifat final yang dipungut sebesar 0,2%. Tarif PPN dan PPh ini berlaku mulai 1 Mei 2022.
Oscar menilai tarif pajak transaksi aset kripto ini menambah beban investor. Investor kripto di Indonesia selama ini sudah dibebani fee exchange sekitar 0,3%. “Jadi, kalau ditambah dengan PPN dan PPh dengan ketentuan sekarang, konsumen akan kena fee hampir dua kali lipat dari sekarang. Apabila mengenakan besaran pajak yang terlalu besar dikhawatirkan konsumen akan merasa sangat keberatan. Akibatnya, para konsumen tidak tertarik dengan industri kripto dalam negeri dan justru malah lari ke pasar luar negeri. Hal Ini tentu sangat amat disayangkan mengingat tingginya tren investasi kripto memberikan peluang besar bagi pertumbuhan ekonomi digital Indonesia kalau terus bertumbuh,” tutup Oscar.
[…] Indonesia, tetapi pengenaan tarif pajak ini dikhawatirkan akan membuat investor kripto di Indonesia lari ke platform yang ada di luar negeri karena beban biaya yang bertambah di dalam […]