Pertumbuhan Ekonomi akan Terus Melambat Sebelum Mencapai Kestabilan
Data produk domestik bruto (PDB) di triwulan pertama menandai awal yang lemah untuk 2020 karena pertumbuhan melambat menjadi 3% yoy (5% pada 2019), terlemah sejak akhir 2001 dan lebih dalam dari perlambatan pasca krisis keuangan global (global financial crisis, GFC).
Meskipun kekhawatiran terkait Covid-19 baru meningkat menjelang akhir Maret, saat pemerintah memberlakukan pembatasan sosial berskala besar (PSBB) dan langkah-langkah pembatasan sosial lebih ketat, produksi dan permintaan turun tajam pada periode tersebut. Hal ini kemungkinan mencerminkan dampak gejolak pasar dalam skala besar (kinerja rupiah rendah, ekuitas anjlok dan imbal hasil obligasi melonjak) serta dampak dari penyebaran infeksi, yang saat itu berpusat di Cina.
Perlambatan terjadi secara luas dan menyeluruh
Hampir semua sub-komponen membukukan pertumbuhan yang melambat tajam. Pertumbuhan konsumsi terpangkas separuh menjadi 2,8% y/y vs 4,2% pada triwulan keempat. Investasi hanya meningkat tipis sebesar 1,7% y/y dari 4,1% pada triwulan keempat, sementara ekspor bersih menurun. Perbedaan data statistik juga mempengarhi data PDB. dan jika tidak, koreksi PDB umum kemungkinan menjadi lebih tajam.
Dengan mempertimbangkan penurunan ini dan dampak lebih dalam pada triwulan kedua, saat pembatasan sosial kemungkinan memuncak, kami menurunkan perkiraan PDB 2020 menjadi 1,3% y/y (dari 2,5%). Ini dilakukan dengan asumsi pertama, pelonggaran aturan pembatasan sosial secara bertahap sejak akhir triwulan kedua. Kedua, pemulihan dimulai pada triwulan ketiga dan seterusnya karena pelonggaran pembatasan sosial. Jika ekspektasi ini tidak terwujud, pertumbuhan umum mungkin rata atau negatif pada tahun ini.
Triwulan kedua kemungkinan turun ke titik terendah
April-Mei diperkirakan akan menanggung beban paling berat karena periode itu menandakan masa ketika pemberlakuan aturan jarak sosial semakin diperketat. Pada akhir April, penduduk juga dilarang melakukan perjalanan antar provinsi tahunan dalam rangka tradisi mudik Idul Fitri guna mengurangi infeksi. Hal ini kemungkinan meningkatkan pemutusan hubungan kerja, membebani pertumbuhan pada triwulan kedua, diperparah oleh efek dasar dari periode puasa tahun lalu (triwulan ke-2 2019). Kasus infeksi di Indonesia terus meningkat, bahkan saat kurva melandai dibandingkan dengan negara-negara lain di kawasan (kasus per juta, skala log). Dalam hal jumlah korban jiwa, Indonesia berada di urutan ketiga setelah Cina dan India di kawasan Asia.
Data ekonomi yang akan masuk memperkuat ekspektasi perlambatan. Laporan mobilitas Google menunjukkan pergerakan terbatas terutama ke tempat kerja dan fasilitas rekreasi.
Melunaknya sentimen konsumen meramalkan kemungkinan pengurangan dalam pengeluaran, dengan perlambatan sudah terjadi bahkan sebelum wabah virus corona. Kondisi bisnis akan mendapat tantangan karena pemberlakuan PSBB dan kontribusi sektor informal mengancam pendapatan dan prospek lapangan pekerjaan.
Survei perbankan Bank indonesia menunjukkan penurunan permintaan untuk modal kerja serta kredit investasi baru, mengindikasikan perlambatan pertumbuhan investasi swasta untuk ekonomi dalam beberapa triwulan.
Di daerah terpadat di Indonesia, terutama Jakarta dan sebagian pulau Jawa, fasilitas kesehatan masih belum memadai dan juga keberadaan sektor informal menekankan perlunya menjaga infeksi tetap terkendali.
Pertumbuhan dan implikasi kebijakan
Pemerintah dan bank sentral telah melakukan pendekatan terkoordinasi terhadap dukungan kebijakan. Bank sentral membeli surat utang senilai Rp2,3 triliun dalam lelang obligasi reguler pada akhir April, menandai pembelian obligasi secara besar-besaran di pasar primer, setelah melakukan pembelian senilai Rp4,7 triliun pada minggu sebelumnya. Dengan demikian, secara keseluruhan BI melakukan pembelian di pasar sekunder dan primer senilai Rp173 triliun guna mengendalikan biaya pinjaman. Likuiditas dijaga agar tetap surplus melalui kombinasi pembelian obligasi, operasi repo, pemangkasan rasio cadangan wajib, dan lain-lain. Latar belakang permintaan lemah dan ruang lingkup pertumbuhan di bawah potensi membatasi tekanan harga apa pun karena kejenuhan likuiditas.
Bank Indonesia telah merevisi perkiraan pertumbuhan menjadi 2,3% pada bulan April, berdasarkan atas angka triwulan pertama, yang sebesar 4,3%, triwulan kedua (0,4%), triwulan ketiga (1,2%) dan triwulan terakhir tahun ini (3,1%). Dengan pertumbuhan triwulan pertama lebih lemah dari harapan, perkiraan resmi mungkin perlu diturunkan.
Kami berharap panduan kebijakan akan tetap lunak, dengan dua penurunan suku bunga lagi pada tahun 2020. Suku bunga acuan BI, yang sebesar 4,5%, lebih tinggi dari inflasi umum dan inflasi inti, memberikan dukungan tingkat suku bunga memadai. Dengan permintaan yang diperkirakan akan melemah pada triwulan kedua dan penurunan harga energi, BI memiliki ruang untuk mengambil peran yang mendukung pertumbuhan dengan memperhatikan rupiah dan arah pasar obligasi. Respons fiskal pemerintah, yang kuat, dan target defisit lebih tinggi, sebesar -5,1% dari PDB, didasarkan atas proyeksi PDB sebesar 2,3%. Risiko terhadap penurunan pertumbuhan mungkin memerlukan peningkatan lebih lanjut di ruang fiskal.
Stabilitas pasar keuangan tetap menjadi hak prerogatif pemerintah. Nilai tukar rupiah telah terapresiasi lebih dari 9% dari level terendah tahun ini karena penurunan dolar lebih luas serta meningkatnya kepercayaan terhadap respons kebijakan ekonomi. Imbal hasil obligasi Indonesia bertenor 10 tahun telah terbukti stabil (atau bertahan) di atas 8%. Akan tetapi, saat ekspektasi stabilisasi dalam situasi Covid-19 diartikan sebagai pembalikan sentimen untuk paruh kedua 2020, perburuan imbal hasil diharapkan akan menguntungkan utang Indonesia. Hingga saat itu, kami berharap bank sentral akan memperpanjang dukungannya dan menahan gejolak satu sisi dalam pergerakan imbal hasil.
Oleh: Radhika Rao
Economist DBS