Perang Tarif, Perang Mata Uang hingga Perang Dunia III?
Iconomics – Pertemuan pemimpin Amerika Serikat (AS) dan Tiongkok pada perhelatan G20 di Jepang, Juni lalu sempat menjadi sorotan di tengah kecamuk perang dagang. Apalagi Presiden Donald Trump menyatakan memiliki hubungan yang baik dengan Tiongkok.
Juga disebutkan akan membuat banyak kesepakatan perdagangan dengan Tiongkok. Delegasi kedua negara akan membahas tentang defisit perdagangan AS terhadap Tiongkok yang kini tinggal berjarak 10%. Trump karena itu kepada publik dan di hadapan Xi Jinping memastikan akan menunda pengenaan tarif tambahan senilai US$ 325 miliar kepada produk Tiongkok.
Pernyataan Trump itu seolah-olah mengulang kisah yang sama dalam pertemuan G20 pada Desember 2018. Ketika itu dalam perhelatan yang digelar di Buenos Aires, Argentina, Trump kepada Jinping juga mengatakan hal serupa. Orang-orang menyebutnya sebagai déjà vu. Lantas, apakah ada yang beda kali ini? Akankah AS dan Tiongkok akan mencapai kesepakatan dalam menyelesaikan perang dagang mereka atau perang dagang ini memuncak kepada Perang Dunia III?
Perbedaan kisah pertemuan AS dan Tiongkok di G20 Argentina 2018 dan G20 Jepang 2019 terletak pada perkembangan dari perang dagang. Disebutkan konflik ekonomi kedua negara tidak lagi sekadar perang tarif melainkan juga sudah menuju perang mata uang. Tentu saja perang mata uang ini akan segera menyebar ke berbagai belahan dunia dan berdampak kepada perekonomian global. Ini semata-mata karena pertumbuhan ekonomi global yang melambat sehingga menyebabkan ketidakstabilan industri keuangan global.
Alhasil mata uang yuan-renminbi (Tiongkok) melemah dan berada di titik terendah dalam satu dekade terakhir. Karena situasi ini, AS lantas menuduh Tiongkok memanipulasi mata uangnya. Padahal, Tiongkok telah berupaya mencegah mata uangnya agar tidak tergelincir seperti sekarang. AS tampaknya keliru jika menuduh Tiongkok tengah memanipulasi nilai mata uangnya. Pasalnya, Tiongkok hanya perlu membiarkan mata uangnya merosot secara alami sebagai respons atas kebijakan perang tarif AS dan melambatnya perekonomian global.
Devaluasi disebut bisa mengimbangi kebijakan pengenaan tarif terhadap barang Tiongkok oleh AS. Tiongkok bahkan dinilai tidak perlu mengintervensi pasar untuk menopang yuan. Sebab, hal ini sesuatu yang tidak terhindarkan akibat melemahnya perekonomian Tiongkok, AS dan ekonomi global hingga beberapa waktu mendatang. Karenanya, sangat tidak perlu Tiongkok untuk memanipulasi nilai mata uangnya seperti yang dituduhkan AS.
Aset Tiongkok dalam bentuk obligasi AS bernilai US$ 1,3 triliun tidak memiliki efek yang sebanding untuk nilai yuan. Itu sebabnya, Tiongkok mulai mengurangi pembelian surat utang AS sejak September 2018. Apalagi pembelian surat berharga AS melambat dan menurun pada 2019. Selain menghentikan pembelian surat utang AS, Tiongkok bila perlu menjual asetnya dalam bentuk surat utang AS itu.
Seperti yang diprediksi, penurunan nilai mata uang yuan tersebut segera berdampak ke negara-negara lain termasuk Indonesia. Merespons situasi ini, Presiden Joko Widodo segera mengumpulkan jajaran menteri perekonomian dan pemangku kepentingan lainnya untuk membahas langkah mengantisipasi devaluasi yuan itu. Menteri Keuangan, Sri Mulyani mengatakan, pokok pembahasan dalam rapat terbatas itu mengantisipasi adanya perang mata uang antar-negara selepas melemahnya yuan.
Kontradiksi
Kekhawatiran Jokowi itu sesungguhnya berkontradiksi dengan pernyataannya pada 2016 yang khawatir atas menguatnya nilai dolar AS waktu itu. Rupiah sempat terkapar karena tekanan dolar. Dalam acara “Sarasehan 100 Ekonom” yang diselenggarakan Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Jokowi menyebut saatnya meninggalkan dolar AS dan beralih ke yuan-renminbi.
Alasan Jokowi kala itu, ekspor Indonesia ke AS tinggal 10%. Ditambah lagi kebijakan ekonomi AS di bawah Trump penuh ketidakpastian. Dengan demikian, nilai tukar rupiah terhadap dolar kian tidak mencerminkan dasar ekonomi Indonesia. Namun, hanya menggambarkan kebijakan ekonomi AS yang berjalan sendiri.
Masyarakat dan dunia usaha disebut Jokowi mulai perlu mengukur Indonesia dengan mitra dagang terbesarnya. Tiongkok disebut sebagai mitra dagang terbesar bagi Indonesia. Jokowi menyebut total ekspor Indonesia ke Tiongkok mencapai 15%. Sedangkan untuk Eropa 11,4% dan Jepang 10,7%. Itu sebabnya, nilai tukar rupiah semestinya lebih relevan dengan yuan-renminbi.
Soal itu, merujuk kepada data Badan Pusat Statistik (BPS), neraca perdagangan Indonesia dengan Tiongkok justru mengalami kerugian. Dalam 5 tahun terakhir dari 2016, perdagangan Indonesia dan Tiongkok selalu mengalami defisit. Indonesia masih kesulitan untuk menembus pasar Tiongkok. Di sisi lain, Indonesia membuka selebar-lebarnya kran impor produk dari Tiongkok.
Pada periode Januari hingga Maret 2016, impor dari Tiongkok mencapai US$ 7,13 miliar atau setara dengan 25,40%. Sementara ekspor Indonesia ke Tiongkok hanya US$ 2,84 miliar. Jumlah ini bahkan turun jika dibandingkan pada periode yang sama tahun 2015 yang mencapai US$ 3,13 miliar. Lalu, setelah yuan terdevaluasi, mengapa Jokowi kini khawatir? Bukankah Jokowi sejak awal ingin merujuk kepada yuan karena menilai Tiongkok sebagai mitra dagang terbesar?
Soal perang mata uang ini juga bukanlah hal baru. Sebelumnya, Dana Moneter Internasional (IMF) menurut laporan The Economist sejak Oktober lalu memasukkan yuan Tiongkok sebagai mata uang “elite” atau mata uang acuan global bersama dolar AS, euro, poundsterling dan yen. Mata uang elite ini kemudian disebut sebagai Special Drawing Right (SDR). Keputusan ini menandai atau sebagai tonggak besar dalam rangka internasionalisasi mata uang Tiongkok.
Ini kali pertama IMF mengubah keputusannya sejak memasukkan euro sebagai mata uang acuan global. Lembaga ini mempunyai 2 kriteria untuk memasukkan sebuah mata uang ke dalam SDR. Pertama, negeri tersebut merupakan negara eksportir utama dalam perdagangan global. Kedua, mata uang itu harus digunakan secara luas dalam transaksi internasional dan diperdagangkan di pasar global. Sebelum IMF membuat keputusan ini, hanya 4 mata uang yang memenuhi kriteria itu yakni pound, euro, yen, dan dolar AS.
Sementara yuan baru dipergunakan 1,1 persen secara global. Urutan ke-11 dalam perdagangan pasar saham global dan urutan ke-9 pasar utang internasional. Yuan juga masih tertinggal dalam perdagangan valuta asing kendati menjadi salah satu mata uang asing yang paling diperdagangkan di Asia. Tapi, sama sekali tidak dikenal di Amerika Utara.
Seolah-olah fakta itu, menggusur monopoli dolar AS dalam pasar keuangan internasional. Dari fakta itu pula, Tiongkok bersama dengan sekutunya Rusia sepertinya sedang “menantang” AS bersama dengan lembaga keuangannya seperti IMF dan Bank Dunia. Walau sesungguhnya Tiongkok lewat berbagai lembaga keuangan yang dibentuk bersama BRICS dan Asia Beijing Investment Bank tidak dalam rangka mengubah sistem ekonomi neoliberal. Akan tetapi, itu sebagai penanda terhadap AS: perang mata uang!
Fakta lainnya adalah cadangan devisa negara-negara dunia 63% menggunakan dolar. Lalu, transaksi perdagangan global setiap harinya hampir 88% menggunakan dolar. Juga perdagangan minyak, emas dan perdagangan komoditas, umumnya menggunakan dolar AS. Sejak krisis ekonomi menghantam Yunani pada 2011, euro belum menjadi saingan serius bagi dolar AS.
Dolar dan Perang
Ekonom Rusia, Valentin Katasonov dalam War and the Dollar pada 2015 menyebutkan, kendati kontribusi perekonomian Tiongkok untuk PDB dunia melampaui AS yang mencapai 20% dalam PDB dunia, penggunaan yuan di pasaran dunia hanya 2,2% pada April 2013. Meski tidak ada data yang mencatat jumlah pasti tentang seberapa banyak cadangan devisa dunia disimpan dalam bentuk yuan, para pakar, kata Katasonov, memperkirakan tidak lebih dari 1%.
Katasonov juga menjelaskan mengapa dolar AS bisa tetap bertahan kendati perekonomian negeri itu acap diguncang krisis. Cadangan devisa dunia hampir 80% dalam bentuk dolar. Jika dibandingkan pada 1970, jumlahnya hanya 77,2% dan 1972, jumlahnya 78,6%. Setelah peralihan sistem yang disepakati dalam Konferensi Jamaika pada 1976, persentase tersebut secara bertahap berkurang dan mencapai titik yang terendah sekitar 59,0% pada 1995.
Akan tetapi, jumlah itu kembali meningkat setelah adanya globalisasi keuangan. Kedudukan dolar bertambah kuat lagi – cadangan devisa dunia dalam bentuk dolar mencapai 70% hingga 71% dalam kurun waktu 1999 hingga 2001. Lalu, kembali mengalami kemunduran dan terjun menjadi 61% pada 2014. Namun, bagaimanapun juga jumlah itu tetap lebih tinggi jika dibandingkan pada 1995.
Berdasarkan catatan Bank for International Settlement, transaksi pasar devisa dunia pada April 2010 yang dilakukan dengan dolar mencapai 84,9%. Angka ini terus meningkat hingga April 2013 yang mencapai 87%. Jika dibandingkan dengan euro pada periode yang sama justru angkanya berbanding terbalik. Penggunaan euro dalam pasar devisa dunia turun dari 39,1% menjadi 33,4%. Fakta ini atau dominasi dolar di dalam sistem keuangan dunia, kata Katasonov, tidak bisa diabaikan dengan posisi AS dalam perekonomian dunia.
Juga yang perlu diingat, dominasi dolar dalam pasar keuangan dunia juga tidak tiba-tiba. Menurut Katasonov, perlu dua kali perang dunia agar dolar bisa memonopoli pasar keuangan dunia. Orang-orang kaya di Federal Reserve, kata Katasonov, merencanakan dan melancarkan perang dunia. Setelah Perang Dunia II, dolar AS terikat pada emas dan menjadi kenyataan sebagai rujukan seluruh dunia. Jika yuan ingin mengalahkan dolar, maka kita perlu bertanya: akankah ada Perang Dunia III? [*]