Berpenduduk Muslim Terbesar, Produk Halal Merupakan Keniscayaan di Indonesia

0
581

Sebagai negara dengan mayoritas penduduk muslim, kepastian terhadap produk halal merupakan keniscayaan yang dibutuhkan masyarakat. Karena itu,  pengusaha-pengusaha dalam negeri perlu didorong untuk dapat menciptakan peluang tersebut menjadi sesuatu yang besar.

“Industri halal saya setuju. Tadi paparan kawan-kawan sebelumnya bahwa kota adalah potensi pasar terbesar, tetapi jaminan industri halal kita apakah itu di bidang kosmetik, makanan dan minuman kita belum menjadi pemain terbesar dunia. Kita menjadi pasar iya, tetapi kalau kita lihat, kita masih kalah dengan Malaysia, Turki. Banyak yang mempersoalkan, kadang kala banyak yang salah mengerti apa sih industri halal itu,” kata anggota Komisi VI DPR Supratman Andi Agtas seperti dikutip situs resmi DPR beberapa waktu lalu.

Supratman mengatakan, dalam Undang Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja, segala hal untuk mendukung produk halal telah disederhanakan. Semisal, perizinan sertifikasi halal di mana sebelumnya sertifikasi tersebut dimonopoli berbagai pihak karena hanya terpusat di Majelis Ulama Indonesia pusat. Sedangkan, untuk saat ini sudah bisa melalui MUI di daerah.

Baca Juga :   Pro Kontra Perppu Ciptaker, Sesuatu yang Wajar di Negara Demokrasi, Benarkah?

“Saya di beberapa kesempatan sudah mendapatkan fatwa halal itu bukan dari MUI pusat, apalagi lembaga pemeriksa halal itu tidak (lagi) didominasi oleh lembaga pengawas obat dan makanan LPOM MUI, tapi boleh  bekerja sama dengan Surveyor Indonesia ataupun dengan perguruan-perguruan tinggi ataupun ormas-ormas keagamaan yang ditunjuk,” kata Supratman.

Terkait dengan sistem perizinan berusaha yang terintegrasi secara elektronik (OSS), kata Supratman, masih ada sistem yang belum siap, sehingga masih memerlukan sinkronisasi antar kementerian. Padahal, OSS dinilai akan jauh memudahkan dan beberapa kasus memang jadi jauh lebih bagus.

“Tetapi masih ada sistem yang belum siap, saya setuju sinkronisasi antar-kementerian, makanya di UU Cipta Kerja bapak-ibu sekalian, kita beri waktu 2 tahun kepada pemerintah, kemudian setelah itu kita akan pantau,” katanya.

Sebelumnya, Komisi VI DPR menggelar rapat dengar pendapat umum dengan Gabungan Pengusaha Makanan Minuman Indonesia, Himpunan Industri Mebel dan Kerajinan Indonesia dan Persatuan Perusahaan Kosmetik Indonesia.

 

Leave a reply

Iconomics