Pansus Angket DPR Nilai BPKH Tidak Salah soal Kuota Haji Tambahan
Ketua Panitia Khusus (Pansus) Angket Penyelenggaraan Haji 2024 DPR Nusron Wahid menyebut Badan Pengelola Keuangan Haji (BPKH) tidak salah dalam alokasi kuota haji tambahan. Pasalnya, BPKH hanya sebagai pihak yang mentransfer nilai manfaat operasional biaya haji kepada Kementerian Agama (Kemenag)
“Kalau BPKH, pasti enggak salah karena hanya (sebagai) juru bayar. BPKH hanya memastikan alur transaksinya saja,” ujar Nusron di Kompleks Parlemen, Jakarta, Selasa (3/9).
Nusron mengatakan, pihaknya fokus mendalami peran Kementerian Agama dan penyelenggara swasta terkait alokasi kuota haji tambahan yang berubah. Awalnya 92% untuk jemaah haji reguler dan 8% untuk jemaah haji khusus berubah menjadi 50% untuk jemaah haji reguler dan 50% untuk jemaah haji khusus.
“Itu dalam hal mengalokasikan kuota haji tambahan yang seharusnya digunakan untuk reguler malah dipakai untuk jemaah haji khusus,” kata Nusron.
Sebelumnya, BPKH telah memastikan dana haji aman dan terkelola dengan baik. Itu terlihat dari indikator rasio keuangan utama seperti likuiditas, solvabilitas, dan profitabilitas cukup solid, stabil, serta berada di atas standar yang ditetapkan.
“Hal ini menunjukkan bahwa dana haji tetap dikelola dengan baik,” ujar Anggota Badan Pelaksana BPKH Amri Yusuf.
Rasio likuiditas wajib BPKH berada pada level 2 kali lipat dari Biaya Penyelenggaraan Ibadah Haji (BPIH) sebagaimana yang ditetapkan undang-undang. Hal tersebut menunjukkan kemampuan untuk memenuhi kewajiban jangka pendek.
Dengan rasio solvabilitas di atas 100%, BPKH tetap solid dan mampu mengatasi tantangan masa depan. Rasio YOI rata-rata 6,71% dan menjaga efisiensi dengan CIR 3,32% atau di bawah 5%.
Salah satu yang menjadi sorotan soal defisit sebesar Rp 317,36 miliar pada 2023. Menurut Amri, banyak pihak yang belum memahami penjelasannya secara utuh.
Membaca defisit tersebut, kata Amri, harus dimulai sejak pandemi Covid-19. Saat itu, BPKH justru mencatatkan surplus aset neto dari akumulasi nilai manfaat yang tidak digunakan akibat pembatalan ibadah haji selama 2 tahun.
“Defisit 2023 merupakan dampak kebijakan Biaya Perjalanan Ibadah Haji (Bipih) yang dinamis dalam beberapa tahun terakhir akibat pandemi Covid-19. Kebijakan ini bertujuan meringankan beban jemaah, terutama jemaah lunas tunda,” kata Amri.
Sumber pembiayaan untuk jemaah lunas tunda diambil dari aset neto berupa akumulasi nilai manfaat yang tidak digunakan pada musim haji 2020 dan 2021. Sementara tahun 2022 kuota keberangkatan jamaah hanya sebesar 50%.
Dengan kata lain, kata Amri, defisit tersebut bukan karena pengelolaan keuangan yang kurang baik, tetapi efek dari keputusan pemerintah dan DPR untuk mendukung jemaah lunas tunda 2020 dan 2022, yang secara akuntansi dicatatkan sebagai beban tahun berjalan 2023. “BPKH berkomitmen untuk terus menjaga transparansi dan akuntabilitas dalam pengelolaan dana haji,” kata Amri.
Pada tahun 2023, BPKH mengelola 3 skema Bipih untuk memastikan bahwa beban jemaah dapat diminimalkan. Pertama, jemaah lunas tunda tahun 2020 tanpa ada tambahan BPIH (84.609 orang).
Kedua, jemaah lunas tunda 2022 (9.864 orang) yang tidak berangkat karena pandemi hanya dikenakan Bipih 40% dari BPIH. Ketiga jamaah 2023 (106.590 orang) membayar 55% dari BPIH.
“Jemaah lunas tunda 2022 dikenakan Bipih 40% dari total BPIH yang artinya mendapatkan subsidi nilai manfaat sebesar 60%. Sementara jemaah haji 2023 dikenakan Bipih 55% dari BPIH dengan subsidi nilai manfaat sebesar 45%. Sementara jemaah 2020 tidak dikenakan tambahan Bipih,” kata Amri.