Daya Beli Kelas Menengah Melemah, Analis; Bisa Memicu Instabilitas Politik Pemerintahan Prabowo Subianto

0
74

Penurunan daya beli masyarakat kelas menengah di Indonesia berpotensi menimbulkan instabilitas politik di dalam negeri, meski Prabowo Subianto terpilih dengan 96.214.691 suara atau 58,6 persen dari total suara sah nasional dan didukung oleh mayoritas partai di parlemen.

“Kelas menengah ini memang secara statistik jumlahnya lebih sedikit, dibanding kelas menengah bawah. Meskipun secara kuantitatif lebih kecil, secara kualitatif itu efek politiknya sangat besar. Karena biasanya kelas menengah itu cukup cerewet. Mereka vocal minority,” ujar Burhanuddin Muhtadi, Direktur Eksekutif Indikator Politik Indonesia dalam acara Indonesia Industry Outlook 2025 dengan tema Indonesia Market Outlook 2025: Kelas Menengah Hancur, Masihkah Bisnis Mantul?, Rabu (23/10).

Kelas menengah ke atas, kata Burhanuddin, memiliki tingkat pendidikan yang tinggi serta ekspektasi yang juga tinggi. Karena itu, kelompok kelas menengah ini juga “cenderung sangat kurang puas terhadap banyak hal.”

Data Bada Pusat Statistik (BPS) mengungkapkan jumlah kelas menengah Indonesia pada 2024 sebanyak 47,85 juta orang, berkurang dari 57,33 juta pada 2019.

Baca Juga :   Perbankan Siap Salurkan Kredit Investasi di Kawasan Ekonomi Baru di Luar Jawa

Menurut Burhanuddin, penurunan jumlah kelas menengah, secara politik memiliki dampak yang besar. Di Chili misalnya, walaupun pemerintah cukup berhasil mengatasi kemiskinan dan pertumbuhan ekonominya juga cukup baik, tetapi justru sempat terjadi krisis politik yang hampir menumbangkan rezim.

“Krisis politik itu disebabkan oleh pergolakan kelas menengah,” ujarnya.

Demikian juga Bangladesh. Perdana Menteri Sheikh Hasina yang berukuasa selama 15 tahun tumbang, meski memiliki pertumbuhan ekonomi yang jauh lebih baik dibandingkan Indonesia.

“Yang menyebabkan seorang Sheikh Hasina akhirnya didemo oleh ribuan mahasiswa, bukan karena kebijakan ekonominya yang salah, tetapi karena ada kebijakan affirmative action buat mereka yang punya keturunan pendukung kemerdekaan. Kebetulan, itu umumnya adalah pendukung partainya Sheikh Hasina. Dan itu yang menimbulkan kecemburuan kelompok kelas menengah, terutama mahasiswa karena mereka merasa hak untuk terpilih sebagai ASN (Aparatur Sipil Negara) itu harus dikorbankan atas nama para keuarga pendukung kemerdekaan. Akhirnya tumbang itu Sheikh Hasina,” ujar Burhanuddin.

Karena itu, menurut Burhanuddin, bila persoalan menurunnya jumlah kelas menengah di Indonesia tidak bisa diatasi pemerintah, serta tidak bisa mengelola dengan baik ekspektasi mereka, maka berpotensi menimbulkan gejolak-gejolak politik.

Baca Juga :   Jadi Mesin Pertumbuhan Ekonomi, Apa yang Dilakukan Pemerintah Menjaga Daya Beli Kelas Menengah di Indonesia?

“Jangan lupa kelas menengah ini umumnya bukan pendukung Prabowo di Pilpres 2024 kemarin. Itu [masalah kelas menengah] bisa menimbulkan gejolak-gejolak politik, instabilitas poltik,” ujarnya.

Karena itu, menurutnya, perlu ada terobosan kebijakan dari pemerintahan Prabowo Subianto untuk “kembali menumbuhkan kelas menengah”.

“Salah satu yang para ekonom kritisi adalah soal industri manufaktur kita yang terus turun, sehingga terjadi informalisasi pekerjaan. Lulusan S1, tetapi pekerjaannya informal, dan ini menjadi sumber-sumber ketidakpuasan,” uajrnya.

Survei konsumen yang dilakukan Inventure mengkonfirmasi adanya pelemahan daya beli pada masyarakat kelas menengah Indonesia. Dari 450 responden yang tersebar di lima kota besar – Jabodetabek, Semarang, Surabaya, Makasar dan Medan – 49% menyatakan mengalami penurunan daya beli.

Tiga faktor utama yang membuat daya beli mereka turun adalah kenaikan harga kebutuhan pokok (85%), mahalnya biaya pendidikan dan kesehatan (52%), serta pendapatan yang stagnan (45%).

Faktor lainnya, yang turut melemahkan daya beli masyarakat adalah Pemutusan Hubungan Kerja dan lapangan kerja yang terbatas (37%), meningkatnya pajak (31%), hutang yang semakin menumpuk (27%) dan kenaikan suku bunga cicilan (23%).

Baca Juga :   Indef: Kelas Menengah Meningkat tapi Ketergantungan Barang Impor

Yuswohady, Managing Partner Inventure sekaligus founder Indonesia Industry Outlook mengatakan, di tengah penurunan daya beli masyarakat yang berakibat terjadinya deflasi 5 bulan berturut-turut, serta fenomena rontoknya kelas menengah, sudah seharusnya pemerintah baru mengambil langkah-langkah konkret untuk memastikan pemulihan ekonomi yang inklusif dan berkelanjutan. 

“Karenanya, hal pertama yang harus dilakukan oleh kabinet baru Prabowo-Gibran adalah memulihkan daya beli masyarakat yang anjlok beberapa waktu terakhir,” ujar Yuswohady.

Dapatkan berita dan analisis seputar ekonomi, bisnis dan lainnya hanya di theiconomics.com.

Pastikan untuk mengikuti perkembangan terbaru, berita, dan event The Iconomics di akun sosial media kami:
Instagram: the.iconomics
TikTok: @theiconomics
YouTube: @theiconomics
X: theiconomic
LinkedIn: The Iconomics

Leave a reply

Iconomics