
Permata Institute Perkirakan Ruang Penurunan BI Rate Makin Terbatas

Gedung Bank Indonesia/Anadolu Agency
Permata Institute for Economic Research (PIER) memperkirakan ruang penurunan suku bunga acuan BI Rate makin terbatas ke depan, setelah pada Januari lalu Bank Indonesia memangkas 25 basis poin menjadi 5,75%.
Inflasi indeks harga konsumen (IHK) yang rendah saat ini memang memberi ruang bagi Bank Indonesia menurunkan suku bunga acuan.
Tetapi, patut diwaspadai pada Maret 2025 inflasi mulai meningkat seiring dengan bulan Ramadan.
Apalagi di sisi lain, ketidakpastian ekonomi global masih tinggi yang dapat menekan nilai tukar rupiah.
Faisal Rachman, Head of Macroeconomic & Financial Market Research mengatakan tingkat inflasi IHK Indonesia relatif rendah yaitu 0,76% secara tahunan pada Januari 2025.
Namun, di sisi lain, inflasi Indeks Harga Produsen makin tinggi yang mengindikasikan kenaikan harga sudah terjadi di level produsen, diantaranya karena inflasi barang-barang impor (imported inflation) akibat pelemahan nilai tukar rupiah.
“Di situ kita memberikan sedikit warning bahwa ruang pemotongan suku bunga BI ke depan kemungkinan memang akan terbatas,”ujar Faisal dalam acara Media Briefing PIER, Senin (10/2).
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), inflasi IHP pada triwulan IV-2024 sebesar 1,77% yoy, naik dari 0,83% yoy pada kuartal III 2024 dan 0,01% pada triwulan II 2024.
Faisal melihat kenaikan harga di level produsen ini terjadi karena adanya pelemahan nilai tukar rupiah yang mulai terjadi pada kuartal IV 2024.
Pelemahan nilai tukar rupiah, kata Faisal, meningkatkan biaya bahan baku sehingga meningkatkan biaya di level produsen.
“Tekanan atau pelemahan rupiah pasti akan memberikan cost kepada mereka. So far, memang masih cukup mangable. Tetapi kalau pelemahan rupiah itu terus berlangsung, bisa memberikan tekanan ke inflasi barang-barang impor,” ujarnya.
Pelemahan rupiah ini terjadi karena tekanan dari sisi global terus berlanjut yang berdampak pada terjadinya outflow yang berimbas juga pada tekanan pada nilai tukar rupiah.
“Second round-nya karena rupiah itu terus melemah, itu bisa memberikan imported inflaiton kepada sisi suplai dan mungkin di passthrough ke sisi konsumer. Itu memberikan risiko,” ujarnya.
Ketidakpastian global akibat perang dagang juga menekan ekspor Indonesia. Sementara di sisi lain, pemerintah berambisi untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi (pro growth) dengan berbagai stimulus untuk mendorong investasi yang pada gilirannya juga akan mendorong impor, hal yang juga akan menambah melebarnya defist neraca transaksi berjalan (curent account balance).
PIER memperkirakan defist neraca transaksi berjalan sepanjang 2025 ini berada di level 1,82% dari Produk Domesti Bruto (PDB), membengkak dari 0,69% pada akhir 2024.
“Sehingga perlu kehati-hatian sekali bank Indonesia dalam melakukan penurunan suku bunga lanjutan,” ujarnya.
Faisal mengatakan, pasar memperkirakan BI pada 2025 ini BI menurunkan BI Rate hingga ke level 5,25%. Sementara Federal Reserve Rate (FRR) ekspektasi pasar berada di level 4% pada akhir tahun atau turun sebesar 50 basis poin pada 2025, meski terbaru ekspektasinya turun menjadi 25 basis poin, bahkan ada yang melihat tahun ini sama sekali tak ada penurunan FRR.
Ekspektasi pasar terhadap penurunan FRR ini masih dinamis seiring dengan kebijakan pemerintah Amerika Serikat.
Leave a reply
