Perang Ukraina: Latar Belakang dan Dampaknya (1)
Pada 21 Februari 2022, Rusia mengakui Republik Rakyat Donetsk dan Republik Rakyat Luhansk. Operasi militer khusus, menurut Rusia, agresi militer, menurut Pakta Pertahanan Atlantik Utara (NATO)-Amerika Serikat (AS), dimulai pada 24 Februari 2022.
Genderang perang semakin santer ditabuh di negeri-negeri Eropa, AS dan sekutunya melalui media massa dan tak kurang maraknya di media sosial. Tak ayal lagi histeria anti-Rusia dan demonisasi Putin meletus dan negara-negara anggota NATO, AS dan sekutunya tenggelam dalam lautan informasi yang – kalau kita melahap begitu saja karena malas untuk mengecek –akan membuat kita sasaran empuk manipulasi, penyembunyian dan pemutarbalikan keadaan konkret dan fakta sejarah. Persis seperti yang terjadi di negeri kita dalam kaitannya dengan kudeta militer merangkak Suharto terhadap pemerintahan Bung Karno, penangkapan, pemenjaraan dan pembantaian jutaan manusia tak berdosa.
Senjata Mengalir ke Ukraina
Jerman yang tadinya enggan kirim senjata, akhirnya menyerah di bawah tekanan NATO-AS. Berlin siap kirim 1.000 senjata anti-tank dan 500 rudal permukaan ke udara Stinger. Negeri Belanda pun tak mau ketinggalan, 50 anti-tank Panzerfaust-3 dan 400 roket. Belanda dan Jerman mempertimbangkan juga pengiriman sistem pertahanan udara Patriot ke satuan NATO di Slovakia. Menteri Luar Negeri AS Antony Blinken menyumbang perlengkapan militer sebesar US$ 350 juta. Sementara itu, menurut The Guardian, 17 Januari 2022, sebelum Rusia menyerang Ukraina, Inggris sudah memasok 2.000 senjata anti-tank ringan. Laporan Sky News pada 20 Januari 2022 memberitakan 30 orang dari pasukan elite Inggris sudah tiba di Ukraina. Presiden Ukraina Zelenski berjingkrak girang.
Perang Antar-Imperialis
Terdapat beberapa hal yang perlu diingat dan dipertimbangkan sebelum kita menentukan sikap terhadap perang di Ukraina ini.
Pertama, perang Ukraina pada pokoknya adalah perang antara kekuatan imperialis, bukan perang rakyat untuk membela kepentingan kelas pekerja dan membentuk sebuah sistem ekonomi dan politik dengan keadilan sosial.
Uni Soviet yang diperintah oleh kaum revisionis modern, setelah Stalin meninggal pada tahun 1953, setapak demi setapak merestorasi kapitalisme dan mengubah watak kelas Partai Komunis dan pemerintah Uni Soviet. Lahirlah sosial-imperialis Uni Soviet. Artinya sosialis dalam kata-kata tapi imperialis dalam perbuatan. Persis seperti yang sedang terjadi di Tiongkok sekarang ini.
Ketika Uni Soviet bubar, segera terjadi perampokan terhadap aset negara yang kemudian berkembang melalui kongkalikong antara penguasa politik dan korporasi dan akhirnya melahirkan kelas oligarki.
Perang imperialis meletus sebagai kelanjutan dan puncak dari kontradiksi yang semakin tajam di kalangan kaum imperialis. Penajaman kontradiksi antar-imperialis disebabkan karena kompetisi dalam memperebutkan bahan baku, terutama minyak, pasar dunia untuk produknya yang sudah berkelebihan, daerah/negeri pengaruh dan ruang untuk penanaman modalnya. Kontradiksi juga menajam karena sistem imperialis global semakin bangkrut tidak mampu mengatasi krisis yang semakin sering terjadi.
Jadi, di belakang perang imperialis selalu ada kepentingan ekonomi yang tersembunyi. Faktor pokok yang mendorong NATO-AS untuk memprovokasi perang Ukraina adalah kepentingan strategis AS untuk menguasai Rusia, negeri yang kaya minyak, gas dan logam mulia, melalui balkanisasi, seperti yang sudah terjadi di Yugoslavia.
Gas dan Minyak
Sudah menjadi pengetahuan umum bahwa Rusia adalah pemasok gas alam terbesar negeri-negeri Eropa. Tulisan Richard J. Anderson berjudul Europe’s Dependence on Russia on Natural Gas: Perspectives and Recommendations for a Long-term Strategy, pada September 2008, memuat daftar berapa besar ketergantungan negeri-negeri Eropa kepada gas alam Rusia. Bahkan Jerman, kekuatan ekonomi terbesar di Eropa Barat, menggantungkan 42% dari kebutuhan gasnya kepada Rusia. Jalur pipa gas Nord Stream 2, sepanjang 1.200 kilometer di bawah Laut Baltic, dibangun atas inisiatif dan permintaan Jerman, bukan Rusia. Menurut anggota parlemen Jerman dari Partai Die Linke, Sevim Dagdelen, Nord Stream 2 adalah proyek investasi swasta sebesar lebih dari € 12 triliun dan melibatkan 100 korporasi dari 12 negeri Eropa. Jadi, lain dari Nord Stream 1 yang mayoritas pemegang sahamnya adalah korporasi negara Rusia Gazprom. Bagaimana reaksi presiden AS terhadap proyek itu? “I will kill Nord Stream 2,…don’t bother, don’t be concerned because I can help you with my LNG fracking gas..”
Jelas terlihat kepentingan ekonomi AS untuk menggantikan kedudukan Rusia dalam memasok gas alam kepada Eropa. Tapi realistiskah ambisi AS itu? Pertama, gas dari Rusia jauh lebih murah, kualitas lebih baik dan itu mendukung usaha untuk mengurangi masalah pemanasan bumi. Kedua, impor gas dari Amerika tidak akan memenuhi seluruh kebutuhan gas negeri-negeri Eropa. Hal ini dibuktikan dengan kepanikan Amerika dan Eropa setelah harga gas dan minyak melejit naik. The Guardian pada 7 Maret 2022 melaporkan di awal 2020, Uni Eropa membayar gas dari Rusia € 190 juta per hari. Akhir pekan lalu (5-6 Maret) Uni Eropa harus bayar € 610 juta per hari. Begitu juga dengan minyak: € 285 juta per hari.
Pada 5 Maret 2022, AS mengirim delegasi ke Caracas untuk bertemu dengan presiden resmi Venezuela, Nicolas Maduro. Tema yang dibicarakan: minyak. Padahal pada tahun 2015, dalam usaha menjatuhkan pemerintahan Maduro, AS mengakui bonekanya, Juan Guaido sebagai presiden sementara Venezuela. Tahun 2019, AS memutuskan hubungan diplomatik dengan Venezuela. Perundingan dengan Iran pun diaktifkan kembali, sudah tentu mengingat posisi Iran sebagai pemasok minyak. Jelas, watak oportunis dan kemunafikan imperialis AS yang sedang sekarat ini. Sementara itu permintaan AS kepada Uni Emirat Arab, yang absten dalam resolusi PBB untuk mengecam agresi Rusia, supaya meningkatkan produksi, ditolak. Bahkan Arab Saudi pun membangkang, telepon (Joe) Biden tak digubris oleh sang Pangeran.
Sejak bubarnya Uni Soviet, AS menjadi satu-satunya superpower di dunia. Sementara itu Tiongkok, yang sudah mengkhianati sosialisme, mengambil keuntungan dari investasi modal asing termasuk bantuan IMF dan tersedianya tenaga kerja murah serta status khusus dalam perdagangannya dengan AS. Semua itu telah memudahkan integrasinya ke dalam sistem kapitalisme global. Pertumbuhan pesat ekonomi Tiongkok dan keberhasilan Rusia dalam mengatasi kelemahan yang disebabkan oleh bubarnya Uni Soviet, telah membuat AS khawatir akan perubahan-perubahan yang membahayakan hegemoni dan kedudukannya sebagai satu-satunya polisi dunia. Dari situlah datangnya semua kebijakan AS yang bertujuan mengekang dan mengurung Tiongkok dan Rusia melalui negara-negara satelitnya.
Ketergantungan minyak dan gas Rusia sangat tidak menyenangkan AS dan “anjing” penjaganya di Eropa, yakni Inggris. Sepanjang pemerintahan Angela Merkel, AS terus berusaha memisahkan Eropa terutama Jerman dari Rusia. Persekutuan Rusia yang kaya gas, minyak dan sumber alam lainnya dengan Jerman, yang merupakan kekuatan ekonomi terbesar di Eropa dan kemajuan teknologinya akan merupakan saingan berat bagi imperialis AS. Hubungan damai dan kerja sama ekonomi itulah sebenarnya yang diinginkan masyarakat Jerman seperti dikemukakan oleh Sevim Dagdelen dari Partai Die Linke.
Dengan meletusnya perang Ukraina ini AS berhasil memisahkan Jerman dari Rusia, tapi mendorong Rusia ke pangkuan Tiongkok. Sikap Tiongkok yang tidak turut mengutuk agresi Rusia telah membuat AS kebakaran jenggot. Keluarlah berbagai ancaman dan peringatan AS kepada Tiongkok untuk tidak “membantu” Rusia dalam usaha mengatasi akibat yang luar biasa seriusnya dari semua sanksi yang sudah dan akan dikenakan Uni Eropa, AS serta semua sekutunya.
Tatiana Lukman
Penulis adalah Esais Politik dan Penulis Buku yang tinggal di Belanda