Perdagangan Karbon di Bursa Karbon Dianggap Sepi, OJK: Jangan Dibandingkan dengan Pasar Saham
Merespons anggapan perdagangan karbon di IDX Carbon Exchange (IDX Carbon) yang sepi, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) menyampaikan agar tidak membandingkannya dengan aktivitas perdagangan di pasar saham.
Indonesia telah meresmikan perdagangan karbon pada 26 September 2023 lalu. Namun, nilai transaksinya masih rendah dan jumlah pelakunya juga masih minim.
“Mungkin juga perlu untuk tidak membandingkan dengan pasar equity (pasar saham). Jadi, memang ini karakternya berbeda. Dan tentunya ini (perdagangan karbon), bukan perdagangan yang spekulasi, yang dalam jual-beli dalam satu hari akan keluar,” ujar Kepala Eksekutif Pengawas Pasar Modal, Keuangan Derivatif dan Bursa Karbon OJK, Inarno Djajadi dalam konferensi pers, Senin (9/10).
Inarno mengatakan OJK tentu akan terus melakukan evaluasi secara berkala pasca peluncuran bursa karbon pada 26 September lalu. Menurutnya, sejaun ini perkembangan bursa karbon Indonesia “cukup baik”.
Apalagi, tambahnya, bila membandingkan dengan perkembangan bursa kabron di negara tetangga seperti Singapura dan Malaysia yang juga membutuhkan waktu untuk mencapai kondisi perdagangan yang aktif.
“Malaysia untuk supaya ada perdagangan aktif itu dibutuhkan waktu lebih dari satu tahun,”ujar Inarno.
Sementara di Indonesia, tambahnya, aktivitas perdagangan sudah tampak sejak awal peluncuran. Pada periode 26 September hingga 29 September 2023, misalnya, total transaksi perdagangan karbon di IDX Carbon mencapai Rp29,2 miliar dan jumlah unit karbon yang diperjualbelikan mencapai hampir 460 ribu tCO2e.
Sementara itu, dari sisi pelaku, tambah Inarno, pada periode tersebut tercatat sebanyak 16 perusahaan yang terlibat yang terdiri atas satu perusahaan penjual yaitu PT Pertamina Geothermal Energy Tbk dan 15 perusahaan sebagai pembeli.
Unit karbon yang diperdangangkan berasal dari Pertamina New and Renewable Energy (PNRE) yang menyediakan Unit Karbon dari Proyek Lahendong Unit 5 dan Unit 6 PT Pertamina Geothermal Energy Tbk di Sulawesi Utara. Proyek tersebut terdaftar sebagai Sertifikat Pengurangan Emisi Gas Rumah Kaca (SPE-GRK) series Indonesia Technology Based Solution (IDTBS).
“Tentunya ini sudah merupakan hal yang sangat baik untuk awal-awal. Diharapkan dalam waktu dekat ini akan ada lagi satu yang listing di Indonesia Carbon Exhange,” ujar Inarno.
Inarno mengatakan OJK juga akan terus melakukan kajian terhadap perkembangan bursa karbon ini. Selain itu, OJK juga melakukan koordinasi dengan lembaga terkait seperti Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) dan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), serta Kementerian Keuangan dan Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi.
“Kita tentunya berharap kedepan supply-nya makin banyak dan demand-nya pun juga semakin banyak,” ujar Inarno.
Saat ini perdagangan karbon yang berlangsung masih yang bersifat sukarela yaitu Sertifikasi Penurunan Emisi Indonesia-GaS Rumah Kaca (SPE-GRK). Namun, Inarno mengatakan kedepan tentu tidak hanya SPE-GRK, tetapi juga Persetujuan Teknis Batas Atas Emisi Pelaku Usaha (PTBAEPU) yang bersifat mandaori atau wajib.
“Kita harapkan kedepannya, tidak terlalu lama lagi, PTBAEPU ini akan bisa diperdagangkan di IDXCarbon,” ujarnya.