Peneliti Indef: BI dan Pemerintah Harus Hati-Hati Terapkan QE

0
598
Reporter: Yehezkiel Sitinjak

Institute For Development of Economics and Finance (Indef) meminta Bank Indonesia (BI) dan pemerintah berhati-hati dalam menerapkan quantitative easing (QE) untuk meningkatkan likuiditas pasar yang terdampak Covid-19. Soalnya QE dapat menyebabkan hiperinflasi dan bersiko memperburuk kondisi ekonomi Indonesia saat ini.

Peneliti Indef Bhima Yudisthira mengatakan, kebijakan QE sebetulnya diterapkan oleh bank-bank sentral di negara maju seperti Amerika Serikat, Jepang, Inggris, dan Eropa pada 2008 ketika krisis keuangan global terjadi. Kebijakan QE waktu itu diterapkan karena bank-bank sentral di berbagai negara tidak memiliki ruang gerak lagi dalam menurunkan suku bunga acuannya.

“Misalnya The Fed (Bank Sentral AS) lakukan QE karena suku bunga mereka mendekati 0%. Ketika suku bunga mentok mendekati 0% dan bahkan bank sentral Jepang sampai minus, maka jalan untuk memompa likuiditas yakni melalui QE,” kata Bhima saat telekonferensi di Jakarta, Rabu (6/5).

Di samping itu, menurut Bhima, The Fed memiliki keunggulan lain yaitu bahwa confident pasar dan investor terhadap nilai tukar dolar sangat tinggi karena dipakai secara luas oleh banyak negara dalam melakukan aktivitas perekonomian baik dalam bentuk perdagangan ataupun transaksi valuta asing. Bahkan mata uang dolar AS berkontribusi terhadap 85% dari total perdagangan dunia.

Baca Juga :   Erick Thohir Apresiasi Tenaga Medis dan Semua Pihak yang Ikut Tangani Wabah Covid-19

Bhima akan tetapi khawatir apabila negara-negara berkembang baik itu di Amerika Latin maupun Indonesia mulai berencana untuk melakukan kebijakan yang serupa. Pasalnya, pencetakan uang tersebut akan menyebabkan nilai tukar rupiah untuk mengalami depresiasi yang lebih dalam.

“Karena siapa yang meminta rupiah di kondisi sekarang, dan dalam masa recovery juga apakah orang akan confidence memegang rupiah? Artinya ada permasalahan fundamental bahwa tidak semudah itu untuk BI meniru langkah The Fed apalagi jorjoran melakukan QE,” kata Bhima.

Selain permintaan yang tidak pasti terhadap rupiah, Bhima juga mengkhawatirkan bahwa risiko krisis pangan secara global yang diserukan oleh lembaga Food and Agriculture Organisation (FAO) dapat menyebabkan tingkat inflasi harga bahan pangan yang saat ini rendah akan berbalik arah menjadi sangat tinggi.

Karena itu, Bhima mengimbau bagi siapapun yang mengusulkan penerapan kebijakan QE dengan jumlah besar perlu merujuk terhadap suatu kajian akademis yang mendukung kebijakan tersebut.

“Jadi kita nggak bicara ngawang harus ada basisnya. Karena saya yakin bank Indonesia pun sedang menyiapkan ini dan akhirnya ada pertanggungjawaban publik yang memang bisa pegang secara saintifik,” katanya.

Leave a reply

Iconomics