Selain Devaluasi, Ini yang Perlu Kita Ketahui soal Yuan

Ilustrasi devaluasi yuan/Aljazeera
Iconomics – Kendati dampak devaluasi yuan-renminbi belum begitu terasa dipastikan keburukannya lebih besar ketimbang manfaatnya. Pasalnya, produk ekspor Indonesia akan kalah bersaing dengan negara-negara seperti Tiongkok, Jepang dan Korea Selatan. Juga dipastikan defisit perdagangan akan terus berlanjut.
Menurut Kepala Ekonom BCA, David Sumual, produk dari Indonesia yang berorientasi ekspor akan mendapat tekanan produk Tiongkok. Karena kalah bersaing, maka produk ekspor Indonesia akan mengalami penurunan. Alhasil neraca dagang akan terganggu. Sedangkan, dengan Tiongkok defisit neraca perdagangan akan semakin melebar.
Aksi serupa tak mungkin dilakukan Indonesia. Sebab, kinerja ekspor sangat bergantung kepada komoditas yang tidak punya pengaruh naik turun kurs. Karena ekspor komoditas sangat tergantung dari permintaan negara-negara importer. Berbeda dengan Jepang dan Korea Selatan yang kinerja ekspornya bergantung kepada produk manufaktur dan terkait erat dengan kurs mata uang.
Tidak hanya sisi negatifnya, David juga melihat potensi positif dari devaluasi yuan ini. Turunnya nilai mata uang yuan dapat mendorong investor keluar dari Tiongkok dan berpotensi masuk ke Indonesia.
Amerika Serikat menuduh Tiongkok sedang memanipulasi nilai mata uangnya sehingga melemah dan berada di titik terendah. Padahal, tanpa itu pun yuan akan melemah secara alamiah karena melambatnya perekonomian global dan AS. Bukannya Tiongkok tak berupaya untuk menopang yuan, tapi usaha demikian justru akan membawa dampak lebih buruk kepada perekonomian mereka. Tiongkok hanya perlu membiarkan mata uangnya merosot secara alami sebagai respons atas kebijakan perang tarif AS dan melambatnya perekonomian global.
Elite
Selain dampak dan mengapa yuan didevaluasi, yang perlu diketahui adalah Dana Moneter Internasional (IMF), menurut laporan The Economist, telah memasukkan yuan sebagai mata uang “elite” atau mata uang acuan global bersama dolar AS, euro, poundsterling dan yen sejak Oktober 2016. Mata uang elite ini kemudian disebut sebagai Special Drawing Right (SDR). Keputusan ini menandai tonggak besar dalam rangka internasionalisasi mata uang Tiongkok.
Ini kali pertama IMF mengubah keputusannya sejak memasukkan euro sebagai mata uang acuan global. Lembaga ini mempunyai dua kriteria untuk memasukkan sebuah mata uang ke dalam SDR. Pertama, negeri tersebut merupakan negara eksportir utama dalam perdagangan global. Kedua, mata uang itu harus digunakan secara luas dalam transaksi internasional dan diperdagangkan di pasar global.
Penting diingat, yuan pada 2016 hanya dipergunakan 1,1% di perdagangan global, berada di urutan ke-11 dalam perdagangan pasar saham global dan urutan ke-9 pasar utang internasional. Yuan juga masih tertinggal dalam perdagangan valuta asing. Kendati menjadi salah satu mata uang asing yang paling diperdagangkan di Asia, tapi sama sekali tidak dikenal di kawasan Amerika Utara.
Dengan keputusan IMF itu, yuan perlahan tapi pasti mulai menggoyahkan monopoli dolar AS dalam pasar keuangan internasional. Dengan fakta itu pula, Tiongkok– bersama dengan sekutunya Rusia– sepertinya sedang “menantang” AS dan lembaga keuangan seperti IMF dan Bank Dunia. Walau sesungguhnya Tiongkok lewat berbagai lembaga keuangan Beijing Investment Bank yang dibentuk bersama BRICS dan negara-negara Asia tidak untuk mengubah sistem ekonomi neoliberal. Tapi, lebih sebagai penanda akan terjadinya perang mata uang!
Akan tetapi, itu tidak semudah yang dibayangkan. Pasalnya, cadangan devisa negara-negara dunia 63% menggunakan dolar. Lalu, transaksi perdagangan global setiap harinya hampir 88% menggunakan dolar. Juga perdagangan minyak, emas dan perdagangan komoditas umumnya menggunakan dolar AS. Sejak krisis ekonomi menghantam Yunani pada 2011, euro belum menjadi saingan serius bagi dolar AS. Cadangan devisa dalam bentuk euro di dunia ini hanya 20%. [*]
Leave a reply
